Beranda > Manhaj > Menganggap Diri Paling Salafy, Akhlaq Jahiliyyah

Menganggap Diri Paling Salafy, Akhlaq Jahiliyyah


Menganggap Diri Paling Salafy, Akhlaq Jahiliyyah

Oleh: dr. M Faiq Sulaifi

Di antara sekian banyak akhlaq jahiliyyah yang harus dijauhi oleh setiap pencari kebenaran adalah memiliki perasaan bahwa dirinya paling berilmu, paling salafi, atau ma’hadnya yang paling salafi atau menganggapnya sebagai markiz dakwah salafiyah yang paling murni sedunia (sebagaimana yang dikutip dengan tulisan yang tebal dan jelas oleh sebuah Situs Hizbi yang penuh dengan fitnah) dan sebagainya. Ucapan-ucapan semisal ini tidaklah muncul kecuali dari mulut orang-orang yang memiliki penyakit jahiliyyah. Yang aneh adalah mereka masih mengaku diri mereka paling salafi atau paling murni ke-salafi-annya dalam keadaan mereka terjangkiti penyakit jahiliyyah ini.

Perbuatan ini dinamakan ‘tazkiyatun nafs’ yang artinya merasa diri paling bersih, paling alim atau paling salafi.

Larangan Menganggap Diri Sendiri Paling Baik

Allah U berfirman:

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يُزَكُّونَ أَنْفُسَهُمْ بَلِ اللَّهُ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ وَلَا يُظْلَمُونَ فَتِيلًا

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang menganggap diri mereka bersih? Sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya dan mereka tidaklah dianiaya sedikitpun.” (QS. An-Nisa’: 49).

Al-Imam Qatadah berkata tentang ayat di atas:

وهم أعداء الله اليهود، زكوا أنفسهم بأمر لم يبلغوه، فقالوا: (نحن أبناء الله وأحباؤه). وقالوا: لا ذنوب لنا.

“Mereka adalah musuh-musuh Allah yaitu kaum Yahudi. Mereka menganggap diri mereka bersih dengan sesuatu perkara yang mana mereka tidak sampai kepadanya. Mereka berkata: “Kami adalah anak-anak Allah dan kekasih-Nya.” Dan mereka berkata: “Kami tidak memiliki dosa.” (HR. Ath-Thabari dengan sanad hasan. Ash-Shahihul Masbur: 2/64-65).

Al-Allamah Alimul Yaman Asy-Syaukani berkata:

ومعنى التزكية : التطهير والتنزيه، فلا يبعد صدقها على جميع هذه التفاسير وعلى غيرها، واللفظ يتناول كل من زكى نفسه بحق أو بباطل من اليهود وغيرهم، ويدخل في هذا التلقب بالألقاب المتضمنة للتزكية، كمحيي الدين ، وعز الدين ، ونحوهما .

“Dan makna ‘tazkiyah’ adalah menganggap diri suci dan bersih. Dan tidaklah jauh kebenaran makna ‘tazkiyah’ atas semua tafsir ini dan yang lainnya. Dan lafazh ini (tazkiyah, pen) meliputi semua orang yang men-tazkiyah dirinya (merekomendasikan dirinya dengan kebaikan, pen) dengan cara yang benar atau yang batil dari kalangan Yahudi dan lainnya. Dan termasuk dalam perkara ini adalah memberikan laqab (nama julukan) yang mengandung ‘tazkiyah’ seperti Muhyiddin (orang yang menhidupkan agama), Izzuddin (kemuliaan agama) dan lain sebagainya.” (Fathul Qadir: 2/160).

Maka bandingkanlah penjelasan Al-Allamah Asy-Syaukani di atas dengan klaim mereka bahwa mereka memiliki markaz dakwah salafiyyah paling murni sedunia. Padahal ilmu mereka adalah tidak ada apa-apanya  jika dibanding dengan ilmu beliau.

Allah berfirman:

فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى

“Maka janganlah kalian mengatakan diri kalian suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS. An-Najm: 32).

Al-Allamah Asy-Syaukani berkata tentang ayat di atas:

لا تمدحوها ولا تبرئوها عن الآثام ولا تثنوا عليها، فإن ترك تزكية النفس أبعد من الرياء، وأقرب إلى الخشوع،

“Janganlah kalian memuji diri kalian sendiri, merasa diri kalian bebas dari dosa dan janganlah kalian menyanjung diri kalian sendiri, karena meninggalkan ‘sifat memuji diri sendiri dan merasa bersih’ adalah lebih jauh dari sifat riya’ dan lebih mendekati khusyu’.” (Fathul Qadir: 7/77).

Kisah Nabi Musa alaihissalam

Allah U pernah menegur Nabi Musa u karena menyatakan bahwa beliau adalah orang yang paling alim di jamannya.

Dari Abdullah bin Abbas t bahwa Rasulullah r bersabda:

بَيْنَا مُوسَى فِي مَلَإٍ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ هَلْ تَعْلَمُ أَحَدًا أَعْلَمَ مِنْكَ فَقَالَ مُوسَى لَا فَأُوحِيَ إِلَى مُوسَى بَلَى عَبْدُنَا خَضِرٌ فَسَأَلَ مُوسَى السَّبِيلَ إِلَى لُقِيِّهِ فَجَعَلَ اللَّهُ لَهُ الْحُوتَ آيَةً….

“Suatu ketika Musa berada di majelis perkumpulan Bani Israil. Tiba-tiba ada seorang laki-laki mendatangi beliau dan bertanya: “Apakah engkau mengetahui ada orang yang lebih alim (berilmu) dari engkau?” Beliau menjawab: “Tidak ada.” Maka Musa mendapatkan wahyu: “Ya, ada (seseorang yang lebih alim darimu) yaitu hamba Kami Khadlir.” Maka Musa bertanya kepada Allah tentang jalan untuk menemui Khadlir kemudian Allah jadikan ikan huut sebagai tanda… dst.” (HR. Al-Bukhari: 6924, Muslim: 4385, At-Tirmidzi: 3074).

Sedangkan di dalam riwayat Muslim, Nabi Musa u berkata:

مَا أَعْلَمُ فِي الْأَرْضِ رَجُلًا خَيْرًا وَأَعْلَمَ مِنِّي

“Aku tidak mengetahui di muka bumi ini ada seseorang yang lebih baik dan lebih alim dariku.” (HR.Muslim: 4386).

Dalam riwayat lain:

فَسُئِلَ أَيُّ النَّاسِ أَعْلَمُ فَقَالَ أَنَا فَعَتَبَ اللَّهُ عَلَيْهِ إِذْ لَمْ يَرُدَّ الْعِلْمَ إِلَيْهِ

“Maka Musa ditanya: “Siapakah di antara para manusia yang paling alim?” Maka beliau menjawab: “Aku.” Maka Allah menegurnya karena ia tidak mengembalikan ilmu kepada-Nya.” (HR. Al-Bukhari: 4356, Muslim: 4385).

Al-Allamah Al-Aini berkata:

وقيل جاء هذا تنبيها لموسى وتعليما لمن بعده ولئلا يقتدي به غيره في تزكية نفسه والعجب بحاله فيهلك

“Dan dikatakan bahwa teguran ini datang untuk memperingatkan Musa dan mengajari orang-orang setelahnya dan agar tidak ditiru oleh selainnya dalam sikap merasa diri paling baik dan rasa bangga (ujub) dengan keadaan dirinya sehingga menjadi binasa.” (Umdatul Qari: 3/40).

Kalau Nabi Musa u yang maksum saja ditegur oleh Allah U karena ucapan beliau bahwa beliau adalah orang yang paling alim, maka mereka yang bukan Nabi lebih pantas untuk ditegur karena ucapan mereka bahwa markiz mereka adalah markiz salafiyah yang paling murni sedunia. Wallahul musta’an.

Sikap Tawadlu’ dari Al-Imam Malik

Beliau adalah Al-Imam Malik bin Anas, seorang ulama besar di kota Madinah yang tidak diragukan lagi keilmuan beliau.

Al-Imam Sufyan bin Uyainah berkata:

مالك عالم أهل الحجاز، وهو حجة زمانه.

“Malik adalah orang alimnya penduduk Hejaz. Beliau adalah hujjah masanya.” (Siyar A’lamin Nubala’: 8/57).

Al-Imam Adz-Dzahabi berkata:

ولم يكن بالمدينة عالم من بعد التابعين يشبه مالكا في العلم، والفقه، والجلالة، والحفظ،

“Dan di Madinah tidak dijumpai seorang alim setelah tabi’in yang seperti Malik dalam keilmuan, fiqih, kebesaran dan hafalan.” (Siyar A’lamin Nubala’: 8/58).

Meskipun mendapat banyak tazkiyah dari para ulama’, beliau tidak pernah menyatakan bahwa diri beliau adalah orang yang paling alim, paling salafi atau kitab Al-Muwaththa’ karya beliau adalah kitab yang paling murni. Bahkan beliau pernah berkata:

شاورني هارون الرشيد في ثلاثة: في أن يعلق الموطأ في الكعبة، ويحمل الناس على ما فيه،….فقلت: أما تعليق ” الموطأ “، فإن الصحابة اختلفوا في الفروع، وتفرقوا، وكل عند نفسه مصيب……

“Harun Ar-Rasyid bermusyawarah denganku dalam 3 perkara: (di antaranya adalah) beliau ingin menggantungkan kitab Al-Muwaththa’ di Ka’bah dan menganjurkan manusia untuk mengamalkan isi kitab tersebut…… Maka aku katakan: “Adapun menggantungkan Al-Muwaththa’ maka sesungguhnya para sahabat telah ber-ikhtilaf (berbeda pendapat) dalam masalah furu’ dan mereka telah menyebar (ke berbagai negeri). Dan masing-masing mereka telah benar menurut ijtihad mereka…dst.” (Siyar A’lamin Nubala’: 8/98 dan isnad atsar di atas di-hasan-kan oleh Adz-Dzahabi).

Antara Tazkiyah yang Boleh dan yang Dilarang

Al-Imam An-Nawawi berkata:

إعلم أن ذكر محاسن نفسه ضربان: مذموم; ومحبوب، فالمذموم أن يذكره للافتخار وإظهار الارتفاع والتميز على الأقران وشبه ذلك، والمحبوب أن يكون فيه مصلحة دينية، وذلك بأن يكون آمرا بمعروف، أو ناهيا عن منكر، أو ناصحا أو مشيرا بمصلحة، أو معلما، أو مؤدبا، أو واعظا، أو مذكرا، أو مصلحا بين اثنين، أو يدفع عن نفسه شرا، أو نحو ذلك، فيذكر محاسنه ناويا بذلك أن يكون هذا أقرب إلى قبول قوله واعتماد ما يذكره…

“Ketahuilah bahwa menyebutkan kebaikan diri sendiri ada 2 macam: tercela dan terpuji. Yang tercela adalah menyebutkan kebaikan diri untuk berbangga-bangga, menampakkan kelebihan, menampilkan sikap menonjol atas teman sejawat atau semisalnya. Dan yang terpuji adalah jika di dalamnya terdapat maslahat secara agama. Yaitu ketika menjadi seseorang yang memerintahkan kebaikan, atau melarang kemungkaran, atau menasehati, atau memberi arahan dengan kemaslahatan, atau mengajar, atau mengajar adab, atau memberikan wejangan, atau mendamaikan di antara 2 orang, atau menolak keburukan atas dirinya dan sebagainya maka seseorang boleh menyebutkan kebaikan dirinya dengan niat agar ucapannya lebih bisa diterima atau dijadikan pegangan.” (Al-Adzkar lin Nawawi: 278-279).

Di antara dalil yang digunakan oleh An-Nawawi untuk tazkiyah yang diperbolehkan adalah ucapan orang shalih dari Madyan kepada calon menantunya yaitu Nabi Musa u:

ستجدني إن شاء الله من الصالحين

“Dan kamu Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik.” (QS. Al-Qashash: 27).

Sekarang marilah kita nilai klaim mereka ‘bahwa markiz mereka adalah markiz salafiyah yang paling murni sedunia’, apakah termasuk klaim yang terpuji ataukah tercela?

Pertama: Motivasi dari klaim tersebut adalah karena berbangga-bangga melebihkan markiz mereka atas markiz-markiz salafiyyah yang lain di dunia. Bahkan mengarah kepada ashabiyah dan hizbiyyah kepada markiz dan syaikh mereka karena mereka terbukti men-tahdzir dan memusuhi salafiyyin yang tidak membela markiz dan syaikh mereka.

Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab berkata:

الثالثة والتسعون : أن الذي لابد منه عندهم تعصب الإنسان لطائفته ونصر من هو منها ظالما أو مظلوما

“Masalah jahiliyyah yang ke-93: “Bahwa perkara yang pasti ada pada orang-orang jahiliyyah adalah sikap ta’ashshub (bersikap sektarian atau hizbiyyah atau pembelaan yang membabi buta, pen) seseorang atas kelompoknya (baca: markiznya, pen) dan membela (dengan mati-matian, pen) orang dari kelompok tersebut baik dalam posisi menganiaya atau yang dianiaya.” (Masa’ilul Jahiliyyah: 21).

Rasulullah r bersabda:

انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنْصُرُهُ إِذَا كَانَ مَظْلُومًا أَفَرَأَيْتَ إِذَا كَانَ ظَالِمًا كَيْفَ أَنْصُرُهُ قَالَ تَحْجُزُهُ أَوْ تَمْنَعُهُ مِنْ الظُّلْمِ فَإِنَّ ذَلِكَ نَصْرُهُ

“Tolonglah saudaramu baik dalam keadaan menganiaya atau dianiaya!” Seseorang bertanya: “Wahai Rasulullah, aku menolongnya jika ia dianiaya. Maka menurut engkau bagaimana aku menolongnya jika ia berbuat aniaya?” Maka beliau menjawab: “Kamu halangi dan kamu cegah ia dari perbuatan aniaya. Maka itu adalah menolongnya.” (HR. Al-Bukhari: 6438, At-Tirmidzi: 2181, Ahmad: 11511).

Mereka melanggar hadits ini karena mereka terbukti men-tahdzir dan mencela orang-orang yang berdiam diri atau tawaqquf dalam masalah markiz mereka.

Kedua: Calon mertua Nabi Musa u hanya menggunakan kata ‘termasuk orang-orang yang baik’ dan tidak menggunakan isim tafdlil yaitu bentuk lebih (comparative) seperti lebih baik atau bentuk paling (superlative) seperti paling baik. Sementara mereka menggunakan isim tafdlil dalam klaim mereka  ‘bahwa markiz mereka adalah markiz salafiyah yang paling murni sedunia’. Coba perhatikan kata-kata ‘paling murni sedunia’.

Ketiga: Calon mertua Nabi Musa u menyatakan ‘Insya Allah’ sedangkan mereka tidak menyatakannya bahkan memastikan kebenaran klaim tersebut karena mereka terbukti men-tahdzir dan mencela orang-orang yang tidak membela mereka.

Keempat: Ruang lingkup ucapan mertua Musa u adalah masalah mahar pernikahan. Maka dalam lingkup kecil, seseorang boleh berucap: “Saya Insya Allah tidak termasuk orang yang mengecewakan dalam menjamu tamu,” atau “Saya Insya Allah termasuk orang yang bertanggung jawab dalam mengurus keluarga,” dan sebagainya. Sedangkan mereka menyatakan klaim tersebut dalam ruang lingkup yang lebih besar. Seolah-olah mereka berkata ‘bahwa markiz mereka adalah markiz salafiyah yang paling murni sedunia’ dalam masalah aqidah, akhlaq, fiqih, tafsir dan sebagainya.

Dari keempat poin di atas terbukti bahwa klaim mereka adalah klaim tercela dan hizbiyyah. Wallahul musta’an.

Manakah yang Lebih Murni?

Selain itu dalam klaim ‘bahwa markiz mereka adalah markiz salafiyah yang paling murni sedunia’, mereka telah berbuat su’ul adab (baca: kurang ajar) kepada Rasulullah r karena klaim tersebut diucapkan tanpa meminta ijin dan permisi dulu kepada beliau. Mereka tidak bertanya dulu kepada beliau apakah ada  markiz salafiyyah yang lebih murni dari milik mereka. Dan ternyata jawabannya adalah didapati markiz salafiyyah yang lebih murni dari milik mereka yaitu markiz salafiyyah di kota beliau Madinah.

Dari Abu Hurairah t bahwa Rasulullah r bersabda:

إِنَّ الْإِيمَانَ لَيَأْرِزُ إِلَى الْمَدِينَةِ كَمَا تَأْرِزُ الْحَيَّةُ إِلَى جُحْرِهَا

“Sesungguhnya Al-Iman akan berkumpul ke Madinah sebagaimana ular berkumpul ke sarangnya.” (HR. Al-Bukhari: 1743, Muslim: 210).

Al-Allamah Al-Mubarakfuri berkata:

والمراد أن أهل الإيمان يفرون بإيمانهم إلى المدينة وقاية بها عليه، أو لأنها وطنه الذي ظهر وقوي بها، وهذا إخبار عن آخر الزمان حين يقل الإسلام وينضم إلى المدينة فيبقى فيها.

“Maksud hadits ini adalah bahwa Ahlul Iman akan berlari dengan membawa iman mereka ke Madinah untuk menjaga iman mereka atau karena Madinah merupakan tempat muncul dan bertambah kuatnya iman. Dan ini adalah pemberitaan tentang akhir jaman ketika (orang-orang yang berpegang pada) Al-Islam berjumlah sedikit dan bergabung ke Madinah dan tetap di sana.” (Mir’atul Mafatih: 1/607).

Dan untuk menjaga kemurnian markiz salafiyyah di Madinah, Rasulullah r memperberat sangsi bagi orang-orang yang berbuat bid’ah di dalamnya. Dan berbuat bid’ah di kota Madinah dosanya lebih berat daripada berbuat bid’ah di kota-kota lain di dunia.

Dari Ali bin Abi Thalib t bahwa Rasulullah r bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِيهَا حَدَثًا أَوْ آوَى مُحْدِثًا فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ لَا يُقْبَلُ مِنْهُ صَرْفٌ وَلَا عَدْلٌ

“Barangsiapa yang berbuat bid’ah di dalamnya (kota Madinah) atau melindungi pelaku bid’ah maka ia mendapatkan laknat Allah, Malaikat dan manusia semuanya. Tidak diterima amalannya baik yang wajib ataupun yang sunnah.” (HR. Al-Bukhari: 1737, Muslim: 2433, At-Tirmidzi: 2053, Abu Dawud: 1739).

Mengapa demikian?

Al-Allamah Al-Faqih Ibnu Utsaimin menjawab:

لأن المدينة عاصمة الإسلام، وموئل الإيمان، وهو يأرز إليها كما تأرز الحية إلى جحرها، ويأتي إليها المسلمون من مشارق الأرض ومغاربها، فلابد أن تبقى المدينة على السنة المطهرة، نيرة واضحة لا تخالطها بدعة؛ لأن من رأى البدعة فيها ظن البدعة سنة. وأشد الناس في التحذير من البدع مالك بن أنس إمام دار الهجرة رحمه الله تعالى،

“Karena Madinah adalah ibukota Al-Islam, tempat berlidungnya Al-Iman. Iman akan kembali bergabung kepadanya seperti ular kembali berkumpul ke sarangnya. Kaum muslimin akan mendatangi Madinah dari penjuru timur dan barat bumi. Maka suatu keharusan bagi Madinah untuk tetap di atas As-Sunnah yang disucikan, sebuah kota yang bercahaya lagi jelas tidak terkontaminasi dengan bid’ah. Karena orang yang melihat kebid’ahan (yang dibiarkan, pen) di dalamnya akan menyangkanya sebagai sunnah. Dan ulama yang paling keras dalam memperingatkan dari berbagai kebid’ahan adalah Al-Imam Malik bin Anas Imam Kota Hijrah yaitu Madinah –semoga Allah merahmati beliau-,….” (Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah, syarh hadits ke-28: 61/11).

Dan puncak kemurnian markiz salafiyyin di Madinah adalah ketika munculnya Dajjal –semoga Allah melaknatnya-. Ketika itu kota Madinah mengadakan penyaringan dan orang-orang kafir dan munafiq akan terpental dari Madinah.

Dari Anas bin Malik t bahwa Rasulullah r bersabda:

لَيْسَ مِنْ بَلَدٍ إِلَّا سَيَطَؤُهُ الدَّجَّالُ إِلَّا مَكَّةَ وَالْمَدِينَةَ لَيْسَ لَهُ مِنْ نِقَابِهَا نَقْبٌ إِلَّا عَلَيْهِ الْمَلَائِكَةُ صَافِّينَ يَحْرُسُونَهَا ثُمَّ تَرْجُفُ الْمَدِينَةُ بِأَهْلِهَا ثَلَاثَ رَجَفَاتٍ فَيُخْرِجُ اللَّهُ كُلَّ كَافِرٍ وَمُنَافِقٍ

“Tidaklah ada dari suatu negeri pun kecuali akan diinjak (dimasuki) oleh Dajjal kecuali Makkah dan Madinah. Tidak ada celah di Madinah kecuali ada Malaikat yang berbaris yang menjaganya. Kemudian Madinah bergetar 3 kali untuk menggoyang penduduknya. Maka Allah mengeluarkan setiap orang kafir dan munafik dari dalam Madinah.” (HR. Al-Bukhari: 1748, Ahmad: 12517).

Dari Abu Hurairah t bahwa Rasulullah r bersabda:

لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَنْفِيَ الْمَدِينَةُ شِرَارَهَا كَمَا يَنْفِي الْكِيرُ خَبَثَ الْحَدِيدِ

“Tidak akan terjadi hari kiamat sampai kota Madinah membersihkan perusuh-perusuhnya seperti ubupan (tiupan pandai besi) membersihkan kotoran besi.” (HR. Muslim: 2451, Ibnu Hibban dalam Shahihnya: 3734 (9/51-2).

Bahkan sebelum munculnya Dajjal –semoga Allah melaknatnya-, Madinah juga mengadakan penyaringan untuk menjaga kemurniannya. Rasulullah r bersabda:

أُمِرْتُ بِقَرْيَةٍ تَأْكُلُ الْقُرَى يَقُولُونَ يَثْرِبُ وَهِيَ الْمَدِينَةُ تَنْفِي النَّاسَ كَمَا يَنْفِي الْكِيرُ خَبَثَ الْحَدِيدِ

“Aku diperintahkan untuk menempati sebuah desa yang memakan desa-desa. Mereka menyebutnya Yatsrib. Yaitu Madinah. Ia mengadakan pembersihan atas manusia sebagaimana ubupan pandai besi membersihkan kotoran besi.” (HR. Al-Bukhari: 1738, Muslim: 2452).

Al-Allamah Abdur Rauf Al-Munawi berkata:

(تأكل القرى) أي تغلبها في الفضل حتى يكون فضل غيرها بالنسبة إليها كالعدم لاضمحلالها في جنب عظيم فضلها كأنها تستقري القرى تجمعها إليها أو الحرب بأن يظهر أهلها على غيرهم من القرى فيفنون ما فيها فيأكلونه تسلطا عليها وافتتاحها بأيدي أهلها فاستعير الأكل لافتتاح البلاد وسلب الأموال وجلبها إليه

“Maksud ‘memakan desa-desa’ adalah bahwa Madinah mengalahkan desa-desa lain dalam keutamaan, sampai-sampai keutamaan yang lainnya jika dibandingkan dengan Madinah seolah-olah menjadi tidak ada. Karena hilangnya keutamaan desa-desa tersebut jika disandingkan dengan keutamaan Madinah seolah-olah Madinah mengelilingi desa-desa dan mengumpulkannya menjadi satu atasnya. Atau dalam peperangan dengan cara penduduk Madinah mengalahkan penduduk desa yang lain kemudian memakan milik mereka dengan cara menguasai (ghanimah, pen) dan menaklukkan mereka. Maka kata ‘memakan’ dipinjam untuk kata menguasai negeri-negeri dan mengambil harta (ghanimah) serta membawanya ke Madinah.” (Faidlul Qadir: 2/243).

Beliau juga berkata:

جعل مثل المدينة وساكنيها مثل الكير ما يوقد عليه في النار فيميز به الخبيث من الطيب فيذهب الخبيث ويبقى الطيب كما كان في زمن عمر رضي الله عنه حيث أخرج أهل الكتاب وأظهر العدل والاحتساب فزعم عياض أن ذا مختص بزمنه غير صواب

“Dijadikan perumpamaan Madinah dan penduduknya seperti ubupan pandai besi pada sesuatu yang dinyalakan dalam api, sehingga orang yang jelek dapat dibedakan dari orang yang baik. Maka orang yang jelek akan pergi (dari Madinah) dan orang yang baik akan tetap tinggal di dalamnya sebagaimana terjadi pada jaman Umar t yang mengusir Ahlul Kitab (dari Madinah) dan menampakkan keadilan dan keikhlasan. Maka persangkaan Qadli Iyadl bahwa ini (penyaringan Madinah) hanya khusus pada jaman Nabi r adalah tidak benar.” (Faidlul Qadir: 2/243).

Cara penyaringan di Madinah ini jauh lebih baik daripada cara penyaringan di markiz yang katanya paling murni sedunia. Wallahu a’lam.

Hejaz, Syam dan Yaman

Ketiga daerah yaitu Hejaz (Makkah dan Madinah), Syam dan Yaman adalah pusat cahaya Al-Islam.

Tentang keutamaan Hejaz, Rasulullah r bersabda:

إِنَّ الْإِسْلَامَ بَدَأَ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ غَرِيبًا كَمَا بَدَأَ وَهُوَ يَأْرِزُ بَيْنَ الْمَسْجِدَيْنِ كَمَا تَأْرِزُ الْحَيَّةُ فِي جُحْرِهَا

“Sesungguhnya Al-Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaan asing seperti ketika datangnya. Dan ia (Al-Islam) akan kembali berkumpul diantara 2 masjid seperti ular yang kembali berkumpul di sarangnya.” (HR. Muslim: 209, Ahmad: 16690).

Al-Imam An-Nawawi berkata:

وقوله صلى الله عليه و سلم بين المسجدين أى مسجدى مكة والمدينة

“Dan maksud sabda beliau r ‘diantara 2 masjid’ adalah masjid Makkah dan masjid Madinah.” (Syarhun Nawawi ala Muslim: 2/177).

Tentang keutamaan Syam, Rasulullah r bersabda:

إِذَا فَسَدَ أَهْلُ الشَّامِ، فَلَا خَيْرَ فِيكُمْ، وَلَا يَزَالُ أُنَاسٌ مِنْ أُمَّتِي مَنْصُورِينَ، لَا يُبَالُونَ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ

“Jika Penduduk Syam binasa maka tidak ada kebaikan bagi kalian. Dan senantiasa ada sekelompok manusia dari umatku yang ditolong oleh Allah. Mereka tidak mempedulikan orang-orang yang meninggalkan mereka sampai datangnya hari kiamat.” (HR. Ahmad: 15596 dan isnadnya di-shahih-kan oleh Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth dalam Tahqiq Musnad. Hadits ini juga di-shahih-kan oleh Al-Allamah Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah hadits: 403).

Tentang keutamaan Yaman, Rasulullah r bersabda:

جَاءَ أَهْلُ الْيَمَنِ هُمْ أَرَقُّ أَفْئِدَةً الْإِيمَانُ يَمَانٍ وَالْفِقْهُ يَمَانٍ وَالْحِكْمَةُ يَمَانِيَةٌ

“Telah datang penduduk Yaman yang mana mereka memiliki hati yang paling halus. Al-Iman adalah dari arah Yaman, Al-Fiqih dari arah Yaman dan Al-Hikmah dari arah Yaman.” (HR. Al-Bukhari: 4037, Muslim: 73 dan ini adalah redaksi Muslim, At-Tirmidzi: 3870).

Adapun markiz yang paling baik di antara 3 tempat di atas maka kota Madinah adalah yang paling baik. Rasulullah r bersabda:

تُفْتَحُ الشَّامُ فَيَخْرُجُ مِنْ الْمَدِينَةِ قَوْمٌ بِأَهْلِيهِمْ يَبُسُّونَ وَالْمَدِينَةُ خَيْرٌ لَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ ثُمَّ تُفْتَحُ الْيَمَنُ فَيَخْرُجُ مِنْ الْمَدِينَةِ قَوْمٌ بِأَهْلِيهِمْ يَبُسُّونَ وَالْمَدِينَةُ خَيْرٌ لَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ ثُمَّ تُفْتَحُ الْعِرَاقُ فَيَخْرُجُ مِنْ الْمَدِينَةِ قَوْمٌ بِأَهْلِيهِمْ يَبُسُّونَ وَالْمَدِينَةُ خَيْرٌ لَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ

“Syam akan dibuka. Kemudian suatu kaum keluar dari Madinah dengan membawa keluarga mereka sambil mengajak orang lain untuk tinggal di Syam. Padahal Madinah adalah lebih baik bagi mereka seandainya mereka mengetahuinya. Kemudian Yaman juga akan dibuka. Maka suatu kaum akan keluar dari Madinah dengan membawa keluarga mereka serta mengajak orang lain untuk tinggal di Yaman. Padahal Madinah adalah lebih baik bagi mereka seandainya mereka mengetahuinya. Kemudian Iraq juga akan dibuka. Maka suatu kaum akan keluar dari Madinah dengan membawa keluarga mereka serta mengajak orang lain untuk tinggal di Iraq. Padahal Madinah adalah lebih baik bagi mereka seandainya mereka mengetahuinya.” (HR. Al-Bukhari: 1742, Muslim: 2459 dan ini adalah redaksi Muslim).

Al-Imam An-Nawawi berkata:

وفيه فضيلة سكنى المدينة والصبر على شدتها وضيق العيش بها والله أعلم

“Dan di dalam hadits ini terdapat keutamaan bermukim di Madinah, bersabar atas kerasnya dan sempitnya penghidupan di kota Madinah. Wallahu a’lam.” (Syarhun Nawawi ala Muslim: 9/159).

Demikian kelebihan kota Madinah bila dibanding dengan kota-kota kaum muslimin yang lainnya.

Oleh karena itu Rasulullah r memperingatkan orang-orang yang keluar dari Madinah karena membenci Madinah. Beliau bersabda:

لا يخرج أحد من المدينة رغبة عنها إلا أبدلها الله خيرا منه

“Tidaklah seseorang keluar dari Madinah dalam keadaan membencinya kecuali Allah akan menggantikan untuknya dengan orang-orang yang lebih baik darinya.” (HR. Malik dalam Al-Muwathha’: 1572 dan ini adalah redaksi beliau, Muslim: 2426).

Dan ini berlaku untuk jaman Rasulullah r dan jaman setelah beliau sampai sekarang.

Al-Allamah Al-Mubarakfuri berkata:

قال الأبي : الأظهر أن ذلك ليس خاصًا بالزمن النبوي ومن خرج من الصحابة لم يخرج رغبة عنها بل إنما خرج لمصلحة دينية من تعليم أو جهاد أو غير ذلك – انتهى.

“Berkata Al-Abbi: “Yang jelas adalah bahwa hadits ini tidak hanya dikhususkan untuk jaman kenabian saja. Dan orang-orang yang keluar dari Madinah dari kalangan Ash-Shahabah (seperti Ibnu Mas’ud, Mu’adz bin Jabal dan sebagainya) adalah tidak keluar karena membenci Madinah akan tetapi karena mashlahat agama seperti mengajarkan (Al-Islam) atau berjihad atau yang lainnya. Selesai.” (Mir’atul Mafatih: 9/514).

Hadits di atas juga menunjukkan bahwa orang yang keluar dari Madinah karena membenci Madinah sudah pasti tercela. Sedangkan orang yang keluar dari markiz mereka karena membenci markiz mereka belum tentu tercela. Harus dilihat dulu alasan dan sebabnya.

Dan Rasulullah r juga mendorong umat beliau untuk tinggal di Madinah. Beliau bersabda:

مَنْ صَبَرَ عَلَى لَأْوَائِهَا وَشِدَّتِهَا كُنْتُ لَهُ شَهِيدًا أَوْ شَفِيعًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَعْنِي الْمَدِينَةَ

“Barang siapa yang bersabar atas  kelaparan dan kerasnya hidup di Madinah maka aku akan menjadi saksi atasnya atau orang yang memberinya syafaat pada hari kiamat.” (HR. Muslim: 2447, At-Tirmidzi: 3859).

Al-Imam An-Nawawi berkata:

قال العلماء وفي هذه الأحاديث المذكورة في الباب مع ما سبق وما بعدها دلالات ظاهرة على فضل سكنى المدينة والصبر على شدائدها وضيق العيش فيها وأن هذا الفضل باق مستمر إلى يوم القيامة

“Para ulama berkata: “Di dalam hadits-hadits tersebut dalam bab ini serta bab sebelum dan sesudahnya terdapat beberapa dalil yang jelas atas keutamaan bermukim di Madinah dan bersabar atas keras dan sempitnya kehidupan di dalamnya. Dan keutamaan ini terus menerus ada sampai hari kiamat.” (Syarhun Nawawi ala Muslim: 9/151).

Bahkan Rasulullah r juga memperingatkan orang-orang yang membuat makar atas penduduk Madinah. Beliau bersabda:

لَا يَكِيدُ أَهْلَ الْمَدِينَةِ أَحَدٌ إِلَّا انْمَاعَ كَمَا يَنْمَاعُ الْمِلْحُ فِي الْمَاءِ

“Tidaklah seseorang membuat makar atas penduduk Madinah kecuali ia akan melebur seperti meleburnya garam dalam air.” (HR. Al-Bukhari: 1744).

Dalam riwayat Muslim beliau bersabda:

مَنْ أَرَادَ أَهْلَ الْمَدِينَةِ بِسُوءٍ أَذَابَهُ اللَّهُ كَمَا يَذُوبُ الْمِلْحُ فِي الْمَاءِ

“Barangsiapa yang ingin menimpakan keburukan atas penduduk Madinah maka Allah akan menghancurkannya seperti garam yang hancur dalam air.” (HR. Muslim: 2458).

Al-Allamah Abdur Rauf Al-Munawi berkata:

فالمعنى من مس أهل المدينة بسوء مريدا أي عامدا عالما مختارا لا ساهيا ولا مجبورا (أذابه الله) أي أهلكه بالكلية إهلاكا مستأصلا بحيث لم يبق من حقيقته شئ لا دفعة بل بالتدريج لكونه أشد إيلاما وأقوى تعذيبا وأقطع عقوبة..

“Maka makna dari hadits di atas adalah bahwa barangsiapa yang menyentuh penduduk Madinah dengan keburukan dalam keadaan mengetahui (sangsinya, pen), tidak terpaksa dan tidak lupa, maka Allah akan menghancurkannya secara keseluruhan sampai ke pangkalnya sehingga tidak tersisa dari hakikatnya sedikitpun. Siksaan tersebut tidak diberikan sekaligus akan tetapi secara bertahap (seperti meleburnya garam dalam air, pen) karena demikian itu lebih menyakitkan, lebih menyiksa dan lebih memutus hasil akhir…” (Faidlul Qadir: 6/65).

Al-Allamah Athiyyah Muhammad Salim berkata:

وإذا تأملنا في ذلك فإننا نجد أن حرمة المدينة وتعظيم شأنها والحفاظ على أمر الدين فيها من ضروريات الدين ؛…

“Jika kita memperhatikan di dalamnya (dalam hadits tentang keutamaan Madinah, pen), maka kita akan mendapati bahwa kehormatan kota Madinah, mengagungkan keadaannya, dan para penjaga agama (para ulama, pen) di dalamnya (Madinah, pen) adalah termasuk keharusan urusan Ad-Dien, dst.” (Syarh Bulughul Maram (dalam kaset): 171/8).

Maka bandingkanlah hadits-hadits di atas dengan ucapan-ucapan mereka yang menonjolkan para syaikh dari markiz mereka saja dan melecehkan ulama-ulama kota Madinah dengan ucapan bahwa ulama Madinah secara khusus dan Saudi secara umum adalah ulama-ulama yang digaji oleh pemerintah atau yang semisalnya. Ini adalah sikap bodoh dan hizbiyyah jahiliyyah. Dan apakah mereka tidak tahu atau  pura-pura tidak tahu bahwa Rasulullah r memperbolehkan bagi para ulama untuk mengambil upah atau gaji dari mengajarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya?

Dari Abdullah bin Abbas t bahwa Rasulullah r bersabda:

إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ

“Sesungguhnya perkara yang paling berhak untuk kalian ambil upahnya adalah Kitabullah.” (HR. Al-Bukhari: 5296, Ibnu Hibban dalam Shahihnya: 5146 (11/546-7)).

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata:

واستدل به للجمهور في جواز أخذ الأجرة على تعليم القرآن

“Jumhur ulama berdalil dengan hadits ini atas bolehnya mengambil upah (gaji) atas mengajar Al-Quran…dst” (Fathul Bari: 4/453).

Dan yang dilarang adalah mempersyaratkan gaji dalam mengajar.

Al-Imam Asy-Sya’bi berkata:

لا يشترط المعلم إلا أن يعطي شيئا فليقبله

“Seorang pengajar tidak boleh mempersyaratkan upah (gaji) kecuali ia diberikan sesuatu maka hendaknya ia terima.” (Fathul Bari: 4/454).

Al-Hakam berkata:

لم أسمع أحدا كره أجر المعلم وأعطى الحسن دراهم عشرة

“Aku belum pernah mendengar salah seorangpun (dari ulama) yang membenci upah atas pengajar. Dan Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri diberi gaji 10 dirham.” (Fathul Bari: 4/454).

Majelis Ta’lim di Masjid Nabawi

Mengikuti majelis ilmu di masjid-masjid kaum muslimin akan mendapat kemuliaan dari Allah U. Dari Abu Hurairah t bahwa Rasulullah r bersabda:

وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ وَذَكَرَهُمْ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ

“Dan tidaklah suatu kaum berkumpul di sebuah rumah dari rumah-rumah Allah (yaitu masjid) dalam keadaan membaca Kitabullah dan saling mempelajarinya di antara mereka kecuali ketenangan akan turun atas mereka, rahmat Allah akan melingkupi mereka, para Malaikat akan meliputi mereka dan Allah akan menyebut mereka termasuk di dalam orang-orang yang berada di sisi-Nya.” (HR. Muslim: 4867, Abu Dawud: 1243, Ibnu Majah: 221).

Keutamaan dalam hadits di atas akan didapati oleh siapapun yang mengikuti majelis ilmu Al-Kitab dan As-Sunnah di semua masjid, baik itu masjid di Madinah, Makkah, Yaman, Syam ataupun masjid di Indonesia.

Adapun mengikuti majelis ilmu di Masjid Nabawi maka terdapat tambahan keutamaan.

Rasulullah r bersabda:

مَنْ دَخَلَ مَسْجِدَنَا هَذَا لِيَتَعَلَّمَ خَيْرًا أَوْ لِيُعَلِّمَهُ كَانَ كَالْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَنْ دَخَلَهُ لِغَيْرِ ذَلِكَ كَانَ كَالنَّاظِرِ إِلَى مَا لَيْسَ لَهُ

“Barangsiapa memasuki masjidku ini (masjid Nabawi) untuk mempelajari kebaikan atau mengajarkannya maka ia seperti orang yang berjihad di jalan Allah. Dan barangsiapa yang memasukinya untuk selain itu maka ia seperti orang yang melihat pada sesuatu yang bukan miliknya.” (HR. Ahmad: 8248, Ibnu Hibban dalam Shahihnya: 87 (1/288), Al-Hakim dalam Al-Mustadrak: 310 (1/169) dari Abu Hurairah dan di-shahih-kan olehnya menurut syarat Al-Bukhari dan Muslim dan disepakati oleh Adz-Dzahabi).

Dalam riwayat lain:

مَنْ جَاءَ مَسْجِدِي هَذَا…

“Barangsiapa mendatangi masjidku ini….” (HR. Ibnu Majah: 223, Al-Baihaqi dalam Asy-Syu’ab: 1698 (2/263) dan isnadnya di-shahih-kan oleh Al-Bushairi dalam Mishbahuz Zujajah: 1/31 dan di-shahih-kan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah: 186).

Al-Allamah Asy-Syaukani berkata:

قوله ( مسجدنا هذا ) فيه تصريح بأن الأجر المترتب على الدخول إنما يحصل لمن كان في مسجده صلى الله عليه وآله وسلم ولا يصح إلحاق غيره به من المساجد التي هي دونه في الفضيلة لأنه قياس مع الفارق

“Sabda beliau ‘masjidku ini (masjid Nabawi)’ di dalamnya terkandung pernyataan bahwa pahala yang diberikan untuk memasuki (masjid beliau) hanyalah diberikan kepada orang yang berada di dalam masjid beliau r (saja) dan tidaklah benar jika mengikutkan masjid-masjid yang lain yang keutamaannya di bawahnya dengan masjid Nabawi. Karena perkara tersebut termasuk men-qiyas-kan (menganalogikan) 2 perkara yang berbeda.” (Nailul Authar: 2/165).

Al-Allamah Al-Faqih Ibnu Utsaimin berkata:

نحن نعلم بأن العلم في أقطار الدنيا، والجامعات الإسلامية وغيرها في المدينة وغيرها من أقطار العالم الإسلامي، ولكن حينما يأتي الطالب إلى الجامعة، ويسمع حديث رسول الله صلى الله عليه وسلم، ويأتي مرة أخرى إلى مسجد رسول الله صلى الله عليه وسلم أولى جامعات العالم الإسلامي يجد للحديث تلاوة جديدة لا يجدها في غير ذلك المكان؛ إذ كان أول مدرس ومعلم في تلك المدرسة جبريل عليه السلام، فكان يلقي على رسول الله صلى الله عليه وسلم، ويسمع المسلمون منه، كما جاء في حديث عمر رضي الله تعالى عنه

“Kita mengetahui bahwa Al-Ilmu telah tersebar ke berbagai penjuru dunia dan di berbagai universitas baik di Madinah ataupun di kota lainnya di penjuru dunia islam. Akan tetapi ketika seseorang pelajar mendatangi universitas dan mendengarkan hadits Rasulullah r, kemudian di lain waktu ia mendatangi masjid Rasulullah r sebagai universitas yang paling utama di dunia islam, maka ia akan mendapati hadits (yang telah ia dengarkan dari universitas lain tersebut, pen) sebagai bacaan baru yang mana ia belum mendapatkannya di tempat lain. Ini karena awal pengajar dan guru di madrasah tersebut adalah Jibril u. Maka Malaikat Jibril u mengajari Rasulullah r dan kaum muslimin mendengarkannya dari beliau sebagaimana dalam hadits Umar t.” (Syarhul Arbai’in An-Nawawiyyah: syarh hadits  ke-36 (78/4)). Kemudian Syaikh Utsaimin menyebutkan hadits Jibril u.

Maka termasuk kebodohan yang nyata ketika seseorang mengajak orang lain untuk menuntut ilmu ke markiznya dan men-tahdzir serta melarang untuk menuntut ilmu di Masjid Nabawi, termasuk juga ke Jami’ah Islamiyyah yang diadakan di Masjid Nabawi. Kemudian mereka juga melecehkan system pengajaran di Masjid Nabawi dengan memberikan julukan kepada para salafiyyin lulusan Masjid Nabawi yang bergelar Lc. dengan kepanjangan lucu-lucu. Dan ini juga menandakan seolah-olah mereka ingin mendapatkan hukuman dari Allah secara perlahan seperti meleburnya garam dalam air. Wal iyadzu billah.

Penutup

Dengan demikian klaim bahwa ‘markiz mereka adalah markiz salafiyah yang paling murni sedunia’ adalah klaim hizbiyyah jahiliyyah dan termasuk su’ul adab kepada Rasulullah r.

Di antara do’a Rasulullah r adalah:

اللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الْمَدِينَةَ كَمَا حَبَّبْتَ مَكَّةَ أَوْ أَشَدَّ وَصَحِّحْهَا وَبَارِكْ لَنَا فِي صَاعِهَا وَمُدِّهَا وَحَوِّلْ حُمَّاهَا إِلَى الْجُحْفَةِ

“Ya Allah, jadikanlah kami mencintai Madinah sebagaimana Engkau menjadikan kami mencintai Makkah atau lebih cinta lagi. Sehatkanlah Madinah (dari wabah penyakit)  dan berkahilah sha’ dan muddnya dan pindahkan penyakit demamnya ke Juhfah.” (HR. Al-Bukhari: 1756, Muslim: 2444 dan ini adalah redaksi Muslim).

Tulisan ini ditulis sebagai bentuk rasa cinta Penulis kepada Rasulullah r, Salafush Shalih serta kota Madinah. Penulis berharap agar kelak bisa dikumpulkan bersama mereka meskipun derajat Penulis jauh di bawah mereka karena kurangnya amal dan banyaknya dosa yang Penulis lakukan.

Dari Anas bin Malik t, ia berkata:

أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ السَّاعَةِ فَقَالَ مَتَى السَّاعَةُ قَالَ وَمَاذَا أَعْدَدْتَ لَهَا قَالَ لَا شَيْءَ إِلَّا أَنِّي أُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ قَالَ أَنَسٌ فَمَا فَرِحْنَا بِشَيْءٍ فَرَحَنَا بِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ قَالَ أَنَسٌ فَأَنَا أُحِبُّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ مَعَهُمْ بِحُبِّي إِيَّاهُمْ وَإِنْ لَمْ أَعْمَلْ بِمِثْلِ أَعْمَالِهِمْ

“Bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah r tentang hari kiamat. Ia berkata: “Kapan hari kiamat?” Rasululullah bertanya: “Apa yang kamu siapkan untuknya?” Ia menjawab: “Tidak ada, hanya saja aku mencintai Allah dan Rasul-Nya.” Beliau berkata: “Kamu bersama orang yang kamu cintai.” Anas berkata: “Aku belum pernah bergembira seperti gembiranya saya ketika mendengar sabda Nabi r: “Kamu bersama orang yang kamu cintai.” Anas berkata: “Maka aku mencintai Rasulullah r, Abu Bakar dan Umar dan aku berharap agar aku bisa bersama mereka karena cintaku kepada mereka meskipun aku belum pernah beramal seperti amal mereka.” (HR. Al-Bukhari: 3412, Muslim: 4777, At-Tirmidzi: 2307).

Semoga kita dijadikan oleh Allah termasuk orang-orang yang dicintai oleh-Nya dari kalangan para Nabi, Shiddiqin, Syuhada’ dan Shalihin. Amien. Wallahu a’lam.

  1. pujoko_abu_shamil
    Januari 22, 2011 pukul 3:02 pm

    Bismillah, Assalamualaikum….ustad…salam kenal…kalau boleh ana minta biodata ustadz…ana baru saja ngaji salafy……dan ana pengin banyak konsultasi dengan ustadz

  1. November 23, 2011 pukul 1:32 am
  2. Desember 25, 2012 pukul 8:37 am

Tinggalkan komentar