Beranda > Al-Hadits > Haruskah Jilbab Muslimah Berwarna Hitam?

Haruskah Jilbab Muslimah Berwarna Hitam?


Haruskah Jilbab Muslimah Berwarna Hitam?

dr. M Faiq Sulaifi

Sebagian ikhwan-ikhwan kita menganjurkan bahkan mengharuskan wanita-wanita mereka untuk berjilbab dan bercadar warna hitam dengan dasar riwayat Abu Dawud tentang warna pakaian wanita Anshar –ketika turunnya ayat jilbab- yang kelihatan seperti burung gagak.

Bahkan ada seseorang syaikh dalam sebuah acara daurah di Indonesia yang menyatakan bahwa pakaian berwarna hitam untuk wanita adalah termasuk “sunnah para shahabiyah” dan demikianlah kecenderungan buku-buku tentang jilbab wanita muslimah oleh kalangan salafiyyin sekarang ini seperti kitab Shahih Fiqhis Sunnah yang lebih mengutamakan jilbab berwarna hitam dari yang lainnya.

Benarkah demikian? Adakah Salafush Shalih yang menyatakan demikian?

Tulisan ini tidak menjelaskan syarat-syarat dan perincian pakaian atau hijab wanita muslimah karena sudah dibahas oleh banyak ulama baik dahulu maupun sekarang. Tulisan ini hanya menjelaskan sedikit informasi tentang warna-warna pakaian yang dikenakan muslimah pada masa Salafush Shalih dan kesalahan orang-orang sekarang dalam memahami teks-teks hadits Rasulullah r.

Makna Yang Benar dari Hadits Aisyah t

Dari Ummu Salmah t, ia berkata:

لَمَّا نَزَلَتْ { يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ } خَرَجَ نِسَاءُ الْأَنْصَارِ كَأَنَّ عَلَى رُءُوسِهِنَّ الْغِرْبَانَ مِنْ الْأَكْسِيَةِ

“Ketika turun ayat: “Hendaknya mereka (para muslimah) mengenakan jilbab-jilbab mereka atas mereka.” (QS. Al-Ahzab: 59) maka para wanita Anshar keluar (dari rumah mereka) seolah-olah di kepala mereka ada burung gagak dari pakaian (yang mereka pakai, pen). “ (HR. Abu Dawud: 3578 dan di-shahih-kan oleh Al-Albani dalam Jilbab Al-Mar’atil Muslimah: 82).

Berikut ini adalah keterangan para ulama yang menjelaskan bahwa hadits di atas tidak menunjukkan wajibnya wanita memakai warna hitam:

Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad berkata:

يعني: من ناحية الخمر، والمقصود من ذلك أنهن بادرن إلى تغطية رءوسهن ووجوههن حتى صرن: [ كأن على رءوسهن الغربان ]، يعني: من حيث اللون، ولون الغربان أسود ولون الخمر التي كانت عليهن كذلك. ولا يلزم أن يكون الحجاب أسود.

“Maksudnya: ini dari sisi kerudungnya. Yang dimaksud dari hadits ini adalah bahwa mereka bercepat-cepat untuk menutup kepala mereka dan wajah-wajah mereka sehingga “seolah-olah di atas kepala mereka ada burung gagak”, yakni dari sisi warna. Dan warna burung gagak adalah hitam dan warna kerudung mereka adalah seperti itu. Dan ini tidaklah mengharuskan jilbabnya berwarna hitam.” (Syarh Sunan Abi Dawud lisy Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad: 23142).

Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhutsil Ilmiyah wal Ifta’ -dalam fatwa nomer: 7523, pertanyaan kelima- pernah ditanya:

س5: ما حكم لبس السواد للنساء، وما معنى قول أم المؤمنين عائشة -رضي الله عنها- في الخبر: (.. وكأن على رؤوسهن الغربان)؟

ج5: يجوز للنساء لبس السواد وغيره مما ليس فيه تشبه بالرجال، وأما قول عائشة -رضي الله عنها-: (.. كأن على رؤوسهن الغربان) فهو ثناء منها على النساء المسلمات، بامتثالهن أمر الحجاب، وهو يوحي بأن ذلك اللباس أسود اللون. وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.

اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء

عضو عضو نائب الرئيس الرئيس

عبد الله بن قعود عبد الله بن غديان عبد الرزاق عفيفي عبد العزيز بن عبد الله بن باز

Tanya: “Apakah hukum pakaian berwarna hitam bagi wanita? Dan apa pula makna ucapan Ummul Mukminin Aisyah t: “Seolah-olah di kepala mereka ada burung gagak?”

Jawab: “Diperbolehkan bagi wanita untuk memakai pakaian warna hitam dan warna lainnya dari pakaian yang tidak menyerupai laki-laki. Adapun ucapan Aisyah –semoga Allah meridlainya- : “Seolah-olah di atas mereka ada burung gagak.” Maka ini adalah pujian darinya kepada para muslimah karena ketaatan mereka terhadap perkara hijab. Dan ini memberikan pengertian bahwa pakaian tersebut berwarna hitam. Wabillahittaufiq washallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa alihi washahbihi wasallam.

Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhutsil Ilmiyyah wal Ifta’

Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz (ketua), Abdur Razzaq Afifi (wakil ketua), Abdullah bin Ghudayyan (anggota), Abdullah bin Qu’ud (anggota).

Sungguh benar apa yang dijelaskan oleh Al-Lajnah Ad-Daimah dan Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad bahwa yang dimaksud dengan ucapan Aisyah t “Seolah-olah di atas mereka ada burung gagak.” adalah pujian darinya kepada wanita Anshar karena ketaatan mereka terhadap perkara hijab dan bukan keharusan atau anjuran memakai jilbab atau kerudung hitam.

Dan ini ditunjukkan oleh riwayat lain bahwa Aisyah t berkata:

يَرْحَمُ اللَّهُ نِسَاءَ الْمُهَاجِرَاتِ الْأُوَلَ لَمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ { وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ } شَقَّقْنَ مُرُوطَهُنَّ فَاخْتَمَرْنَ بِهَا

“Semoga Allah merahmati wanita muhajirat yang pertama. Ketika Allah menurunkan ayat: “Hendaknya para wanita membentangkan kerudung-kerudung mereka di atas dada-dada mereka.” (QS. An-Nur: 31), mereka langsung menyobek pakaian bawah (muruth) mereka kemudian berkerudung dengannya.” (HR. Al-Bukhari secara mu’allaq dalam Shahihnya: Kitabut Tafsir, Bab: “Hendaknya para wanita membentangkan kerudung-kerudung mereka di atas dada-dada mereka.”).

Kata “muruth” dalam riwayat di atas adalah pakaian bawahan dan tidak harus berwarna hitam.

Al-Allamah Al-Lughawi Ibnu Sayyidih berkata:

والمِرْطُ : كِساءٌ من خَزِّ أَو صُوفٍ أو كَتَّانِ ، وقِيلَ : هو الثَوْبُ الأَخْضَرُ ، وجَمْعُه . مُرُوطٌ

Al-Mirth adalah pakaian dari sutera (bulu yang ditenun) atau wol atau kattan (linen). Ada yang mengatakan bahwa mirth adalah baju yang berwarna hijau. Bentuk jamaknya adalah muruth.” (Al-Muhkam wal Muhith Al-A’zham: 9/170). Dan ia digunakan untuk sarung dan selimut wanita. (Mushbahul Munir: 8/440).

Bahkan Al-Allamah Ibnu Daqiqil Ied berkata:

المروط: أكسية معلمة تكون من خز وتكون من صوف

Muruth adalah pakaian yang memiliki tanda (corak) yang terbuat dari sutera (atau bulu yang ditenun) dan juga bisa dari bulu wol.” (Ihkamul Ahkam Syarh Umadatul Ahkam: 1/93)

Bisa jadi jilbab yang berwarna hijau atau bercorak itu dilihat oleh Aisyah t sebagai pakaian hitam seperti burung gagak karena gelapnya malam. Ini ditunjukkan oleh riwayat Ibnu Abi Hatim bahwa ketika mereka keluar untuk ikut shalat subuh, Aisyah t melihat mereka seolah-olah di atas mereka ada burung gagak.

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata –dalam rangka mengkompromikan 2 riwayat di atas-:

ولابن أبي حاتم من طريق عبد الله بن عثمان بن خثيم عن صفية ما يوضح ذلك ولفظه ذكرنا عند عائشة نساء قريش وفضلهن فقالت إن نساء قريش لفضلاء ولكني والله ما رأيت أفضل من نساء الأنصار أشد تصديقا بكتاب الله ولا إيمانا بالتنزيل لقد أنزلت سورة النور وليضربن بخمرهن على جيوبهن فانقلب رجالهن إليهن يتلون عليهن ما أنزل فيها ما منهن امرأة إلا قامت إلى مرطها فأصبحن يصلين الصبح معتجرات كأن على رؤوسهن الغربان ويمكن الجمع بين الروايتين بأن نساء الأنصار بادرن إلى ذلك

“Dan menurut Ibnu Abi Hatim dari jalan Abdullah bin Utsman bin Khutsaim[1] dari Shofiyah ada riwayat yang menjelaskan keterangan di atas. Lafazhnya adalah: “Kami menyebut-sebut -di sisi Aisyah- wanita Quraisy dan keutamaan mereka. Maka beliau berkata: “Sesungguhnya wanita Quraisy adalah utama, akan tetapi aku –demi Allah- tidak melihat ada wanita yang lebih afdlal dari wanita Anshar, lebih sangat dalam membenarkan Kitabullah dan lebih mengimani terhadap wahyu yang turun. Sungguh telah diturunkan Surat An-Nur: : “Hendaknya para wanita membentangkan kerudung-kerudung mereka di atas dada-dada mereka.” Maka suami-suami pulang dan membacakan ayat ini kepada mereka. Maka tidak ada seorangpun di antara mereka kecuali mengambil baju bawahan (muruth) mereka (untuk dijadikan kerudung, pen). Kemudian mereka berpagi-pagi mengikuti jamaah shalat shubuh dengan menutupi tubuh mereka seolah-olah di atas kepala mereka ada burung gagak.”[2] Dan 2 riwayat di atas bisa dikompromikan dengan makna bahwa wanita Anshar bercepat-cepat untuk melaksanakannya (perintah Allah, pen).” (Fathul Bari: 8/490).

Bahkan pada riwayat Ibnu Abi Hatim terdapat lafazh:

مَا مِنْهُنَّ امْرَأَةٌ إِلا قَامَتْ إِلَى مِرْطِهَا الْمُرَحَّلِ

“Maka tidak ada seorangpun di antara mereka kecuali mengambil muruth murahhal miliknya.” (Tafsir Ibnu Abi Hatim: 15233 (10/107)).

Al-Allamah Ibnu Manzhur berkata:

ومِرْطٌ مُرَحَّل : عليه تصاوير الرّحال

Mirth murahhal adalah yang memiliki gambar-gambar rahl (onta).” (Lisanul Arab: 11/265).

Al-Imam Al-Khaththabi berkata:

المرحل هو الذي فيه خطوط ويقال إنما سمي مرحلا لأن عليه تصاوير رحل أو ما يشبهه

Baju murahhal adalah baju yang di dalamnya terdapat garis-garis. Dan dikatakan: “ia disebut baju murahhal karena padanya terdapat gambar-gambar unta atau yang menyerupainya.” (Tuhfatul Ahwadzi: 8/79).

Al-Allamah Asy-Syaukani berkata:

وتلك التصاوير هي صور الرحال والرحال تطلق على المنازل وعلى الرواحل وعلى ما يوضع على الرواحل يستوي عليه الراكب والترحيل مصدر رحل البرد أي وشاه

“Gambar-gambar tersebut adalah gambar-gambar rihal. Rihal bisa diartikan rumah-rumah atau kendaraan (onta dan sebagainya) dan juga bisa diartikan dengan sesuatu yang diletakkan di atas onta yang ditempati oleh si pengendara. At-Tarhil adalah mashdar dari ‘rahhala al-burda yaitu melukisnya.” (Nailul Authar: 2/95).

Adapun gambar-gambar sesuatu yang bernyawa maka telah jelas larangan dari Rasulullah r tentang gambar bernyawa dalam banyak hadits yang shahih.

Jadi makna hadits di atas adalah:

  • Cepat-cepatnya para shahabiyat melaksanakan perintah berhijab.
  • Kerudung mereka terlihat hitam seperti burung gagak dalam gelapnya shubuh.
  • Warna kerudung mereka terdapat ihtimal (beberapa kemungkinan); bisa hijau, atau hitam atau hitam bercorak atau bergaris atau terdapat padanya gambar-gambar.

Sehingga  hadits di atas tidak bisa dijadikan dalil untuk menganjurkan atau mewajibkan pemakaian jilbab atau kerudung berwarna hitam. Wallahu a’lam.

Jilbab Berwarna Hitam

Para sahabiyah y juga memakai jilbab berwarna hitam. Kebanyakan mereka memakainya pada malam hari. Ini pun masih terdapat ihtimal yaitu mungkin mereka memakai jilbab hitam atau warna yang lain yang gelap. Semua terlihat hitam pada gelapnya malam.

Di antara cuplikan Haditsul Ifk adalah perkataan Aisyah t:

وَوَجَدْتُ عِقْدِي بَعْدَ مَا اسْتَمَرَّ الْجَيْشُ فَجِئْتُ مَنَازِلَهُمْ وَلَيْسَ بِهَا مِنْهُمْ دَاعٍ وَلَا مُجِيبٌ فَتَيَمَّمْتُ مَنْزِلِي الَّذِي كُنْتُ بِهِ وَظَنَنْتُ أَنَّهُمْ سَيَفْقِدُونِي فَيَرْجِعُونَ إِلَيَّ فَبَيْنَا أَنَا جَالِسَةٌ فِي مَنْزِلِي غَلَبَتْنِي عَيْنِي فَنِمْتُ وَكَانَ صَفْوَانُ بْنُ الْمُعَطَّلِ السُّلَمِيُّ ثُمَّ الذَّكْوَانِيُّ مِنْ وَرَاءِ الْجَيْشِ فَأَصْبَحَ عِنْدَ مَنْزِلِي فَرَأَى سَوَادَ إِنْسَانٍ نَائِمٍ فَعَرَفَنِي حِينَ رَآنِي وَكَانَ رَآنِي قَبْلَ الْحِجَابِ فَاسْتَيْقَظْتُ بِاسْتِرْجَاعِهِ حِينَ عَرَفَنِي فَخَمَّرْتُ وَجْهِي بِجِلْبَابِي وَ وَاللَّهِ مَا تَكَلَّمْنَا بِكَلِمَةٍ وَلَا سَمِعْتُ مِنْهُ كَلِمَةً غَيْرَ اسْتِرْجَاعِهِ

“Dan aku temukan kalungku setelah pasukan berjalan jauh. Aku mendatangi tempat mereka dan aku tidak menjumpai seorang pun di antara mereka. Tidak ada yang memanggil dan tidak ada yang menyahuti. Aku menuju tempatku semula dan aku kira mereka akan kehilangan aku dan mencariku. Ketika aku menunggu di tempatku tiba-tiba aku diserang rasa kantuk dan tertidur. Adalah Shafwan bin Muaththal As-Sulami kemudian Adz-Dzakwani berada di belakang pasukan. Maka ia masuk waktu shubuh  di tempatku dan melihat hitam-hitamnya manusia yang tidur. Kemudian ia mengetahuiku dan ia sudah pernah melihatku ketika sebelum turunnya ayat hijab. Maka aku terbangun dengan istirja’nya (ucapan: Innalillahi wainna ilaihi rajiuun) ketika mengetahuiku. Maka aku tutupi wajahku dengan jilbabku. Dan demi Allah kami tidaklah berbincang-bincang dengan satu kata pun. Dan aku tidak mendengar satu kata pun darinya kecuali ucapan istirja’nya.” (HR. Al-Bukhari: 3826, 4381, Muslim: 4974, Ahmad: 24444).

Dan ketika sepulang dari ziarah kuburan Baqi’ pada malam hari, Rasulullah r bertanya kepada Aisyah:

فَأَنْتِ السَّوَادُ الَّذِي رَأَيْتُ أَمَامِي قُلْتُ نَعَمْ

“Kamukah hitam-hitam yang aku lihat di depanku?” Jawabku (Aisyah): “Ya.” (HR. Muslim: 1619, An-Nasa’i: 3901, Ibnu Hibban: 7110 (16/4546), Abdur Razzaq dalam Mushannafnya: 6712 (3/570)).

Riwayat-riwayat di atas tidak menunjukkan secara pasti bahwa Aisyah t memakai baju hitam karena gelapnya malam.

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata:

قوله فرأى سواد إنسان نائم السواد بلفظ ضد البياض يطلق على الشخص أي شخص كان فكأنها قالت رأى شخص آدمي لكن لا يظهر أهو رجل أو امرأة

“Ucapannya (Aisyah atau Shafwan bin Muaththal dalam haditsul ifk): “Kemudian ia melihat hitam-hitamnya manusia yang tidur”. As-sawad dengan lafazh lawan kata putih, adalah untuk seseorang manusia siapapun orangnya. Maka seolah-olah ia melihat seorang manusia tapi tidak jelas apakah laki-laki ataukah perempuan.” (Fathul Bari: 8/462).

Al-Qadli Iyadl Al-Maliki berkata:

وقوله لا يفارق سوادي سواده وأنت السواد الذي رأيت أمامي وعن يمينه أسودة وعن يساره أسودة ورأيت سوادا كثيرا واسودة بالساحل كله بمعنى الشخص والشخوص والجماعات

“Dan sabda beliau: “Hitamku tidak berpisah dengan hitamku”, “Kamukah hitam-hitam yang aku lihat di depanku?”, “Dari sisi kanannya ada hitam-hitam”, “Dari sisi kirinya ada hitam-hitam”, “Aku melihat hitam-hitam yang banyak”, “Dan hitam-hitam di pantai” semuanya adalah berarti orang, beberapa orang dan sekumpulan orang.” (Masyariqul Anwar: 2/229). Tidak harus bajunya berwarna hitam.

Ini seperti kata ‘As-Sawadul A’zham’ (hitam-hitam yang besar) yang berarti Kelompok mayoritas orang dari Ahlus Sunnah wal Jamaah. Dan pakaian mereka tidak harus berwarna hitam.

Contoh lainnya dari baju hitam pada masa shahabiyat adalah baju hitam milik Ummu Khalid t yang disebut dengan khamishah. Dari Ummu Khalid t, ia berkata:

أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثِيَابٍ فِيهَا خَمِيصَةٌ سَوْدَاءُ صَغِيرَةٌ فَقَالَ مَنْ تَرَوْنَ أَنْ نَكْسُوَ هَذِهِ فَسَكَتَ الْقَوْمُ قَالَ ائْتُونِي بِأُمِّ خَالِدٍ فَأُتِيَ بِهَا تُحْمَلُ فَأَخَذَ الْخَمِيصَةَ بِيَدِهِ فَأَلْبَسَهَا وَقَالَ أَبْلِي وَأَخْلِقِي وَكَانَ فِيهَا عَلَمٌ أَخْضَرُ أَوْ أَصْفَرُ فَقَالَ يَا أُمَّ خَالِدٍ هَذَا سَنَاهْ وَسَنَاهْ بِالْحَبَشِيَّةِ حَسَنٌ

“Didatangkan kepada Nabi r dengan baju-baju yang di dalamnya terdapat baju khamishah hitam kecil. Beliau bertanya: “Menurut kalian baju ini pantas dipakaikan kepada siapa?” Maka mereka terdiam. Maka beliau berkata: “Ummu Khalid (ketika itu masih kecil) datangkan ke sini!” Maka Ummu Khalid dibawa ke hadapan beliau dengan digendong. Kemudian beliau memakaikan baju itu dengan tangan beliau sendiri dan berkata: “Semoga sampai usang.” Pada baju itu ada corak warna hijau atau kuning. Beliau berkata: “Wahai Ummu Khalid, ini sanah.” Sanah dalam bahasa Etiopia berarti bagus.” (HR. Al-Bukhari: 5375, Abu Dawud: 3506, Al-Baihaqi dalam Asy-Syu’ab: 6289 (5/182)).

Al-Allamah Al-Munawi berkata:

الخميصة كساء أسود معلم الطرفين من نحو صوف فإن لم يكن معلما فليس بخميصة

Khamishah’ adalah baju hitam yang bercorak pada kedua tepinya, terbuat dari wol. Kalau tidak bercorak maka bukan khamishah.” (At-Ta’arif: 327).

Al-Allamah Asy-Syaukani berkata:

( والحديث ) يدل على أنه يجوز للنساء لباس الثياب السود ولا أعلم في ذلك خلافا

“Hadits Ummu Khalid di atas menunjukkan bahwa diperbolehkan bagi wanita untuk memakai baju hitam. Dan aku tidak menjumpai adanya perselisihan ulama dalam hal ini.” (Nailul Authar: 2/96).

Al-Allamah Manshur bin Yunus Al-Buhuti berkata:

وَيُبَاحُ لُبْسُ السَّوَادِ وَالْقَبَاءِ، حَتَّى لِلنِّسَاءِ

“Dan diperbolehkan memakai pakaian hitam dan qaba’ (sejenis mantel) bahkan bagi wanita sekalipun.” (Syarh Muntahal Iradat: 1/369).

Perhatikanlah bahwa para ulama hanyalah menyatakan mubah (boleh) bagi wanita untuk memakai pakaian hitam. Mereka tidak menganjurkan atau mewajibkan atau bahkan menyatakan jilbab hitam sebagai sunnah shahabiyah.

Jilbab Diberi Warna Selain Hitam

Di antara hadits Nabi r yang membolehkan pakaian selain warna hitam bagi wanita adalah hadits Abu Hurairah t bahwa Rasulullah r bersabda:

طِيبُ الرِّجَالِ مَا ظَهَرَ رِيحُهُ وَخَفِيَ لَوْنُهُ وَطِيبُ النِّسَاءِ مَا ظَهَرَ لَوْنُهُ وَخَفِيَ رِيحُهُ

“Wangi-wangian lelaki adalah yang tampak baunya dan samar warnanya dan wangi-wangian perempuan adalah yang tampak warnanya dan samar baunya.” (HR. At-Tirmidzi: 2711, ia berkata: hadits hasan, Abu Dawud: 1859, An-Nasa’i: 5028 dan di-shahih-kan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami: 3937)

Al-Imam Sa’id bin Abi Arubah berkata:

أراه قال إنما حملوا قوله وطيب النساء على ما أرادت أن تخرج فأما إذا كانت عند زوجها فلتطيب بما شاءت انتهى

“Aku melihatnya (Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri) berkata: “Mereka (Salafush shalih) memahami sabda beliau ‘wangi-wangian perempuan adalah ketika ia (perempuan) hendak keluar rumah. Adapun jika ia bersama suaminya maka silakan ia menggunakan wangi-wangian sesukanya. Selesai.” (At-Tamhid lima fil Muwaththa’ minal Ma’ani wal Asanid: 2/185).

Yang demikian itu oleh karena pakaian wanita itu ada 2 macam, yaitu pakaian yang dipakai di dalam rumah dan pakaian yang dipakai untuk keluar rumah.

Al-Allamah Ibnu Utsaimin berkata:

وقد ذكر شيخ الإسلام أن لباس النساء في بيوتهن في عهد النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ما بين كعب القدم وكف اليد كل هذا مستور وهن في البيوت . أما إذا خرجن إلى السوق فقد علم أن نساء الصحابة كن يلبسن ثياباً ضافيات يسحبن على الأرض ورخص لهن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أن يرخينه إلى ذراع لا تزدن على ذلك

“Dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa pakaian wanita di dalam rumah mereka di jaman Rasulullah r adalah antara mata kaki dan telapak tangan. Ini semua tertutup dalam keadaan mereka dalam rumah mereka. Adapun jika mereka keluar ke pasar maka sudah diketahui bahwa para wanita shahabat memakai pakaian yang luas yang menyeret di atas tanah. Dan Nabi r memberikan rukhshah kepada mereka untuk memanjangkan sampai 1 hasta tidak lebih.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibni Utsaimin: 12/275).

Oleh karena itu ketika Aisyah t mengikuti Rasulullah r ke maqam Baqi’ pada malam hari, ia berkata:

فَجَعَلْتُ دِرْعِي فِي رَأْسِي وَاخْتَمَرْتُ وَتَقَنَّعْتُ إِزَارِي ثُمَّ انْطَلَقْتُ عَلَى إِثْرِهِ

“Kemudian aku menjadikan baju kurung pada kepalaku, memakai kerudung dan menutupi kepalaku dengan sarungku. Kemudian aku berjalan di belakang beliau.” (HR. Muslim: 1619, An-Nasa’i: 3901, Ibnu Hibban: 7110 (16/4546), Abdur Razzaq dalam Mushannafnya: 6712 (3/570)).

Jilbab Berwarna Merah

Di antara hadits Nabi r yang membolehkan pakaian berwarna merah bagi wanita adalah hadits Abdullah bin Umar t:

أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى النِّسَاءَ فِي إِحْرَامِهِنَّ عَنْ الْقُفَّازَيْنِ وَالنِّقَابِ وَمَا مَسَّ الْوَرْسُ وَالزَّعْفَرَانُ مِنْ الثِّيَابِ وَلْتَلْبَسْ بَعْدَ ذَلِكَ مَا أَحَبَّتْ مِنْ أَلْوَانِ الثِّيَابِ مُعَصْفَرًا أَوْ خَزًّا أَوْ حُلِيًّا أَوْ سَرَاوِيلَ أَوْ قَمِيصًا أَوْ خُفًّا

“Bahwa ia pernah mendengar Rasulullah r melarang para wanita ketika sedang ber-ihram dari memakai kaos tangan, niqab, pakaian yang diberi waras dan pakaian yang dicelup za’faran. Dan hendaknya ia (wanita) setelah itu memakai apa yang ia sukai dari berbagai macam pakaian, baik mu’ashfar, sutera, perhiasan, sirwal, gamis ataukah sepatu khuf.” (HR. Abu Dawud: 1556, Al-Baihaqi dalam Al-Kubra: 9342 (5/52), di-hasan-kan oleh Ibnul Mulaqqin dalam Al-Badrul Munir: 6/327 dan isnadnya di-shahih-kan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud: 1603).

Al-Allamah Al-Mubarakfuri berkata:

( والمعصفر ) هو المصبوغ بالعصفر كما في كتب اللغة وشروح الحديث والعصفر يصبغ صباغا أحمر

“Baju ‘mu’ashfar’ adalah yang dicelup dengan ushfur sebagaimana dalam kitab-kitab bahasa dan syarh-syarah hadits. Dan ‘ushfur’ adalah yang dicelup dengan celupan berwarna merah.” (Tuhfatul Ahwadzi: 5/322).

Sedangkan menurut Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad:

[ (وعن لبس المعصفر) ]. أي: المصبوغ بالعصفر، وهو نبات معروف لونه أصفر.

“Maksud “dari baju mu’ashfar” adalah baju yang dicelup dengan ushfur yaitu suatu tumbuhan tertentu, warnanya kuning.” (Syarh Sunan Abi Dawud: 23/28).

Dari Aisyah bintu Sa’d ia berkata:

رأيت ستا من أزواج النبي صلى الله عليه و سلم يلبسن المعصفر

“Aku melihat 6 orang istri Nabi r memakai baju mu’ashfar (yang dicelup warna merah atau kuning).” (HR. Abdur Razzaq dalam Mushannafnya: 19956 (11/76) dan isnadnya di-shahih-kan oleh Al-Arna’uth dalam Tahqiq Musnad Ahmad: 11/439).

Dari Sa’id bin Jubair bahwa:

أَنَّهُ رَأَى بَعْضَ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم تَطُوفُ بِالْبَيْتِ ، وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ مُعَصْفَرَةٌ.

“Bahwa ia melihat sebagian istri Nabi r sedang melaksanakan thawaf di Baitullah dengan memakai baju mu’ashfar (yang dicelup merah atau kuning).” (Atsar riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya: 25240 (8/185))[3]

Dari Abdullah bin Amr bin Ash t, ia berkata:

أَقْبَلْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ ثَنِيَّةِ أَذَاخِرَ فَالْتَفَتَ إِلَيَّ وَعَلَيَّ رَيْطَةٌ مُضَرَّجَةٌ بِالْعُصْفُرِ فَقَالَ مَا هَذِهِ فَعَرَفْتُ مَا كَرِهَ فَأَتَيْتُ أَهْلِي وَهُمْ يَسْجُرُونَ تَنُّورَهُمْ فَقَذَفْتُهَا فِيهِ ثُمَّ أَتَيْتُهُ مِنْ الْغَدِ فَقَالَ يَا عَبْدَ اللَّهِ مَا فَعَلَتْ الرَّيْطَةُ فَأَخْبَرْتُهُ فَقَالَ أَلَا كَسَوْتَهَا بَعْضَ أَهْلِكَ فَإِنَّهُ لَا بَأْسَ بِذَلِكَ لِلنِّسَاءِ

“Kami pulang bersama Rasulullah r dari Tsaniyyah Adzakhir. Kemudian beliau menoleh kepadaku dengan keadaan memakai kain penutup (mantel) yang dicelup dengan ushfur. Maka beliau bertanya: “Apa ini?” Aku melihat Rasulullah r tidak menyukainya. Maka aku mendatangi keluargaku dalam keadaan mereka menyalakan api tanur dan aku lemparkan baju itu ke dalamnya. Kemudian aku mendatangi beliau pada besok harinya. Beliau bertanya: “Bagaimana nasib mantelmu?” Maka aku ceritakan apa yang aku lakukan pada baju itu. Maka beliau berkata: “Kamu kan bisa memakaikan baju itu pada sebagian keluargamu. Karena baju tersebut tidak apa-apa jika dipakai wanita.” (HR. Abu Dawud: 3544, Ibnu Majah: 3593, Ahmad: 6556 dan di-hasan-kan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibni Majah: 2903).

Al-Allamah Al-Jauhari:

الرَيْطَةُ: المُلاءةُ إذا كانت قطعة واحدة ولم تكن لِفْقَيْنِ.

Ar-Raithah adalah selimut jika berupa satu potong dan tanpa disatukan dengan jahitan pada kedua tepinya.” (Ash-Shihhah fil Lughah: 1/280). Sehingga boleh bagi wanita pergi ke pasar dengan menutupi tubuhnya dengan Ar-Raithah berwarna merah.

Dan di antara hadits yang membolehkan warna merah untuk pakaian muslimah adalah hadits Ummu Salmah t bahwa Rasulullah r bersabda:

الْمُتَوَفَّى عَنْهَا لاَ تَلْبَسُ الْمُعَصْفَرَ مِنَ الثِّيَابِ وَلاَ الْمُمَشَّقَةَ وَلاَ الْحُلِىَّ وَلاَ تَخْتَضِبُ وَلاَ تَكْتَحِلُ

“Seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya tidak boleh memakai pakaian mu’ashfar (dicelup warna merah atau kuning), tidak pula baju mumasysyaq, tidak pula perhiasan, tidak boleh mengecat (dengan hena’) dan tidak boleh memakai celak.” (HR. Abu Dawud: 1960, An-Nasa’i: 3479, Al-Baihaqi dalam Al-Kubra: 15941 (7/440), isnadnya di-hasan-kan oleh Ibnul Mulaqqin dalam Tuhfatul Muhtaj ila Adillatil Minhaj: 1504 (2/417), dan di-shahih-kan oleh Al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil: 2129 (7/295)).

Abul Fath Al-Khawarizmi berkata:

( ثَوْبٌ مُمَشَّقٌ ) مَصْبُوغٌ بِالْمَشْقِ أَيْ بِالْمَغْرَةِ وَهِيَ طِينٌ أَحْمَرُ

“Baju mumasysyaq adalah baju yang dicelup dengan lumpur merah.” (Al-Maghrab fi Tartibil Mu’arrab: 5/82).

Larangan ini berlaku selama 4 bulan 10 hari dan setelah itu ia boleh mengenakan baju-baju tersebut.

Al-Imam Ibnu Abdil Barr berkata:

وأما النساء فإن العلماء لا يختلفون في جواز لباسهن المعصفر المفدم والمورد والممشق .

“Adapun wanita maka para ulama tidak berselisih tentang bolehnya mereka memakai baju mu’ashfar, baju mufaddam, baju muwarrad dan baju mumasysyaq.” (At-Tamhid lima fil Muwaththa’minal Ma’ani wal Asanid: 16/123).

Beliau juga berkata:

المفدم عند أهل اللغة المشبع حمرة والمورد دونه في الحمرة كأنه والله أعلم مأخوذ من لون الورد وأما الممشق فطين أحمر يصبغ به هو المغرة أو شبهها يقال للثوب المصبوغ به ممشق.

Baju mufaddam menurut ahli bahasa adalah yang sangat merah. Baju muwarrad merahnya lebih pudar seakan-akan kata ‘muwarrad’ –wallahu a’lam- diambil dari warna bunga mawar. Adapun baju mumasysyaq adalah tanah liat merah yang digunakan untuk mencelup yaitu Al-Maghrah atau semisalnya sehingga baju yang dicelup dengannya dinamakan baju mumasysyaq.” (At-Tamhid lima fil Muwaththa’minal Ma’ani wal Asanid: 16/123).

Kerudung dan Jilbab Hijau

Di antara hadits yang membolehkan seorang muslimah berkerudung hijau adalah kisah wanita berkerudung hijau (istri Rifa’ah) dalam hadits Ikrimah. Ikrimah berkata:

أَنَّ امْرَأَةً دَخَلَتْ عَلَى عَائِشَةَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهَا وَعَلَيْهَا خِمَارٌ أَخْضَرُ فَشَكَتْ إِلَيْهَا زَوْجَهَا وَأَرَتْهَا ضَرْبًا بِجِلْدِهَا فَدَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَذَكَرَتْ لَهُ ذَلِكَ عَائِشَةُ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهَا وَقَالَتْ…

“Bahwa seorang wanita memasuki rumah Aisyah –semoga Allah meridlainya- dengan mengenakan kerudung hijau. Kemudian wanita itu mengadukan kepadanya tentang suaminya dan memperlihatkan bekas pukulan di kulitnya. Kemudian Rasulullah r memasuki rumah dan Aisyah t menceritakan kisah wanita itu kepada beliau dan Aisyah berkata:….” (HR. Al-Bukhari: 5377, Al-Baihaqi dalam Al-Kubra: 14689 (7/227) dan ini adalah lafazh Al-Baihaqi)

Dari Aisyah t, ia berkata:

لَقَدْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي الْفَجْرَ فَيَشْهَدُ مَعَهُ نِسَاءٌ مِنْ الْمُؤْمِنَاتِ مُتَلَفِّعَاتٍ فِي مُرُوطِهِنَّ ثُمَّ يَرْجِعْنَ إِلَى بُيُوتِهِنَّ مَا يَعْرِفُهُنَّ أَحَدٌ

“Sungguh adalah Rasulullah r melakukan shalat shubuh. Maka kaum perempuan mukminat ikut berjamaah bersama beliau dengan menutupi tubuh mereka dengan muruth (pakaian bawah) kemudian mereka kembali ke rumah-rumah mereka dan tidak ada seorang pun yang mengetahui mereka.” (HR. Al-Bukhari: 359, Al-Baihaqi dalam Al-Kubra: 2222 (1/453)).

Al-Allamah Al-Aini berkata:

وقال النضر بن شميل لا يكون المرط إلا درعا وهو من خز أخضر ولا يسمى المرط إلا أخضر ولا يلبسه النساء

An-Nadlar bin Syumail[4] berkata: “Bukanlah mirth (bentuk tunggal muruth) kecuali berupa baju kurung atau pakaian bawah. Ia terbuat dari sutera (atau bulu yang ditenun) hijau. Dan tidak disebut mirth kecuali hijau dan tidak dipakai oleh wanita (secara asal, pen).” (Umdatul Qari: 6/244). Dan muruth itu bisa hijau polos atau atau ada coraknya sebagaimana penjelasan Al-Allamah Ibnu Daqiqil Ied yang telah lalu.

Kerudung Bermotif Garis

Dari Ali bin Abi Thalib t, ia berkata:

أُهْدِيَتْ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حُلَّةُ سِيَرَاءَ فَبَعَثَ بِهَا إِلَيَّ فَلَبِسْتُهَا فَعَرَفْتُ الْغَضَبَ فِي وَجْهِهِ فَقَالَ إِنِّي لَمْ أَبْعَثْ بِهَا إِلَيْكَ لِتَلْبَسَهَا إِنَّمَا بَعَثْتُ بِهَا إِلَيْكَ لِتُشَقِّقَهَا خُمُرًا بَيْنَ النِّسَاءِ

“Rasulullah r diberi hadiah baju ‘hullah siyara’’. Kemudian beliau mengirimkannya kepadaku dan aku memakainya. Maka aku melihat kemurkaan pada wajah beliau. Beliau berkata: “Aku kirimkan baju ini kepadamu bukan untuk kamu pakai. Tapi aku kirimkan kepadamu agar kamu potong menjadi beberapa potong kerudung untuk (dipakai) para wanita. (HR. Al-Bukhari: 4947, Muslim: 3862, dan ini adalah redaksi Muslim).

Dalam riwayat lain:

أَنَّ أُكَيْدِرَ دُومَةَ أَهْدَى إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَوْبَ حَرِيرٍ فَأَعْطَاهُ عَلِيًّا فَقَالَ شَقِّقْهُ خُمُرًا بَيْنَ الْفَوَاطِمِ

“Bahwa raja Ukaidardumah menghadiahkan kepada Nabi r baju sutera maka beliau memberikannya kepada Ali dan berkata: “Potonglah menjadi beberapa kerudung untuk Fatimah-fatimah.” (HR. Muslim: 3863, Ibnu Majah: 3586).

Al-Allamah Al-Jauhari berkata:

قال أبو عبيد: الحُلَلُ: بُرودُ اليمن. والحُلَّةُ: إزارٌ ورداءٌ، لا تسمَّى حُلَّةً حتّى تكون ثوبين

“Abu Ubaid (Al-Qasim bin Salam) berkata: “Hullah’ adalah baju burud (sejenis baju bulu) Yaman. Hullah terdiri dari izar (sarung) dan rida’ (selendang) dan tidaklah disebut sebagai hullah kecuali terdiri dari 2 baju (sarung dan selendang).” (Ash-Shihhah fil Lughah: 1/144).

Al-Allamah Al-Lughawi Ibnu Manzhur berkata:

والسِّيَرَاءُ بكسر السين وفتح الياء والمدِّ بُردٌ فيه خطوط صُفْرٌ

“Pakaian ‘as-siyara’ dengan kasrah huruf sin dan fathah ya’ dan madd (dibaca panjang) adalah baju burud (sejenis baju bulu) yang memiliki garis-garis kuning.” (Lisanul Arab: 4/389).

Al-Allamah Ibnul Atsir berkata:

السِيرَاء بكسر السين وفتح الياء والمدّ : نَوْع من البُرُودِ يُخالِطه حَرير

“Pakaian ‘as-siyara’ dengan kasrah huruf sin dan fathah ya’ dan madd adalah semacam baju burud (sejenis baju bulu) yang bercampur dengan sutera.” (An-Nihayah fi Gharibil Hadits: 2/1055).

Jadi ‘hullah siyara’ yang dihadiahkan kepada Rasulullah r adalah berupa sarung dan selendang yang bermotif garis sutera yang berwarna kuning. Oleh karena itu Ali t dilarang memakainya.

Maksud “untuk Fatimah-fatimah” adalah kerudung untuk Fathimah binti Rasulillah r; istri Ali, Fathimah bintu Asad; ibu Ali, Fathimah bintu Hamzah t; sepupu Ali dan Fathimah istri Aqil bin Abi Thalib t. (Aunul Ma’bud: 11/62).

Kejadian ini terjadi setelah adanya perintah untuk berjilbab dan berkerudung -ketika keluar rumah- pada ayat hijab karena ayat hijab turun pada tahun 5 hijriyah. (Taisirul Allam Syarh Umdatul Ahkam: 2/109). Sedangkan pengiriman Khalid bin Walid t dan sariyyahnya ke Ukaidar (Dumatul Jandal) terjadi pada tahun 9 hijriyah. (Uyunul Atsar fii Fununil Maghazi was Syama’il was Siyar: 2/259).

Jilbab Berwarna Putih

Pada jaman Rasulullah r terdapat baju Qabathi. Bentuk tunggalnya adalah baju qubthiyyah.

Al-Allamah Muhammad Syamsul Haq berkata:

القباطي بفتح القاف وموحدة وكسر طاء مهملة وتحتية مشددة جمع قبطية وهي على ما في النهاية ثوب من ثياب مصر رقيقة بيضاء كأنه منسوب إلى القبط وهم أهل مصر وضم القاف من تغيير النسب وهذا في الثياب فأما في الناس فقبطي بالكسر وفي المصباح والقبطي ثوب من كتان رقيق يعمل بمصر نسبة إلى القبط انتهى

Al-Qabathi dengan fathah huruf qaf dan ba’, dengan kasrah huruf tha’ dan ya’, bentuk jamak dari Qubthiyyah. Yaitu –sebagaimana keterangan dalam An-Nihayah- adalah baju Mesir tipis berwarna putih, seolah-olah dinisbatkan kepada Qibthi, penduduk Mesir. Untuk pakaian huruf qaf didlammahkan menjadi Qubthi –sebagai perubahan nisbat- sedangkan untuk orangnya adalah Qibthi dengan kasrah huruf qaf. Dalam Al-Mishbah, baju Qubthi adalah baju dari kattan (linen) yang tipis, dibuat di Mesir, nisbat kepada orang Qibthi. Selesai.” (Aunul Ma’bud: 11/117).

Dari Usamah bin Zaid t, ia berkata:

كَسَانِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قُبْطِيَّةً كَثِيفَةً أَهْدَاهَا لَهُ دِحْيَةُ الْكَلْبِىُّ ، فَكَسُوتُهَا امْرَأَتِى فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- :« مَا لَكَ لاَ تَلْبَسِ الْقُبْطِيَّةَ؟ ». قُلْتُ : كَسَوْتُهَا امْرَأَتِى . فَقَالَ :« مُرْهَا فَلْتَجْعَلْ تَحْتَهَا غِلاَلَةً فَإِنِّى أَخَافُ أَنَّ تَصِفَ عِظَامَهَا ».

“Rasulullah r pernah memberiku baju qubthiyyah yang tebal yang merupakan hadiah dari Dihyah Al-Kalbi untuk beliau. Maka aku kenakan pada istriku. Maka Rasulullah r berkata: “Kenapa kamu tidak memakai baju qubthiyyah?” Jawabku: “Aku pakaikan pada istriku.” Maka beliau bersabda: “Suruhlah istrimu mengenakan baju dalam dulu sebelum mengenakan baju qubthiyyah karena aku khawatir baju tersebut menggambarkan lekuk-lekuk tulangnya.” (HR. Ahmad dalam Al-Musnad: 20787, Al-Baihaqi dalam Al-Kubra: 3388 (2/234), Ath-Thabrani dalam Al-Kabir: 376 (1/160). Al-Haitsami berkata dalam Majma’uz Zawaid  5/240 : “Di dalamnya ada Abdullah bin Muhammad bin Aqil, haditsnya hasan dan di dalamnya ada kelemahan, sedangkan perawi lainnya adalah orang-orang tsiqat.” Dan di-hasan-kan pula oleh Al-Albani dalam Ats-Tsamarul Mustathab: 318 dan Jilbab Al-Mar’ah Al-Muslimah: 131).

Jadi baju qubthiyyah yang dipermasalahkan oleh Rasulullah r adalah karena tipisnya sehingga menggambarkan lekuk-lekuk tubuh bukan karena warnanya yang putih.

Oleh karena itu Al-Allamah  Manshur bin Yunus Al-Buhuti menyatakan:

( وَيُكْرَهُ لِلنِّسَاءِ لُبْسُ مَا يَصِفُ اللِّينَ وَالْخُشُونَةَ وَالْحَجْمَ ) لِمَا رُوِيَ عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ قَالَ { كَسَانِي الرَّسُولُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُبْطِيَّةً كَثِيفَةً… الخ

Dan dibenci bagi wanita memakai baju yang menggambarkan halus dan kasarnya tubuh serta tulang-tulang karena adanya hadits yang diriwayatkan dari Usamah bin Zaid t, ia berkata: “Rasulullah r pernah memberiku baju qubthiyyah yang tebal…dst.” (Kasysyaful Qina’: 2/307). Dan beliau tidak menyatakan: “Dan dibenci bagi wanita memakai baju yang berwarna putih..”

Jilbab berwarna putih pun boleh dikenakan oleh seorang muslimah jika itu menjadi pakaian kebiasaan wanita di negerinya.

Al-Allamah Al-Faqih Ibnu Utsaimin pernah ditanya:

السؤال: يقول هل يجوز أن تتخذ المرأة حجاباً بلونٍ غير الأسود؟

فأجاب رحمه الله تعالى : كأنه يقول هل يجوز أن تلبس المرأة خماراً غير أسود فالجواب نعم لها أن تلبس خماراً غير أسود بشرط أن لا يكون هذا الخمار كغترة الرجل فإن كان مثل غترة الرجل كان حراماً لأن النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم (لعن المتشبهين من الرجال بالنساء والمتشبهات من النساء بالرجال) أما إذا كان لونه أبيض ولكنه لا يلبس على كيفية لباس الرجل فهذا إذا اعتاده الناس في بلادهم لا بأس به وأما إذا كان غير معتادٍ عندهم فلا لأن لباس الشهرة منهيٌ عنه وإنني بهذه المناسبة أود أن أذكر أخواتنا المسلمات بأمرٍ هام ألا وهو ما اعتاده بعض النساء من تلقي الموضات الجديدة بالقبول والمتابعة ولو على حساب الآداب الشرعية فإن من النساء من فتنت بتلقي الموضات واستعمالها سواءٌ كان ذلك في اللباس الظاهر أو اللباس الباطن أو في المزينات وهذا غلطٌ عظيم والذي ينبغي للمرأة أن يكون لها اعتداد بنفسها وعاداتها وما ألفه الناس من قبل حتى لا تكون إمعة تقول ما يقول الناس وتفعل ما يفعل الناس لأنها إذا عودت نفسها المتابعة كان ذلك خطراً عليها ألا يكون لها شخصية ولا قيمة فليحذر النساء من تلقي الموضات الجديدة لا سيما التي تنافي الدين وتوجب التشبه بأعداء الله.

Tanya: “Bolehkah seorang wanita memakai hijab berwarna selain hitam?”

Jawab: “Seharusnya Penanya bertanya: “Bolehkah seorang wanita memakai kerudung berwarna selain hitam?” Maka jawabnya adalah boleh bagi wanita memakai kerudung selain warna hitam dengan syarat kerudung tersebut tidak seperti ghatrah (sejenis penutup kepala) orang laki-laki. Jika seperti ghatrah laki-laki maka hukumnya haram. Karena Nabi r ‘melaknat lelaki yang menyerupakan dirinya dengan wanita dan melaknat wanita yang menyerupakan dirinya dengan lelaki’. Adapun jika kerudungnya berwarna putih dan cara memakainya tidak seperti caranya kaum lelaki, maka jika wanita di negerinya membiasakannya maka tidak apa-apa (dipakai). Adapun jika tidak dibiasakan oleh wanita negerinya maka tidak boleh dipakai karena baju kemasyhuran adalah dilarang. Dan Aku (Syaikh Utsaimin) pada munasabah ini ingin untuk mengingatkan saudari-saudari kami yang muslimah dengan perkara penting. Yaitu apa-apa yang dibiasakan oleh sebagian wanita dengan menerima dan meniru-tiru mode-mode (gaya-gaya) baru (dalam berpakaian) meskipun di atas adab-adab syar’i. Karena sebagian wanita ada yang suka meniru mode-mode baru dan memakainya baik untuk baju zhahir ataupun baju batin ataupun dalam perhiasan. Ini adalah kesalahan besar. Dan perkara yang seharusnya dipersiapkan dan dibiasakan muslimah adalah apa-apa yang dipakai oleh kaum muslimah sebelumnya (sebelum datangnya mode-mode dari Barat, pen). Sehingga ia memiliki pendirian yang kuat. Tidak ikut-ikutan mengatakan perkataan manusia dan melakukan yang dilakukan oleh manusia. Karena jika seorang wanita membiasakan dirinya ikut-ikutan maka itu akan menjadi bahaya atas dirinya. Ia tidak akan memiliki jatidiri, tidak memiliki harga. Maka hendaknya para muslimah berhati-hati dari menerima mode-mode baru apalagi yang bertentangan dengan Ad-Dien dan menyebabkan tasyabbuh dengan musuh-musuh Allah.” (Fatawa Nur alad Darb: Fatawa Az-Zinah wal Mar’ah: 50).

Dan jilbab berwarna putih pernah dipakai oleh para muslimah di jaman Al-Imam Asy-Syafi’I sedangkan warna lainnya jarang dipakai.

Al-Imam Asy-Syafi’i berkata:

وَأُحِبُّ إذَا حَضَرَ النِّسَاءُ الْأَعْيَادَ وَالصَّلَوَاتِ يَحْضُرْنَهَا نَظِيفَاتٍ بِالْمَاءِ غير مُتَطَيِّبَاتٍ وَلَا يَلْبَسْنَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ وَلَا زِينَةٍ وَأَنْ يَلْبَسْنَ ثِيَابًا قَصِدَةً من الْبَيَاضِ وَغَيْرِهِ وَأَكْرَهُ لَهُنَّ الصِّبَغَ كُلَّهَا فَإِنَّهَا تُشْبِهُ الزِّينَةَ وَالشُّهْرَةَ أو هُمَا

“Dan aku senangi jika para wanita menghadiri shalat hari raya dan shalat-shalat lainnya hendaknya mereka menghadirinya dalam keadaan bersih dengan air tanpa memakai minyak wangi. Dan janganlah wanita memakai baju syuhrah (kemasyhuran) dan juga baju perhiasan. Hendaknya mereka memakai baju yang sedang-sedang seperti warna putih dan lainnya. Dan aku membenci mereka menggunakan celupan semuanya karena celupan itu menyerupai kemasyhuran dan perhiasan atau kedua-duanya.” (Al-Umm: 1/233).

Jilbab dengan Rumbai-rumbai

Rumbai-rumbai baju disebut dengan Al-Hudbah.

Al-Lughawi Al-Jauhari berkata:

الهُدْبَةُ: الخَمْلَةُ، وضم الدال لغةٌ فيه. وهُدْبُ الثوب وهُدَّاب الثوب: ما على أطرافه. ودِمَقْس مُهَدَّبٌ، أي ذو هُدَّابٍ. وهُدُبُ العين: ما نبَتَ من الشعر على أشفارها

“Al-Hudbah adalah rumbai-rumbai. Boleh juga dibaca Al-Hudubah. Rumbai-rumbai baju adalah yang ada pada tepinya. Dimaqs (sutera) muhaddab artinya yang memiliki rumbai-rumbai. Rumbai-rumbai (bulu mata atau idep: bhs Jawa) mata adalah bulu rambut yang tumbuh di tepinya.” (Ash-Shihhah fil Lughah: 2/245). Contoh rumbai-rumbai adalah rumbai-rumbai yang ada pada kedua tepi sajadah (alas shalat) yang sering kita jumpai.

Pemilik jilbab dengan rumbai-rumbai tersebut adalah wanita yang berkerudung hijau (istri Rifa’ah) yang datang ke rumah Aisyah  t sebagaimana kisah yang telah lalu. Aisyah t berkata:

جَاءَتْ امْرَأَةُ رِفَاعَةَ الْقُرَظِيِّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا جَالِسَةٌ وَعِنْدَهُ أَبُو بَكْرٍ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي كُنْتُ تَحْتَ رِفَاعَةَ فَطَلَّقَنِي فَبَتَّ طَلَاقِي فَتَزَوَّجْتُ بَعْدَهُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الزُّبَيْرِ وَإِنَّهُ وَاللَّهِ مَا مَعَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِلَّا مِثْلُ هَذِهِ الْهُدْبَةِ وَأَخَذَتْ هُدْبَةً مِنْ جِلْبَابِهَا فَسَمِعَ خَالِدُ بْنُ سَعِيدٍ قَوْلَهَا وَهُوَ بِالْبَابِ لَمْ يُؤْذَنْ لَهُ قَالَتْ فَقَالَ خَالِدٌ يَا أَبَا بَكْرٍ أَلَا تَنْهَى هَذِهِ عَمَّا تَجْهَرُ بِهِ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَا وَاللَّهِ مَا يَزِيدُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى التَّبَسُّمِ فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَلَّكِ تُرِيدِينَ أَنْ تَرْجِعِي إِلَى رِفَاعَةَ لَا حَتَّى يَذُوقَ عُسَيْلَتَكِ وَتَذُوقِي عُسَيْلَتَهُ

“Istri Rifa’ah Al-Qurazhi mendatangi Rasulullah r -dan aku dalam keadaan duduk-. Di sisi beliau ada Abu Bakar. Maka wanita itu berkata: “Wahai Rasulullah sesungguhnya aku dulu adalah istrinya Rifa’ah kemudian ia menceraikanku (talak 3, pen). Kemudian aku menikah dengan Abdurrahman bin Az-Zubair setelahnya. Demi Allah, tidaklah batang kemaluannya (Abdurrahman) kecuali seperti rumbai-rumbai ini.” Maka ia mencabut sehelai rumbai-rumbai dari jilbabnya. Maka Khalid bin Sa’id mendengarkan ucapan wanita tadi dalam keadaan ia masih ada di depan pintu dan belum mendapat ijin (untuk masuk, pen). Khalid berkata: “Wahai Abu Bakar mengapa kamu tidak melarang wanita ini dari kata-katanya yang keras di sisi Rasulullah r?” Maka demi Allah, Rasulullah u tidaklah lebih dari hanya sekedar tersenyum saja (mendengar ucapan wanita tersebut, pen). Maka Rasulullah r berkata kepada wanita itu: “Apakah kamu ingin kembali lagi kepada Rifa’ah? Tidak boleh, sampai ia (Abdurrahman) bisa mencicipi kenikmatan berjima’ dengan dirimu dan kamu bisa mencicipi kenikmatan berjima’ dengan dirinya.” (HR. Al-Bukhari: 5346, An-Nasa’i: 3356, Ahmad: 22929).

Al-Imam Ibnu Bathal berkata:

ليس فيه أكثر من أن الثياب المهدبة من لباس السلف ، وأنه لا بأس به

“Tidak ada pelajaran yang lebih banyak yang dapat diambil dari hadits ini selain kenyataan bahwa baju yang memiliki rumbai-rumbai adalah termasuk baju As-Salaf. Dan tidak apa-apa dipakai.” (Syarh Ibnu Bathal alal Bukhari: 9/82).

Mewajibkan Jilbab denganWarna Hitam adalah Ghuluw

Asy-Syaikh Dr. Muhammad bin Abdul Maqshud pernah ditanya:

س: هل يجب على المرأة لبس الثوب الأسود أم يجوز لها أن تلبس ألوانا أخري؟

الجواب: هذا من الافتراء والكذب على الله عز وجل ومن الغلو في دينه –تبارك وتعالى- ومعلوم أنه قد ثبت عند البخاري من حديث عائشة –رضي الله عنها- أن امرأة رفاعة أتت رسول الله  -صلى الله عليه وسلم- وعليها ثوب أخضر ومن شاء فليراجع كتاب العلامة الشيخ ناصر الدين الالباني –رحمه الله- في طبعته الأخيرة أن من الصحابيات من كن يرتدين ألوانا غير السواد ولا دليل اطلاقا يدل على وجوب الثوب الأسود.

وصنيع العلماء أنهم يقولون: جواز الثوب الأسود للمرأة ولكن لم يقولوا الوجوب. الوجوب يقوله الجهال من الملتزمين في هذا العصر الأخير الذين غلب عليهم الغلو ليس مؤسسا لا على كتاب الله –عز وجل- ولا سنة رسوله –صلى الله عليه وسلم-. (فتاوى المرأة المسلمة: 444)

Tanya: “Wajibkah seorang wanita mengenakan pakaian hitam ataukah boleh mengenakan pakaian yang lainnya?”

Jawab: “Ini (mewajibkan wanita berpakaian warna hitam) adalah termasuk mengada-ada dan berdusta atas nama Allah U dan termasuk ghuluw (ekstrim) dalam agama-Nya U. Dan telah maklum bahwa telah shahih menurut Al-Imam Al-Bukhari dari hadits Aisyah t bahwa istri Rifa’ah mendatangi Rasulullah r dengan mengenakan pakaian (kerudung) berwarna hijau. Barangsiapa yang mau maka silakan merujuk Kitab Asy-Syaikh Al-Albani –semoga Allah merahmati beliau- cetakan terakhir bahwa sebagian shahabiyat ada yang berpakaian dengan warna-warna selain hitam dan tidak ada dalil secara mutlak yang menunjukkan wajibnyan pakaian hitam (atas wanita).

Perbuatan para ulama adalah bahwa mereka menyatakan bolehnya memakai baju berwarna hitam bagi wanita dan tidak menyatakan wajib. Yang mewajibkan hanyalah orang-orang bodoh dari kalangan orang-orang yang ber-iltizam (dengan As-Sunnah) di masa terakhir ini yang terkalahkan oleh sikap ghuluw (ekstrim), tidak berdasar pada Kitabullah U dan juga sunnah Rasul-Nya r.” (Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah: 444).

Demikianlah petunjuk Salafush Shalih dalam warna pakaian muslimah yang tidak mewajibkan pada warna hitam saja. Dan termasuk sebuah kesalahan jika menyatakan bahwa pakaian warna hitam merupakan sunnah shahabiyah.

Kemudian yang paling penting adalah ketika kita ber-istimbath terhadap sebuah teks hadits Nabi r maka alangkah baiknya kita mencari riwayat lain yang serupa karena hadits-hadits Nabi itu saling menafsirkan. Kemudian kita cari rujukan bahasa Arab dari pakar-pakarnya tentang masalah yang kita bicarakan tadi.  Wallahu a’lam.

Babat, 2 Jumadil Ula 1431 H

Selesai diperbaiki, 10 Jumadil Ula 1431 H


[1] Abdullah bin Utsman bin Khutsaim Al-Makki. Al-Hafizh berkata: shaduq. (Taqribut Tahdzib: 526).

[2] Riwayat Ibnu Abi Hatim yang dibawakan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar ternyata memiliki 2 jalan. Jalan pertama: Ibnu Abi Hatim berkata:

حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مَالِكٍ, ثنا الْحَسَنُ بْنُ الرَّبِيعِ, ثنا دَاوُدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ, عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُثْمَانَ, عَنْ صَفِيَّةَ بِنْتِ شَيْبَةَ, عَنْ عَائِشَةَ, قَالَتْ…

Sedangkan jalan kedua: Ibnu Abi Hatim berkata:

حَدَّثَنَا أَبِي, ثنا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يُونُسَ, حَدَّثَنِي الزَّنْجِيُّ بْنُ خَالِدٍ, حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُثْمَانَ بْنِ خُثَيْمٍ, عَنْ صَفِيَّةَ بِنْتِ شَيْبَةَ,”قَالَتْ: بَيْنَمَا نَحْنُ عِنْدَ عَائِشَةَ قَالَتْ…..

Silakan lihat kembali Tafsir Ibnu Abi Hatim: 10/107, nomer: 15232 dan 15233. Syaikh Alwi bin Abdul Qadir As-Saqqaf menyatakan: “Hasan lighairih.” (Takhrij Ahadits wa Atsar Kitab Fii Zhilalil Quran nomer: 631 (226)).

[3] Sanadnya adalah: Berkata Ibnu Abi Syaibah:

حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ ، عَنْ سَعِيدٍ ، عَنْ أَبِي مَعْشَرٍ ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ

Yazid bin Harun adalah seorang tsiqat, mutqin, abid.

Sa’id bin Abi Arubah adalah seorang tsiqat dan ikhtilat di akhir umurnya dan Yazid bin Harun mendengar haditsnya sebelum ikhtilat (Al-Kawakibun Nayyirat: 193). Al-Hafizh memasukkannya sebagai mudallis derajat kedua yaitu mudallis yang masih dipakai dalam kitab Ash-Shahih karena sedikit tadlisnya atau ia hanya mentadlis dari orang tsiqat. (Thabaqatul Mudallisin: 31).

Abu Ma’syar Ziyad bin Kulaib Al-Kufi seorang tsiqat, hafizh.

[4] Beliau adalah Al-Allamah Al-Imam Al-Hafizh Abul Hasan Al-Mazini Al-Bashri Al-Lughawi Alim kota Marwa. Wafat tahun 203 H. (Tadzkiratul Huffazh: 1/229).

  1. yuli
    Januari 20, 2011 pukul 11:36 am

    bismillah…
    subahanalloh…
    afwan…ana jadi bingung,mana yg benar?
    semoga slalu di beri kemudahan dalam mendaptkan ilmu agama.

  1. Desember 10, 2011 pukul 2:41 am
  2. Desember 11, 2012 pukul 10:16 am

Tinggalkan komentar