Beranda > Tafsir > Zakat Maal untuk Membangun Masjid, Bolehkah?

Zakat Maal untuk Membangun Masjid, Bolehkah?


Zakat Maal untuk Membangun Masjid, Bolehkah?

dr. M Faiq Sulaifi

Sebagian kaum muslimin menyalurkan sebagian harta dari Zakat Mal untuk kepentingan membangun masjid, madrasah dan sarana yang lainnya. Mereka menafsirkan ayat “Wa fii Sabilillah “ (QS. At-Taubah:60) –yang artinya “di jalan Allah”– dengan membangun masjid, madrasah, rumah sakit dan sebagainya.

Benarkah penafsirannya demikian? Lalu bagaimana penafsiran yang benar?

Jawaban:

Sebelum menafsirkan ayat di atas alangkah baiknya kita membahas metode tafsir yang mu’tabar yang menyelamatkan kita dari penyelewengan makna Al-Quran.

Al-Hafizh Al-Mufassir Ibnu Katsir –sebagaimana dikutip dalam muqaddimah tahqiq Tafsir Ibni Katsir- berkata:

“فَإنْ قَالَ قَائِلٌ: فمَا أحْسَنُ طُرُقِ التَّفْسِيرِ؟ فَالْجوابُ: إنَّ أصَحَّ الطُّرُقِ في ذلك أنْ يُفَسَّرَ القرآنُ بالقرآنِ، فما أُجْمِلَ في مكَانٍ فإنه قد بُسِطَ في مَوْضِعٍ آخرَ، فإن أعْياكَ فَعَلَيْكَ بالسُّنَّة؛ فإنها شَارِحةٌ للقُرْآنِ وَمُوَضِّحةٌ له، وحِينَئذٍ إذا لم نَجِدِ التفْسِيرَ فِي القُرآنِ ولا في السُّنةِ رَجَعْنا في ذلك إلى أَقْوالِ الصَّحابةِ؛ فإنهم أدْرَى بذلك لما شَاهَدُوا من القَرائِنِ والأحْوالِ التي اخْتُصُّوا بها، ولِما لهم مِنَ الفَهْمِ التَّامِ والعِلْم الصَّحِيح والعَمَلِ الصَّالِحِ، لاسيَّما عُلَماءَهُم وكُبَراءَهُمْ كالأئمَّةِ الأربعةِ الخُلَفاءِ الرّاشِدين، والأئمة المهتدِينَ الْمهدِيِّينَ، وعَبْدَ الله بن مَسْعودٍ -رضي الله عنهم أجمعين-وإذا لم تَجِدِ التفْسِيرَ في القُرآنِ ولا في السُّنةِ ولا وَجَدْتَهُ عنِ الصَّحابةِ فقد رَجَعَ كَثير من الأئمةِ في ذلك إلى أقوالِ التَّابِعينَ”.

“Jika seseorang bertanya: “Apakah metode tafsir yang terbaik?” Maka Jawabnya adalah: “Sesungguhnya jalan yang paling shahih dalam permasalahan tafsir adalah menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran. Karena ayat-ayat yang global di suatu tempat akan diperinci pada ayat-ayat yang lain. Jika kamu masih kesulitan menafsirkannya maka tafsirkanlah Al-Quran dengan As-Sunnah karena As-Sunnah menjadi penafsir dan penjelas dari Al-Quran. Dan ketika itu jika kita masih belum menemukan tafsirnya dari Al-Quran maupun As-Sunnah maka kita kembali kepada ucapan para Sahabat Nabi y. Mereka paling mengetahui urusan tafsir karena mereka telah menyaksikan keadaan dan qarinah (turunnya ayat) yang mana mereka memiliki spesialisasi (keahlian khusus) dalam hal ini. Dan juga karena mereka mempunyai pemahaman yang sempurna, ilmu yang shahih dan amal shalih. Terutama ulama dan pembesarnya para sahabat seperti 4 imam khulafa’ur rasyidin, para pemimpin yang mendapat petunjuk dan juga Abdullah bin Mas’ud e. Dan jika kamu tidak mendapatkan tafsirnya dari Al-Quran, tidak pula dari As-Sunnah, tidak pula dari Sahabat maka kebanyakan para imam tafsir merujuk kepada tafsir Tabi’in.” (Tafsir Ibni Katsir: 1/8).

Beliau juga berkata:

أما إذا أجمعوا على الشيء فلا يرتاب في كونه حجة، فإن اختلفوا فلا يكون بعضهم حجة على بعض، ولا على من بعدهم، ويرجع في ذلك إلى لغة القرآن أو السنة أو عموم لغة العرب، أو أقوال الصحابة في ذلك.

“Adapun jika mereka (para tabi’in) bersepakat atas sesuatu tafsir maka tidak diragukan lagi bahwa tafsir mereka adalah hujjah. Namun jika mereka berselisih dalam tafsir maka ucapan masing-masing dari mereka tidak dapat dijadikan hujjah atas yang lainnya. Maka dalam permasalahan ini dikembalikan kepada bahasa Al-Quran atau As-Sunnah atau keumuman bahasa Arab atau pendapat para Sahabat dalam hal ini.” (Tafsir Ibni Katsir: 1/10).

Sehingga metode tafsir terbaik adalah:

  • Menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran
  • Menafsirkan Al-Quran dengan As-Sunnah
  • Menafsirkan Al-Quran dengan ucapan ulama para Sahabat
  • Menafsirkan Al-Quran dengan kesepakatan Tabiin
  • Menafsirkan Al-Quran dengan keumuman bahasa Arab

Makna Fi Sabilillah

Allah U berfirman:

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah: 60).

Ada 3 pendapat ulama tentang pengertian “Fii Sabilillah”;

  1. Maksud “Fii Sabilillah” adalah orang-orang yang berjihad dan berperang di jalan Allah.Ini adalah pendapat mayoritas Salafus Shalih. Di antara mereka adalah Ibnu Zaid (Tafsir Ath-Thabari: 14/319), Ibnu Abbas, Muqatil bin Hayyan dan Qatadah (Ad-Durrul Mantsur: 5/101-102). Juga merupakan pendapat kebanyakan ulama dan  fuqaha’ kecuali Abu Hanifah yang mengharuskan sifat miskin bagi orang yang berjihad. (Fathul Bari: 3/332, Mir’atul Mafatih: 6/238).
  2. Maksud “Fii Sabilillah” selain orang yang berjihad juga orang yang naik haji dan umrah. Ini adalah pendapat Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahuyah berdasarkan atsar Ibnu Abbas dan Ibnu Umar y. (Fathul Bari: 3/332).
  3. Maksud “Fii Sabilillah” meliputi segala bentuk kebaikan seperti menyantuni fakir miskin, yatim, membangun masjid dan sebagainya.Ini adalah pendapat Al-Qaffal, Al-Kasani penulis Bada’ius Shana’i (Mir’atul Mafatih: 6/238) dan tokoh-tokoh muta’akhirin seperti pengarang Tafsir Al-Manar (Mir’atul Mafatih: 6/240), Abdul Majid Salim (Fatawa Al-Azhar: 1/139)

Manakah di antara 3 pendapat di atas yang sesuai dengan penafsiran yang mu’tabar?

Tafsir dengan Al-Quran

Allah U yang telah menurunkan Surat At-Taubah: 60 tentang golongan yang berhak menerima zakat pastilah lebih mengetahui tentang tafsir “Fi Sabilillah (di jalan Allah)”. Dialah sendiri yang akan menjelaskan tafsirnya dalam ayat-ayat yang lain. Sehingga dengan tafsir bil Quran ini akan lebih jelas pengertian “Fi Sabilillah (di jalan Allah)”.

Frase “Fi Sabilillah (di jalan Allah)” dalam Al-Quran diulang-ulang penyebutannya lebih dari 60 kali. Kadang-kadang dengan kata “Fi Sabilillah (di jalan Allah)” sebagaimana dalam ayat zakat ini dan merupakan yang terbanyak dalam Al-Quran. Sisanya dengan menggunakan frase “An Sabilillah (dari jalan Allah)”, yaitu sebanyak 23 tempat. (Abhats Hai’ah Kibaril Ulama: 1/138).

Contoh frase “An Sabilillah (dari jalan Allah)” yang berarti menghalangi adalah firman Allah:

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ لِيَصُدُّوا عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah.” (QS. Al-Anfal: 36).

Contoh frase “An Sabilillah (dari jalan Allah)” yang berarti menyesatkan adalah firman Allah:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ

“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah.” (QS. Luqman: 6).

Sedangkan frase “Fi Sabilillah (di jalan Allah)” –dan ini merupakan penyebutan yang terbanyak dalam Al-Quran- maka dapat diartikan sebagai infaq sebagaimana dalam firman-Nya:

وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ

“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah.” (QS. Al-Baqarah: 165).

Bisa juga berarti hijrah seperti dalam firman-Nya:

وَالَّذِينَ هَاجَرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ

“Dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah.” (QS. Al-Hajj: 58).

Bisa juga diartikan dengan jihad seperti dalam firman-Nya:

وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah,” (QS. Al-Baqarah: 218).

Bisa juga berarti perang sebagaimana dalam firman-Nya:

يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ

“Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh.” (QS. At-Taubah: 111).

Kemudian  jika frase “Fi Sabilillah (di jalan Allah)” dihubungkan dengan kata “infaq” akan memiliki 2 pengertian:

Pertama: Pengertian umum –menurut penunjukan lafazh aslinya- yaitu meliputi segala macam kebaikan dan ketaatan serta jalan kebaikan. Sebagai contoh adalah firman Allah U:

مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 261).

Contoh yang lainnya adalah firman-Nya:

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ لَا يُتْبِعُونَ مَا أَنْفَقُوا مَنًّا وَلَا أَذًى لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah: 262).

Maka tidak ada seorang ulama pun yang membatasi pengertian “jalan Allah” dalam ayat di atas hanya pada perang dan jihad saja dengan dalil adanya penyebutan kata “menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima)”. (Lihat secara lengkap Abhats Hai’ah Kibaril Ulama’: 1/141)

Kedua: Pengertian khusus dari “Fi Sabilillah (di jalan Allah)” adalah menolong agama Allah, memerangi musuh-musuh-Nya dan meninggikan kalimat-Nya. Dan yang membedakan antara pengertian umum dan pengertian khusus  (dari “Fi Sabilillah (di jalan Allah)” ) adalah konteks dari kalimatnya. (Abhats Hai’ah Kibaril Ulama’: 1/141)

Sebagai contohnya adalah firman Allah U;

وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah: 195).

Frase “jalan Allah” dalam ayat di atas bermakna jihad untuk menegakkan kalimatnya karena konteks ayat sebelumnya adalah permasalahan perang terhadap kaum musyrikin.

Contoh yang lainnya adalah firman-Nya:

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).” (QS. Al-Anfal: 60).

Frase “jalan Allah” dalam ayat di atas bermakna jihad untuk menegakkan kalimatnya karena masih dalam konteks jihad di jalan Allah.

Tafsir “Fi Sabilillah” dalam Ayat Zakat

Allah U berfirman dalam ayat zakat:

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah: 60).

Frase “jalan Allah” dalam ayat di atas apakah ditafsirkan dengan pengertian umum –yaitu meliputi semua jalan kebaikan- ataukah ditafsirkan dengan pengertian khusus –yang membatasi hanya pada berjihad di jalan-Nya-?

Maka jawaban yang benar bahwa frase “jalan Allah” dalam ayat di atas harus ditafsirkan dengan pengertian khusus –yang membatasi hanya pada berjihad di jalan-Nya- saja. Kalau pengertian umum dipaksakan pada frase “jalan Allah” dalam ayat di atas maka akan merusak susunan dan konteks ayat.

Yang demikian karena menyantuni orang-orang fakir, orang-orang miskin, orang-orang yang mu’allaf, memberikan bantuan kepada budak untuk menebus dirinya dan sebagainya adalah termasuk dalam kategori “Fi sabilillah (di jalan Allah)” dengan pengertian umum.

Maka –kalau begitu- apa yang membedakan antara golongan fakir, miskin dengan golongan “Fi sabilillah (di jalan Allah)” jika golongan “Fi sabilillah (di jalan Allah)” ditafsirkan dengan pengertian umum yang juga meliputi golongan fakir dan golongan miskin pula? Sesungguhnya firman Allah U yang memiliki nilai kedalaman bahasa itu wajib disucikan dari pengulangan yang tidak berguna. Sehingga tafsir golongan “Fi sabilillah (di jalan Allah)” yang paling tepat adalah pengertian khusus yaitu berjihad dan berperang di jalan-Nya dalam rangka membedakan dari kedelapan golongan yang lainnya yang berhak menerima zakat. (Abhats Hai’ah Kibaril Ulama’: 1/143).

Asy-Syaikh Al-Walid Shalih Fauzan berkata:

أما الزكاة فإنها تصرف في مصارفها الشرعية التي حددها الله سبحانه وتعالى، والمراد بقوله : { وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ } [ سورة التوبة : آية 60 ] المجاهدون الذين ليس لهم مرتبات من بيت المال فيعطون من الزكاة وليس المراد من سبيل الله عموم المشاريع؛ لأنه لو كان كذلك لم يكن لعطفه على بقية الأصناف فائدة إذ كل الأصناف تكون في سبيل الله، فالحاصل أنه لابد من صرفها في مصارفها المحددة، فمن صرفها في غير أحد هذه الثمانية فإنها لا تجزيه .

“Adapun zakat maka ia dibagikan pada pembagiannya yang syar’i yang telah Allah U tetapkan batasnya. Dan yang dimaksud dengan firman-Nya “Fi Sabilillah (di jalan Allah)” (QS. At-Taubah: 60) adalah para mujahidin yang tidak memiliki gaji dari Baitul Mal. Maka mereka diberikan bagiannya dari zakat. Dan yang dimaksud dengan frase “Fi Sabilillah (di jalan Allah)” bukanlah semua jalan kebaikan. Karena kalau demikian maksudnya maka tidak akan ada gunanya ia (frase “Fi Sabilillah (di jalan Allah)”) disambung dengan golongan-golongan lainnya karena setiap golongan (dari 8 golongan yang berhak menerima zakat, pen) juga termasuk frase “Fi Sabilillah (di jalan Allah)”. Maka kesimpulannya adalah bahwa zakat haruslah dibagikan pada golongan-golongan yang sudah dibagi (oleh syariat, pen). Barangsiapa yang membagikannya kepada selain 8 golongan ini maka itu tidak mencukupinya.” (Al-Muntaqa min Fatawa Al-Fauzan: kaset 81 hal 7).

Pemakaian Frase “Fi Sabilillah (di jalan Allah)” di Masa Generasi Awal

Para Salafus Shaleh -yaitu Rasulullah e dan para Sahabat- menggunakan frase “Fi Sabilillah (di jalan Allah)” untuk memaksudkan berjihad dan berperang di jalan-Nya secara mutlak (tanpa batasan) karena seringnya penggunaan istilah ini di masa mereka. Sehingga jika ada ungkapan “Fi Sabilillah (di jalan Allah)” dengan tanpa batasan atau embel-embel maka yang mereka maksudkan adalah berjihad dan berperang di jalan-Nya.

Al-Allamah Ibnul Atsir Al-Jazari berkata:

وسبيلُ اللّه عامٌّ يقعُ على كل عَمل خالِصٍ سُلك به طَريق التقرُّب إلى اللّه تعالى بأداءِ الفَرَائض والنَّوافل وأنْواع التَّطوعُّات وإذا أُطْلق فهو في الغالِب واقعٌ على الجهَاد حتى صارَ لكَثْرة الاسْتِعْمال كأنه مقصورٌ عليه

“Dan pengertian jalan Allah itu umum meliputi segala amal yang ikhlas yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan cara mengerjakan amal fardlu, amal nafilah dan berbagai anjuran ketaatan. Dan jika (jalan Allah) itu di-mutlak-kan (tanpa embel-embel apapun) maka secara keumumannya berarti jihad sampai karena seringnya pemakaian istilah (jalan Allah) menjadikan pengertiannya seolah-olah terbatas pada jihad saja.” (An-Nihayah fii Gharibil Hadits: 2/846).

Sebagai contoh adalah sabda Rasulullah e:

طُوبَى لِعَبْدٍ آخِذٍ بِعِنَانِ فَرَسِهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَشْعَثَ رَأْسُهُ مُغْبَرَّةٍ قَدَمَاهُ

“Berbahagialah bagi seorang hamba yang mengambil tali kekang kudanya di jalan Allah, kepalanya dalam keadaan tidak tersisir dan kedua telapak kakinya dalam keadaan berdebu.” (HR. Al-Bukhari: 2673, Al-Baihaqi dalam Al-Kubra: 18279 (9/159)).

Dan makna frase “Fi Sabilillah (di jalan Allah)” dalam hadits di atas hanyalah berjihad dan berperang di jalan-Nya, bukan segala bentuk amal kebaikan seperti keadaan lusuh karena sibuk membangun masjid dan mengurusi anak yatim.

Contoh lainnya adalah sabda beliau e:

مَا مِنْ مَكْلُومٍ يُكْلَمُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِلَّا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَكَلْمُهُ يَدْمَى اللَّوْنُ لَوْنُ دَمٍ وَالرِّيحُ رِيحُ مِسْكٍ

“Tidak ada seorang terluka pun yang terluka di jalan Allah kecuali ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan lukanya mengucurkan darah dan berbau kasturi.” (HR. Al-Bukhari: 5107, Muslim: 3486, Ahmad: 8621).

Makna frase “Fi Sabilillah (di jalan Allah)” dalam hadits di atas juga hanyalah berjihad dan berperang di jalan-Nya, bukan segala bentuk amal kebaikan seperti terluka ketika membangun madrasah dan sebagainya.

Contoh lainnya adalah sabda beliau:

لَغَدْوَةٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ رَوْحَةٌ خَيْرٌ مِنْ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا

“Sungguh, berangkat pagi atau sore di jalan Allah adalah lebih baik daripada dunia dan seisinya.” (HR. Al-Bukhari: 2583, Muslim: 3492, At-Tirmidzi: 1575, Ibnu Majah: 2747).

Al-Allamah Muhammad Abdurrahman Al-Mubarakfuri berkata:

( باب في الغدو والرواح في سبيل الله ) أي الجهاد

“Ucapan At-Tirmidzi (Bab Berangkat Pagi dan Sore di Jalan Allah) maksudnya adalah berjihad.” (Tuhfatul Ahwadzi: 5/235), bukan segala bentuk amal kebaikan seperti berangkat sore atau pagi untuk membangun madrasah atau menolong pasien di rumah sakit dan sebagainya.

Termasuk contoh yang lainnya adalah sabda Rasulullah e:

الْقَتْلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُكَفِّرُ كُلَّ شَيْءٍ إِلَّا الدَّيْنَ

“Terbunuh di jalan Allah itu bisa menghapus segala kesalahan kecuali hutang.” (HR. Muslim: 3499, Al-Bazzar dalam Musnadnya: 2455 (1/379)).

Makna frase “Fi Sabilillah (di jalan Allah)” dalam hadits di atas tentulah terbunuh ketika berjihad bukannya terbunuh ketika menyantuni fakir miskin, membangun masjid dan sebagainya.

Contoh lainnya adalah sabda beliau e:

موقف ساعة في سبيل الله خير من قيام ليلة القدر عند الحجر الأسود

“Kedudukan 1 jam di jalan Allah adalah lebih baik daripada shalat malam pada lailatul qadar di sisi hajar aswad.” (HR. Al-Baihaqi dalam Asy-Syu’ab: 4286 (4/40), Ibnu Hibban dalam Shahih-nya: 10/463 dan di-shahih-kan oleh Al-Allamah Al-Albani dalam Shahihul Jami’: 11582).

Makna frase “Fi Sabilillah (di jalan Allah)” dalam hadits di atas tentulah berjihad dan menjaga medan pertempuran bukan menjaga anak yatim atau pembangunan masjid dan sebagainya.

Contoh lainnya adalah ucapan Sa’ad bin Malik t:

إِنِّي أَوَّلُ رَجُلٍ مِنْ الْعَرَبِ رَمَى بِسَهْمٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ

“Sesungguhnya aku adalah laki-laki pertama dari kalangan Arab yang melempar anak panah di jalan Allah.” (HR. At-Tirmidzi: 2289 dan di-shahih-kan olehnya, dan di-shahih-kan oleh Al-Allamah Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi: 2366).

Makna frase “Fi Sabilillah (di jalan Allah)” dari hadits di atas adalah hanya dalam urusan jihad atau perang bukan segala jalan kebaikan seperti memanah untuk menghibur anak-anak yatim dan sebagainya.

Dari hadits-hadits di atas dan yang sejenisnya menunjukkan bahwa pemakaian frase “Fi Sabilillah (di jalan Allah)” secara mutlak (tanpa batasan) dalam bahasa Arab pada masa Salafus Shalih hanya memberikan pengertian berjihad atau berperang di jalan Allah, bukan yang lainnya.

Demikian pula pengertian frase “Fi Sabilillah (di jalan Allah)” pada ayat zakat (QS. At-Taubah: 60) di atas, juga hanya bermakna jihad dan berperang di jalan-Nya, bukan yang lainnya. Ini karena frase “Fi Sabilillah (di jalan Allah)” pada ayat tersebut bersifat mutlak tanpa embel-embel.

Al-Imam Malik bin Anas berkata –ketika ada seseorang yang mau menyerahkan zakatnya di jalan Allah-:

سُبُلُ اللَّهِ كَثِيرَةٌ وَلَكِنِّي لَا أَعْلَمُ خِلَافًا فِي أَنَّ الْمُرَادَ بِسَبِيلِ اللَّهِ هَاهُنَا الْغَزْوُ

“Jalan-jalan Allah itu sangat banyak. Akan tetapi aku tidak melihat perselisihan pendapat ulama bahwa yang dimaksud dengan jalan Allah di sini adalah perang.” (Ahkamul Quran li Ibnil Arabi: 4/337 dan Al-Muntaqa Syarh Al-Muwaththa’: 1/496).

Jadi Al-Imam Malik juga mengembalikan pengertian frase “Fi Sabilillah (di jalan Allah)” secara mutlak dalam ayat zakat kepada pengertian jihad dan berperang di jalan-Nya.

Tafsir dengan As-Sunnah

Makna yang benar dari “Fi Sabilillah (di jalan Allah)” adalah orang-orang yang berjihad di jalan Allah sebagaimana penafsiran dari As-Sunnah.

Dari Abu Sa’id Al-Khudri t bahwa Rasulullah e bersabda:

لَا تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إِلَّا لِخَمْسَةٍ لِعَامِلٍ عَلَيْهَا أَوْ لِغَازٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ لِغَنِيٍّ اشْتَرَاهَا بِمَالِهِ أَوْ فَقِيرٍ تُصُدِّقَ عَلَيْهِ فَأَهْدَاهَا لِغَنِيٍّ أَوْ غَارِمٍ

“Tidaklah halal harta zakat bagi orang kaya kecuali untuk 5 golongan: untuk amil (pengurus zakat), atau orang yang berperang di jalan Allah, atau orang kaya yang membeli harta zakat dengan uangnya, atau seorang faqir yang mendapatkan shadaqah kemudian ia hadiahkan kepada orang kaya, atau orang yang memiliki hutang.” (HR. Abu Dawud: 1393 secara mursal dan maushul, Ibnu Majah: 1831 secara maushul, Ahmad: 11555 (3/56) secara maushul, Abdur Razzaq dalam Mushannafnya: 7151 (4/109) secara maushul, Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya: 2368 (4/69) secara maushul, Al-Baihaqi dalam Al-Kubra: 12945 (7/15) secara mursal dan maushul dan lain-lain).

Maksud riwayat mursal adalah riwayat Zaid bin Aslam dari Atha’ bin Yasar (seorang tabi’i) dari Rasulullah e. Sedangkan riwayat maushul adalah riwayat Zaid bin Aslam dari Atha’ bin Yasar (seorang tabi’i) dari Abu Sa’id Al-Khudri (seorang shahabi) dari Rasulullah e.

Al-Allamah Ibnul Mulaqqin berkata:

وَجمع الْبَيْهَقِيّ طُرُقَهُ ، وفيهَا : أَن مَالِكًا ، وَابْن عُيَيْنَة (أرسلا) وَأَن معمرًا ، وَالثَّوْري (وصلا) وهما من جُلَّة الْحفاظ المعتمدين ، وَالصَّحِيح إِذن أَن الحُكم للمتصل كَمَا صرَّح بِهِ أهل هَذَا الْفَنّ والأصوليون .

“Al-Baihaqi telah mengumpulkan jalan-jalan hadits ini. Di dalamnya dijelaskan bahwa Al-Imam Malik dan Al-Imam Ibnu Uyainah me-mursal-kannya sedangkan Al-Imam Ma’mar dan Al-Imam Ats-Tsauri me-maushul-kannya. Kedua beliau adalah termasuk tokoh besar penghafal hadits yang dipegangi. Sehingga hukumnya adalah muttashil (bersambung dan bukan mursal) sebagaimana dijelaskan oleh para pakar hadits dan ushul fiqih.” (Al-Badrul Munir: 7/384).

Hadits di atas juga di-shahihkan oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak: 1480 (1/566), Al-Allamah Ubaidullah Al-Mubarakfuri dalam Mir’atul Mafatih Syarh Misykatil Mashabih: 6/328, Al-Allamah Al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil: 3/377 dan Al-Hafizh Ibnul Qaththan Al-Fasi menukilkan penguatan hadits maushul ini dari Al-Hafizh Al-Bazzar dalam Bayanul Wahm wal Iham: 2/310. Demikian pula Al-Allamah Asy-Syaukani menguatkan ke-marfu-annya dalam Nailul Authar: 4/553.

Al-Allamah Ubaidullah Al-Mubarakfuri berkata:

والحديث تفسير لقوله تعالى: {في سبيل الله} [التوبة:60] إن المراد به الغزاة، وعليه الجمهور،

“Hadits ini merupakan tafsir atas firman Allah “Fi Sabilillah (di jalan Allah)” (QS. At-Taubah: 60). Sehingga yang dimaksud dengannya adalah orang yang berperang di jalan Allah. Dan ini merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama.” (Mir’atul Mafatih Syarh Misykatil Mashabih: 6/235-236).

Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr berkata:

وأجمع العلماء أن الصدقة المفروضة لا تحل لأحد من الأغنياء غير من ذكر في هذا الحديث من الخمسة الموصوفين فيه

“Para ulama bersepakat bahwa shadaqah wajib (zakat) tidak halal bagi salah seorang pun dari orang-orang kaya selain 5 orang yang disebutkan dalam hadits ini.” (At-Tamhid lima fil Muwaththa’ minal Ma’ani wal Asanid: 5/97)

Sehingga dari keterangan hadits di atas kita dapat mengambil pelajaran bahwa frase “Fi Sabilillah (di jalan Allah)” dalam ayat zakat di atas (QS. At-Taubah: 60) hanyalah bermakna orang-orang berjihad atau berperang di jalan-Nya.

Dalil Pendapat Kelompok Kedua dan Bantahannya

Mereka berpendapat bahwa naik haji dan umrah adalah termasuk pengertian  frase “Fi Sabilillah (di jalan Allah)” dalam ayat di atas sehingga layak mendapat santunan dari harta zakat mal. Ini adalah salah satu pendapat Al-Imam Ahmad bin Hanbal dan Al-Imam Ishaq bin Rahuyah dan diikuti oleh sebagian Hanabilah.

Di antara dalil mereka adalah hadits Abu Las Al-Khuza’i t. Ia berkata:

حَمَلَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى إِبِلٍ مِنْ إِبِلِ الصَّدَقَةِ لِلْحَجِّ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا نَرَى أَنْ تَحْمِلَنَا هَذِهِ قَالَ مَا مِنْ بَعِيرٍ لَنَا إِلَّا فِي ذُرْوَتِهِ شَيْطَانٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا إِذَا رَكِبْتُمُوهَا كَمَا أَمَرْتُكُمْ ثُمَّ امْتَهِنُوهَا لِأَنْفُسِكُمْ فَإِنَّمَا يَحْمِلُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ

“Rasulullah e menaikkan kami di atas seekor unta dari unta shadaqah (zakat) untuk haji. Maka kami berkata: “Wahai Rasulullah, menurut kami engkau tidak perlu menaikkan kami seperti ini.” Beliau menjawab: “Tidaklah ada suatu unta pun kecuali di atas punuknya ada syetan. Maka sebutlah nama Allah ketika menaikinya sebagaimana aku perintahkan kalian kemudian pekerjakanlah unta itu untuk diri kalian. Karena yang menaikkan adalah Allah U.” (HR. Ahmad: 17259, 17260, Al-Baihaqi dalam Al-Kubra: 10618 (5/252) dan di-hasan-kan oleh Al-Allamah Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah: 2271 (5/270)).

Mereka juga berdalil dengan hadits Ibnu Abbas t bahwa ia berkata:

أَرَادَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَجَّ فَقَالَتْ امْرَأَةٌ لِزَوْجِهَا أَحِجَّنِي مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى جَمَلِكَ فَقَالَ مَا عِنْدِي مَا أُحِجُّكِ عَلَيْهِ قَالَتْ أَحِجَّنِي عَلَى جَمَلِكَ فُلَانٍ قَالَ ذَاكَ حَبِيسٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَأَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ امْرَأَتِي تَقْرَأُ عَلَيْكَ السَّلَامَ وَرَحْمَةَ اللَّهِ وَإِنَّهَا سَأَلَتْنِي الْحَجَّ مَعَكَ قَالَتْ أَحِجَّنِي مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ مَا عِنْدِي مَا أُحِجُّكِ عَلَيْهِ فَقَالَتْ أَحِجَّنِي عَلَى جَمَلِكَ فُلَانٍ فَقُلْتُ ذَاكَ حَبِيسٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَقَالَ أَمَا إِنَّكَ لَوْ أَحْجَجْتَهَا عَلَيْهِ كَانَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ وَإِنَّهَا أَمَرَتْنِي أَنْ أَسْأَلَكَ مَا يَعْدِلُ حَجَّةً مَعَكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقْرِئْهَا السَّلَامَ وَرَحْمَةَ اللَّهِ وَبَرَكَاتِهِ وَأَخْبِرْهَا أَنَّهَا تَعْدِلُ حَجَّةً مَعِي يَعْنِي عُمْرَةً فِي رَمَضَانَ

“Rasulullah e mau naik haji. Maka seseorang wanita berkata kepada suaminya: “Hajikan aku bersama Rasulullah e di atas untamu!” Maka ia berkata: “Aku tidak memiliki sesuatu yang kamu naiki untuk naik haji.” Istrinya berkata: “Hajikan aku di atas untamu (yang bernama) Fulan itu!” Ia berkata: “Itu adalah unta yang ditahan (diwaqafkan, pen) di jalan Allah.” Kemudian ia melaporkan kisahnya kepada Rasulullah e dan beliau menjawab: “Ingatlah! Kalau kamu memberangkatkannya haji di atas unta itu maka ia (haji) berada di jalan Allah.”…dst.” (HR. Abu Dawud: 1699, Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya: 3077 (4/361), Al-Baihaqi dalam Al-Kubra: 12269 (6/164) dan lain-lain dan isnadnya di-shahih-kan oleh Al-Allamah Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud: 1737).

Mereka juga berdalil dengan hadits Ummu Ma’qal Al-Asadiyah t yang berkata:

كَانَ أَبُو مَعْقَلٍ حَاجًّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَتْ أُمُّ مَعْقَلٍ قَدْ عَلِمْتَ أَنَّ عَلَيَّ حَجَّةً فَانْطَلَقَا يَمْشِيَانِ حَتَّى دَخَلَا عَلَيْهِ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ عَلَيَّ حَجَّةً وَإِنَّ لِأَبِي مَعْقَلٍ بَكْرًا قَالَ أَبُو مَعْقَلٍ صَدَقَتْ جَعَلْتُهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْطِهَا فَلْتَحُجَّ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَأَعْطَاهَا الْبَكْرَ

“Adalah Abu Ma’qal naik haji bersama Rasulullah e. Maka ia datang Ummu Ma’qal berkata: “Kamu telah mengetahui bahwa aku juga memiliki kewajiban naik haji.” Maka keduanya berangkat dengan berjalan kaki sampai memasuki tempat beliau. Maka Ummu Ma’qal berkata: “Wahai Rasulullah! Aku juga wajib naik haji dan Abu Ma’qal mempunyai unta muda.” Abu Ma’qal menambahkan: “Istriku benar. Unta itu aku peruntukkan di jalan Allah.” Maka Rasulullah e bersabda: “Berikan unta itu kepadanya dan hendaknya ia naiki karena haji itu di jalan Allah.” Maka ia berikan unta muda itu kepada istrinya.” (HR. Abu Dawud: 1697, Ahmad: 25858, Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya: 3075 (4/360)).

Mereka juga berdalil dengan atsar dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar y bahwa mereka berkata:

الْحَجُّ فِي سَبِيلِ اللَّهِ

“Haji adalah termasuk di jalan allah.” (Al-Mughni; 14/334).

Mereka juga berdalil dengan fatwa Ibnu Abbas t. Beliau:

كان لا يرى بأسا أن يعطي الرجل من زكاة ماله في الحج ، وأن يعتق منه الرقبة

“Beliau tidak menganggap keliru seseorang yang memberikan dari harta zakatnya untuk haji dan untuk memerdekakan budak.” (Atsar riwayat Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam dalam Al-Amwal: 1191 (3/287).

Penulis menyatakan:

Pendalilan dengan hadits-hadits di atas untuk membolehkan memberikan zakat mal kepada orang yang naik haji dengan alasan “Di jalan Allah” perlu ditinjau lagi.

Bantahan bagi pendapat ini ada 2 sisi yaitu sisi riwayat dan sisi dirayat.

Dari sisi riwayat, dalil hadits ataupun atsar yang mendukung pendapat ini mendapat kritikan dari para ulama.

Meskipun hadits Abu Las Al-Khuza’i t di atas di-hasan-kan oleh Al-Allamah Al-Albani, akan tetapi Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata:

ورجاله ثقات إلا أن فيه عنعنة بن إسحاق ولهذا توقف بن المنذر في ثبوته

“Perawinya orang-orang tsiqat kecuali di dalamnya terdapat an’anah Ibnu Ishaq (yang mudallis, pen). Oleh karena itu Ibnul Mundzir tawaqquf (berdiam diri, pen) tentang ke-shahih-an hadits ini.” (Fathul Bari: 3/332).

Tentang hadits Ibnu Abbas -meskipun ia di-shahih-kan oleh Al-Allamah Al-Albani-, Al-Allamah Ubaidullah Al-Mubarakfuri berkata:

فإن حديث ابن عباس في إسناده عامر بن عبد الواحد الأحول وقد تكلم فيه أحمد والنسائي. وقال الحافظ: صدوق يخطيء. وقد روى الشيخان عن ابن عباس نحو هذه القصة وليس عندهما إنه جعل جملة حبيساً في سبيل الله ولا أن رسول الله – صلى الله عليه وسلم – قال: لو احججتها عليه كان في سبيل الله.

“Maka sesungguhnya hadits Ibnu Abbas di dalam isnadnya terdapat Amir bin Abdul Wahid Al-Ahwal, dan ia diperbincangkan oleh Ahmad dan An-Nasa’i. Dan Al-Hafizh berkata: “Ia jujur tapi sering keliru.” Dan Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Abbas seperti kisah ini tetapi tanpa tambahan bahwa ia menjadikan unta-untanya ditahan di jalan Allah. Dan tidak ada juga tambahan kisah ucapan Rasulullah e: “Kalau kamu memberangkatkannya haji di atas unta itu maka ia (haji) berada di jalan Allah.” (Mir’atul Mafatih Syarh Misykatil Mashabih: 6/239).

Adapun hadits Ummu Ma’qal Al-Asadiyah t, maka Al-Allamah Al-Mubarakfuri berkata:

وأما حديث أم معقل ففيه اضطراب كثير واختلاف شديد في سنده ومتنه حتى تعذر الجمع والترجيح مع ما في بعض طرقه من راو ضعيف ومجهول ومدلس قد عنعن، وهذا مما يوجب التوقف فيه وذلك لا يشك فيه من ينظر في طرق هذا الحديث في مسند الإمام أحمد وفي السنن مع حديث ابن عباس عند الشيخين وأبي داود وابن أبي شيبة، ومع قصة أم طليق عند ابن السكن وابن مندة والدولابي

“Adapun hadits Ummu Ma’qal maka di dalamnya terdapat kegoncangan yang banyak dan perselisihan yang kuat baik dalam matan maupun sanadnya sampai-sampai terlalu berat untuk mengkompromikan dan men-tarjih salah satunya. Padahal dalam sebagian jalannya terdapat perawi yang lemah, perawi yang majhul dan perawi yang mudallis dengan keadaan sanad an’anah. Ini yang mewajibkan bersikap tawaqquf. Ini tidak diragukan bagi orang yang melihat jalan-jalan hadits ini dalam Musnad Al-Imam Ahmad, dalam As-Sunan bersama hadits Ibnu Abbas dalam Ash-Shahihain, Abu Dawud dan Ibnu Abi Syaibah. Dan juga bersama hadits kisah Ummu Tholiq dalam Ibnu As-Sakan, Ibnu Mandah dan Ad-Daulabi.” (Mir’atul Mafatih Syarh Misykatil Mashabih: 6/239).

Adapun atsar tentang fatwa Ibnu Abbas t, maka Al-Allamah Ubaidullah Al-Mubarakfuri berkata:

وأما أثر ابن عباس فهو أيضاً مضطرب صرح به أحمد كما في الفتح، وقد بين اضطرابه الحافظ، ولذلك كف أحمد عن القول بالإعتاق من الزكاة تورعاً وقيل بل رجع عن هذا القول.

“Adapun atsar Ibnu Abbas maka ia juga goncang (mudltharib). Al-Imam Ahmad telah menjelaskannya sebagaimana dalam Al-Fath. Dan Al-Hafizh telah menjelaskan kegoncangannya. Oleh karena itu beliau (Imam Ahmad) menahan diri dari berfatwa tentang bolehnya memerdekakan (budak) dari zakat karena sikap wara’. Dan dikatakan bahkan beliau telah rujuk (meralat) dari fatwa ini.” (Mir’atul Mafatih Syarh Misykatil Mashabih: 6/240).

Dari sisi dirayat, para ulama juga mengkritik dan mempermasalahkan pendapat yang memasukkan ibadah haji ke dalam salah satu golongan yang berhak menerima zakat dengan alasan fii Sabilillah.

Al-Imam Ibnu Qudamah Al-Hanbali menanggapi pendapat di atas:

وَعَنْ أَحْمَدَ رَحِمَهُ اللَّهُ رِوَايَةٌ أُخْرَى ، لَا يَصْرِفُ مِنْهَا فِي الْحَجِّ . وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ ، وَأَبُو حَنِيفَةَ ، وَالثَّوْرِيُّ ، وَالشَّافِعِيُّ، وَأَبُو ثَوْرٍ ، وَابْنُ الْمُنْذِرِ .وَهَذَا أَصَحُّ ؛ لِأَنَّ سَبِيلَ اللَّهِ عِنْدَ الْإِطْلَاقِ إنَّمَا يَنْصَرِفُ إلَى الْجِهَادِ ، فَإِنَّ كُلَّ مَا فِي الْقُرْآنِ مِنْ ذِكْرِ سَبِيلِ اللَّهِ .إنَّمَا أُرِيدَ بِهِ الْجِهَادُ ، إلَّا الْيَسِيرَ ، فَيَجِبُ أَنْ يُحْمَلَ مَا فِي هَذِهِ الْآيَةِ عَلَى ذَلِكَ ؛ لِأَنَّ الظَّاهِرَ إرَادَتُهُ بِهِ ، وَلِأَنَّ الزَّكَاةَ إنَّمَا تُصْرَفُ إلَى أَحَدِ رَجُلَيْنِ ، مُحْتَاجٍ إلَيْهَا ، كَالْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ لِقَضَاءِ دُيُونِهِمْ ، أَوْ مَنْ يَحْتَاجُ إلَيْهِ الْمُسْلِمُونَ ، كَالْعَامِلِ وَالْغَازِي وَالْمُؤَلَّفِ وَالْغَارِمِ لِإِصْلَاحِ ذَاتِ الْبَيْنِ .

“Dari Ahmad –rahimahullah- juga ada riwayat lain, yaitu: Harta zakat tidak boleh dipergunakan untuk haji. Ini adalah pendapat Malik, Abu Hanifah, Ats-Tsauri, Asy-Syafi’i, Abu Tsaur dan Ibnul Mundzir. Dan ini adalah pendapat yang lebih tepat, karena frase “Fi Sabilillah (di jalan Allah)” dalam keadaan mutlak maka yang dimaksudkan adalah bahwa (harta zakat) hanyalah diserahkan untuk jihad. Karena semua yang tersebut dalam Al-Quran dari frase “Fi Sabilillah (di jalan Allah)” yang dimaksudkan atasnya hanyalah jihad kecuali sedikit ayat yang lainnya. Maka ayat ini wajib dipahami atas demikian karena yang zhahir adalah menghendaki jihad. Dan (alasan lainnya) bahwa zakat hanyalah diberikan kepada salah satu dari 2 orang:

Pertama: orang yang membutuhkan harta zakat seperti orang fakir, miskin, budak mukatab, orang yang terlilit hutang untuk melunasi hutangnya, atau

Kedua: orang yang dibutuhkan oleh kaum muslimin seperti amil, pejuang jihad, muallaf, orang yang terlilit utang dalam rangka mengadakan ishlah (mendamaikan).” (Al-Mughni: 14/334).

Al-Hafizh Ibnu Hazm Azh-Zhahiri berkata:

فإن قيل: قَدْ رُوِيَ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَنَّ الْحَجَّ مِنْ سَبِيلِ اللَّهِ. وَصَحَّ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنْ يُعْطَى مِنْهَا فِي الْحَجِّ.

قلنا: نَعَمْ, وَكُلُّ فِعْلِ خَيْرٍ فَهُوَ مِنْ سَبِيلِ اللَّهِ تَعَالَى, إلاَّ أَنَّهُ لاَ خِلاَفَ فِي أَنَّهُ تَعَالَى لَمْ يُرِدْ كُلَّ وَجْهٍ مِنْ وُجُوهِ الْبِرِّ فِي قِسْمَةِ الصَّدَقَاتِ, فَلَمْ يَجُزْ أَنْ تُوضَعَ إلاَّ حَيْثُ بَيَّنَ النَّصُّ, وَهُوَ الَّذِي ذَكَرْنَا وَبِاَللَّهِ تَعَالَى التَّوْفِيقُ.

“Jika dikatakan bahwa telah diriwayatkan dari Rasulullah e bahwa naik haji termasuk di jalan Allah dan telah shahih bahwa Ibnu Abbas memberikan zakat mal untuk haji.”

“Maka kami katakan: “Ya, demikian. Dan setiap perbuatan baik adalah di jalan Allah (tidak hanya haji saja, pen). Kecuali bahwa tidak ada perselisihan bahwa Allah tidak memaksudkan setiap arah dari arah kebaikan termasuk di dalam pembagian zakat (dari golongan Sabilillah,  pen). Maka tidak boleh meletakkan pengertian kecuali sesuai yang telah dijelaskan oleh teks ayat, yaitu apa yang telah kami sebutkan. Wallahu a’lam.” (Al-Muhalla: 6/151).

Al-Allamah Kamaluddin bin Al-Hammam Al-Hanafi berkata:

ثُمَّ فِيهِ نَظَرٌ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ مَا هُوَ الْمُرَادُ بِسَبِيلِ اللَّهِ الْمَذْكُورِ فِي الْآيَةِ .وَالْمَذْكُورِ فِي الْحَدِيثِ لَا يَلْزَمُ كَوْنُهُ إيَّاهُ لِجَوَازِ أَنَّهُ أَرَادَ الْأَمْرَ الْأَعَمَّ ، وَلَيْسَ ذَلِكَ الْمُرَادُ فِي الْآيَةِ بَلْ نَوْعٌ مَخْصُوصٌ ، وَإِلَّا فَكُلُّ الْأَصْنَافِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِذَلِكَ الْمَعْنَى .

“Kemudian di dalamnya (memasukkan naik haji ke dalam golongan fi Sabilillah yang berhak menerima zakat, pen) perlu ditinjau lagi. Karena yang ditujukan adalah apa yang dimaksud dengan frase “Fi Sabilillah (di jalan Allah)” dalam ayat zakat di atas (QS. At-Taubah: 60). Dan frase “Fi Sabilillah (di jalan Allah)” dalam hadits haji di atas tidak mengharuskan maknanya sama dengan yang ada dalam ayat zakat. Karena bisa jadi Rasulullah e memaksudkan frase “Fi Sabilillah (di jalan Allah)” dalam hadits dengan makna lebih umum. Dan tidak demikian pada ayat zakat tetapi yang dimaksudkan adalah makna khusus (yaitu jihad, pen). Kalau tidak, maka semua golongan dari 8 golongan yang berhak menerima zakat akan dimasukkan dalam pengertian frase “Fi Sabilillah (di jalan Allah)” dengan makna umum.” (Fathul Qadir: 4/186).

Al-Imam An-Nawawi Asy-Syafi’i berkata:

(والجواب) عن الثاني أن الحج يسمى سبيل الله ولكن الآية محمولة علي الغزو لما ذكرناه والله تعالي اعلم

“Jawaban dari yang kedua adalah bahwa ibadah haji itu disebut Sabilullah akan tetapi frase “Fi Sabilillah (di jalan Allah)” dalam ayat zakat di atas (QS. At-Taubah: 60) difahami atas perang (jihad) sebagaimana yang telah kami sebutkan. Wallahu a’lam.” (Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab: 6/212-213).

Penulis juga mengatakan:

Hendaknya kelompok yang kedua ini konsisten dengan pendirian mereka. Kalau mereka menyantuni orang-orang yang naik haji –yang jelas-jelas kaya- dari harta zakat dengan alasan mereka (jamaah haji) adalah termasuk “Fi Sabilillah (di jalan Allah)”. Maka mereka juga seharusnya membagikan zakat mal kepada para dokter, insinyur, pedagang pasar –meskipun mereka adalah orang kaya- dan orang-orang yang bekerja secara professional untuk mencukupi kebutuhan keluarga mereka dan orang tua mereka. Karena mereka semua juga termasuk “Fi Sabilillah (di jalan Allah)”.

Rasulullah e bersabda:

وَمَا سَبِيلُ اللَّهِ إِلاَّ مَنْ قُتِلَ؟ مَنْ سَعَى عَلَى وَالِدَيْهِ فَفِى سَبِيلِ اللَّهِ وَمَنْ سَعَى عَلَى عِيَالِهِ فَفِى سَبِيلِ اللَّهِ وَمَنْ سَعَى عَلَى نَفْسِهِ لِيُعِفَّهَا فَفِى سَبِيلِ اللَّهِ وَمَنْ سَعَى عَلَى التَّكَاثُرِ فَهُوَ فِى سَبِيلِ الشَّيْطَانِ ».

“Apakah Sabilullah (jalan Allah) itu hanya orang terbunuh dalam peperangan saja? Barangsiapa yang bekerja untuk menghidupi orang tuanya maka ia adalah di jalan Allah. Barangsiapa yang bekerja untuk menghidupi keluarganya maka ia adalah di jalan Allah. Barangsiapa yang bekerja untuk menjaga dirinya dari meminta-minta maka ia juga di jalan Allah. Dan barangsiapa yang bekerja untuk bermegah-megahan maka ia adalah di jalan syetan.” (HR. Al-Baihaqi: 18280 (9/25), Ath-Thabrani dalam Al-Ausath: 4214 (4/284) dan di-shahih-kan oleh Al-Allamah Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah: 2232).

Tentulah frase “Fi Sabilillah (di jalan Allah)” dalam hadits di atas tidak dapat dipahami sebagai frase “Fi Sabilillah (di jalan Allah)” dalam ayat zakat di atas (QS. At-Taubah: 60). Dan kalau dipaksakan maka mereka harus membagikan zakat mal -selain kepada jamaah haji dan umrah- juga kepada para profesi seperti dokter, insinyur, pedagang pasar, pengusaha dan pengrajin meskipun mereka kaya. Dan ini menyalahi hikmah disyariatkannya zakat mal.

Dalil Pendapat Kelompok Ketiga dan Bantahannya

Mereka berpendapat bahwa frase “Fi Sabilillah (di jalan Allah)” dalam ayat zakat di atas (QS. At-Taubah: 60) dipahami dengan semua jalan kebaikan. Sehingga harta zakat mal dapat digunakan untuk membangun masjid, madrasah, rumah sakit dan sebagainya. Ini adalah pendapat kalangan kontemporer dan pendapat yang paling jauh dari kebenaran di antara ketiga pendapat yang ada.

Mereka berdalil dengan hadits Sahl bin Abi Hatsmah t:

أَنَّ نَفَرًا مِنْ قَوْمِهِ انْطَلَقُوا إِلَى خَيْبَرَ فَتَفَرَّقُوا فِيهَا وَوَجَدُوا أَحَدَهُمْ قَتِيلًا وَقَالُوا لِلَّذِي وُجِدَ فِيهِمْ قَدْ قَتَلْتُمْ صَاحِبَنَا قَالُوا مَا قَتَلْنَا وَلَا عَلِمْنَا قَاتِلًا فَانْطَلَقُوا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ انْطَلَقْنَا إِلَى خَيْبَرَ فَوَجَدْنَا أَحَدَنَا قَتِيلًا فَقَالَ الْكُبْرَ الْكُبْرَ فَقَالَ لَهُمْ تَأْتُونَ بِالْبَيِّنَةِ عَلَى مَنْ قَتَلَهُ قَالُوا مَا لَنَا بَيِّنَةٌ قَالَ فَيَحْلِفُونَ قَالُوا لَا نَرْضَى بِأَيْمَانِ الْيَهُودِ فَكَرِهَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُبْطِلَ دَمَهُ فَوَدَاهُ مِائَةً مِنْ إِبِلِ الصَّدَقَةِ

“Bahwa sekelompok orang dari kaumnya (Anshar) berangkat menuju Khaibar kemudian mereka berpencar di sana dan menemukan seseorang yang terbunuh. Mereka berkata kepada orang (yahudi) yang berada di sekitarnya: “Kalian telah membunuh temanku.” Mereka menjawab: “Kami tidak membunuhnya dan tidak mengetahui pembunuhnya.” Maka mereka (Anshar) berangkat ke Rasulullah e dan berkata: “Wahai Rasulullah e! Kami pergi ke Khaibar kemudian kami temukan sahabat kami tewas.” Maka beliau berkata: “Serahkan urusannya kepada yang tua-tua!” Kemudian beliau bertanya: “Kalian memiliki bukti tentang siapa pembunuhnya?” Mereka menjawab: “Kami tidak memiliki bukti.” Beliau bertanya: “Mereka (Yahudi) mau bersumpah?” Orang-orang Anshar berkata: “Kami tidak rela dengan sumpah orang Yahudi.” Maka Rasulullah e tidak suka membatalkan tebusan darah sahabat Anshar yang tewas dan menebusnya (sebagai ganti denda, pen) dengan 100 ekor unta shadaqah.” (HR. Al-Bukhari: 6389, Muslim: 3159, Abu Dawud: 3920, An-Nasa’i: 4640).

Dari hadits di atas –menurut mereka- dapat diambil pelajaran bahwa denda (diyat) pembunuhan bisa dibiayai dari harta zakat.

Mereka juga berdalil dengan fatwa Anas bin Malik t dan Al-Hasan Al-Bashri yang berkata:

مَا أَعْطَيْت فِي الْجُسُورِ وَالطُّرُقِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مَاضِيَةٌ .

“Harta yang kamu pergunakan untuk membangun jembatan dan jalan-jalan adalah shadaqah yang telah lalu.” (Atsar riwayat Al-Qasim bin Salam dalam Al-Amwal: 1219 (3/316), Al-Mughni: 5/241)

Penulis katakan:

Adapun hadits yang dijadikan dalil oleh mereka, maka kita perlu mencari penjelasan lebih lanjut tentang kalimat “dan beliau menebusnya dengan 100 ekor unta shadaqah dari riwayat lain.

Ternyata dijumpai riwayat lain dari Al-Bukhari:

فَوَدَاهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ عِنْدِهِ فَبَعَثَ إِلَيْهِمْ مِائَةَ نَاقَةٍ

Maka Rasulullah e menebusnya dari harta di sisi beliau, kemudian beliau mengirimkan kepada mereka 100 ekor unta.” (HR. Al-Bukhari: 6655, Muslim: 3159, Abu Dawud: 3918, 3921, Ibnu Majah: 2667, 2668 dan An-Nasa’i: 4631).

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkomentar terhadap hadits ini:

قوله )من إبل الصدقة( زعم بعضهم أنه غلط من سعيد بن عبيد لتصريح يحيى بن سعيد بقوله )من عنده( وجمع بعضهم بين الروايتين باحتمال أن يكون اشتراها من إبل الصدقة بمال دفعه من عنده أو المراد بقوله من عنده أي بيت المال المرصد للمصالح وأطلق عليه صدقة باعتبار الانتفاع به مجانا لما في ذلك من قطع المنازعة وإصلاح ذات البين

“Sabda beliau (dengan 100 ekor unta shadaqah), sebagian ulama’ menyangka bahwa lafazh ini (dengan 100 ekor unta shadaqah, pen) adalah kesalahan periwayatan dari Sa’id bin Ubaid karena adanya riwayat Yahya bin Sa’id dengan pernyataan beliau (dari harta di sisi beliau). Sebagian ulama mengkompromikan antara kedua riwayat dengan kemungkinan bahwa beliau membeli 100 ekor unta shadaqah dengan uang yang diberikan dari sisi beliau. Atau yang dimaksud dengan sabda beliau (dari harta di sisi beliau) adalah dari Baitul Mal yang dipersiapkan untuk kemaslahatan (umum). Dikatakan “shadaqah” karena dapat dimanfaatkan secara gratis untuk memutuskan persengketaan dan memperbaiki hubungan antar sesama.” (Fathul Bari: 12/235).

Sedangkan Al-Allamah Syamsul Haqq Azhim Abadi juga berkomentar:

وإنما وداه صلى الله عليه و سلم من عنده قطعا للنزاع وإصلاحا لذات البين فإن أهل القتيل لا يستحقون إلا أن يحلفوا أو يستحلفوا المدعى عليهم وقد امتنعوا من الأمرين وهم مكسورون بقتل صاحبهم فأراد صلى الله عليه وسلم جبرهم وقطع المنازعة بدفع ديته من عنده

“Beliau e hanyalah menebus (sebagai ganti denda pembunuhan, pen) dari harta di sisi beliau dalam rangka memutuskan silang sengketa dan memperbaiki hubungan antar sesama, karena keluarga korban tewas tidaklah berhak (menerima tebusan, pen) kecuali mereka bersedia bersumpah atau meminta sumpah dari terdakwa. Dan mereka menolak kedua-duanya dan mereka merasakan hancurnya perasaan akibat terbunuhnya keluarga mereka. Maka beliau e ingin menutup kekecewaan mereka dan memutuskan silang sengketa dengan memberikan ganti denda dengan harta beliau sendiri.” (Aunul Ma’bud: 12/157).

Al-Allamah Ash-Shan’ani juga berkata:

وقوله )فوداه رسول الله صلى الله عليه وسلم من عنده( وفي لفظ )إنه وداه من إبل الصدقة( فقيل المراد به أنه اقترضها منها وأنه لما تحملها صلى الله عليه وسلم للإصلاح بين الطائفتين كان حكمها حكم القضاء عن الغارم لما غرمه لإصلاح ذات البين فلم يأخذها صلى الله عليه وسلم لنفسه فإن الصدقة لا تحل له ولكن جرى إعطاء الدية منها مجرى إعطائها في الغرم لإصلاح ذات البين

“Hadits (Maka Rasulullah e menebusnya dari harta di sisi beliau) dalam lafazh lain (beliau menebusnya dengan 100 ekor unta shadaqah) maka dikatakan bahwa maksudnya adalah bahwa beliau meminjam 100 ekor unta dari shadaqah (zakat). Dan ketika beliau menanggung hutang untuk mendamaikan 2 kelompok maka hukumnya seperti hukum gharim ketika hartanya terkuras untuk mendamaikan sesama. Maka beliau tidak mengambil harta shadaqah untuk dirinya karena shadaqah tidak halal atas beliau tetapi beliau mendudukkan penebusan denda (diyat) dari shadaqah seperti kedudukan orang yang berhutang untuk mendamaikan sesama.” (Subulus Salam: 3/255).

Maka dari penjelasan beliau bertiga dapat kita tarik garis pemahaman:

  • Rasulullah e membeli unta shadaqah tersebut dengan harta beliau
  • Atau beliau berstatus sebagai orang yang mendamaikan kedua pihak yang bersengketa. Dalam hal ini beliau adalah seperti gharim yang kaya yang menanggung biaya 100 ekor unta untuk menyelesaikan sengketa
  • Kedua-duanya dari keadaan diperbolehkan karena tidak bertentangan dengan hadits tentang 5 orang kaya yang dihalalkan harta zakat atasnya.

Beliau e telah bersabda:

لَا تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إِلَّا لِخَمْسَةٍ لِعَامِلٍ عَلَيْهَا أَوْ لِغَازٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ لِغَنِيٍّ اشْتَرَاهَا بِمَالِهِ أَوْ فَقِيرٍ تُصُدِّقَ عَلَيْهِ فَأَهْدَاهَا لِغَنِيٍّ أَوْ غَارِمٍ

“Tidaklah halal harta zakat bagi orang kaya kecuali untuk 5 golongan: untuk amil (pengurus zakat), atau orang yang berperang di jalan Allah, atau orang kaya yang membeli harta shadaqah dengan uangnya, atau seorang faqir yang mendapatkan shadaqah kemudian ia hadiahkan kepada orang kaya, atau orang yang memiliki hutang.” (Takhrij sudah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya).

Sedangkan pengertian  gharim (orang yang memiliki hutang) telah dijelaskan dalam sabda beliau e:

الْعَارِيَةُ مُؤَدَّاةٌ وَالْمِنْحَةُ مَرْدُودَةٌ وَالدَّيْنُ مَقْضِيٌّ وَالزَّعِيمُ غَارِمٌ

“Barang pinjaman harus dikembalikan. Tanah atau binatang ternak yang dimanfaatkan harus dikembalikan. Hutang harus dilunasi. Orang yang menanggung adalah gharim (orang yang berhutang).” (HR. At-Tirmidzi: 2046 dan di-shahih-kan olehnya, Abu Dawud: 3094, Ahmad: 21263 dari Abu Umamah Al-Bahili t. Perawi Ahmad di-tsiqat-kan oleh Al-Haitsami dalam Majma’uz Zawa’id: 6711 (4/258). Hadits ini di-hasan-kan oleh Ibnul Mulaqqin dalam Al-Badrul Munir: 6/707 dan juga di-shahih-kan oleh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah: 610 (2/166)).

Al-Allamah Syamsul Haqq Azhim Abadi berkata:

( والزعيم ) أي الكفيل والزعامة الكفالة ( غارم ) أي يلزم نفسه ما ضمنه

“Kata (za’im) maksudnya adalah orang yang menanggung (biaya). Kata “za’amah” adalah tanggungan (biaya). Kata (gharim) maksudnya adalah ia mewajibkan dirinya untuk menanggung biaya tersebut.” (Aunul Ma’bud: 9/347).

Jadi hadits di atas yang digunakan sebagai dalil oleh pendapat kelompok ketiga untuk memperluas pengertian frase “Fi Sabilillah (di jalan Allah)” dalam ayat zakat di atas (QS. At-Taubah: 60) -dengan pengertian umum- adalah salah sasaran. Justru yang benar adalah bahwa hadits di atas menjelaskan golongan gharim yang berhak menerima zakat atau bolehnya membeli harta zakat dengan tujuan mendamaikan perselisihan manusia.

Adapun fatwa Anas bin Malik dan Al-Hasan Al-Bashri, maka Al-Imam Ibnu Qudamah berkomentar:

وَلَا نَعْلَمُ خِلَافًا بَيْنَ أَهْلِ الْعِلْمِ فِي أَنَّهُ لَا يَجُوزُ دَفْعُ الزَّكَاةِ إلَى غَيْرِ هَذِهِ الْأَصْنَافِ ، إلَّا مَا رُوِيَ عَنْ عَطَاءٍ ، وَالْحَسَنِ ، أَنَّهُمَا قَالَا : مَا أَعْطَيْت فِي الْجُسُورِ وَالطُّرُقِ ، فَهِيَ صَدَقَةٌ مَاضِيَةٌ .

وَالْأَوَّلُ أَصَحُّ ؛ وَذَلِكَ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ : { إنَّمَا الصَّدَقَاتُ }.وَ ” إنَّمَا ” لِلْحَصْرِ تُثْبِتُ الْمَذْكُورَ ، وَتَنْفِي مَا عَدَاهُ ؛ لِأَنَّهَا مُرَكَّبَةٌ مِنْ حَرْفَيْ نَفْيٍ وَإِثْبَاتٍ ، فَجَرَى مَجْرَى قَوْله تَعَالَى : { إنَّمَا اللَّهُ إلَهٌ وَاحِدٌ }.أَيْ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ .

وَقَوْلِهِ تَعَالَى : { إنَّمَا أَنْتَ مُنْذِرٌ }.أَيْ مَا أَنْتَ إلَّا نَذِيرٌ.

“Kami tidak menjumpai perselisihan pendapat di kalangan ulama bahwa tidak boleh memberikan zakat kepada selain 8 golongan ini kecuali yang diriwayatkan dari Atha’ dan Al-Hasan yang berfatwa: “Harta yang kamu pergunakan untuk membangun jembatan dan jalan-jalan adalah shadaqah yang telah lalu.”

Pendapat pertama (yang melarang selain 8 golongan) adalah lebih benar (tepat). Ini karena Allah berfirman: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah..”. Kata “hanyalah” adalah berfungsi untuk pembatasan, yaitu menetapkan yang telah disebutkan (8 golongan) dan menafikan (baca: meniadakan) golongan selainnya. Karena ia tersusun dari 2 huruf yaitu huruf nafi (peniadaan) dan huruf isbat (penetapan). Maka ini menduduki seperti firman-Nya: “Sesungguhnya Allah adalah ilah yang satu.” Maksudnya adalah “Tiada ilah yang berhak disembah selain Allah.” Dan juga seperti firman-Nya: “Sesungguhnya engkau hanyalah pemberi peringatan.” Maksudnya adalah: “Tidaklah engkau kecuali orang yang memberikan peringatan.” (Al-Mughni: 14/300).

Wallahu a’lam.

Kesimpulan

Makna frase “Fi Sabilillah (di jalan Allah)” dalam ayat zakat di atas (QS. At-Taubah: 60) adalah khusus orang-orang yang berjihad atau menjaga medan peperangan sesuai dengan Tafsir bil Quran, Tafsir bis Sunnah dan Kemutlakan dalam Bahasa Arab.

Pendapat yang memperluas makna  frase “Fi Sabilillah (di jalan Allah)” dalam ayat zakat akan merusak konteks dan hikmah turunnya QS. At-Taubah: 60 serta penjelasan dari As-Sunnah.

Penulis mengingatkan sekali lagi untuk diri penulis sendiri dan para pembaca sekalian untuk bersikap menerima pembagian zakat sesuai pembagian yang dilakukan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak meniru sikap orang-orang munafik yang tidak terima dengan system pembagian zakat ini.

Allah U berfirman:

وَلَوْ أَنَّهُمْ رَضُوا مَا آتَاهُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ سَيُؤْتِينَا اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَرَسُولُهُ إِنَّا إِلَى اللَّهِ رَاغِبُونَ () إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

“Jikalau mereka (kaum munafiqin) sungguh-sungguh ridha dengan apa yang dibagikan oleh Allah dan RasulNya kepada mereka, dan berkata: “Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan sebagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah,” (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka). Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah: 59-60).

Dan hendaknya mereka juga menerima pembagian zakat dari Rasulullah e yang bersabda:

لَا تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إِلَّا لِخَمْسَةٍ لِعَامِلٍ عَلَيْهَا أَوْ لِغَازٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ لِغَنِيٍّ اشْتَرَاهَا بِمَالِهِ أَوْ فَقِيرٍ تُصُدِّقَ عَلَيْهِ فَأَهْدَاهَا لِغَنِيٍّ أَوْ غَارِمٍ

“Tidaklah halal harta zakat bagi orang kaya kecuali untuk 5 golongan: untuk amil (pengurus zakat), atau orang yang berperang di jalan Allah, atau orang kaya yang membeli harta shadaqah dengan uangnya, atau seorang faqir yang mendapatkan shadaqah kemudian ia hadiahkan kepada orang kaya, atau orang yang memiliki hutang.” (Takhrij sudah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya).

Semoga tulisan ini bermanfaat. Wallahu a’lam. Amien.

  1. Munandar Iskandar
    November 20, 2011 pukul 5:03 pm

    AssWrWb.Dlm pejelasan diatas ntuk menjawab Zakat Mal untuk pembangunan maupun peralatan yg diperlukan belum terjawab dan sifatnya masih mengambang.Mohon rincian dan ketegasan BOLEH atau TIDAK.Trm kasih. Wass.

  2. September 10, 2012 pukul 10:34 am

    Kalau menurut saya sesuai surat At-Taubah-60, sebaiknya jangan di arahkan ke Masjid..

  3. Yuk
    Juni 4, 2013 pukul 10:43 am

    Kalau cuma cuplik sana cuplik sini artikel ini bagus…..tapi sayang gak paham dengan pertanyaan?

  4. Indra Gunawan
    Juni 3, 2018 pukul 1:35 pm

    ARtikel ini sudah cukup bagus dan GAMBLANG. Terim akasih admin, barokallaahu fiikum. Untuk yang belum puas; pada Paragraph – paragraf pertengahan sudah dituliskan :

    Mereka berpendapat bahwa frase “Fi Sabilillah (di jalan Allah)” dalam ayat zakat di atas (QS. At-Taubah: 60) dipahami dengan semua jalan kebaikan. Sehingga harta zakat mal dapat digunakan untuk membangun masjid, madrasah, rumah sakit dan sebagainya.
    —>>Ini adalah pendapat kalangan kontemporer dan pendapat yang paling jauh dari kebenaran di antara ketiga pendapat yang ada.<<—

  1. No trackbacks yet.

Tinggalkan komentar