Beranda > Manhaj > HIKMAH DALAM DAKWAH

HIKMAH DALAM DAKWAH


HIKMAH DALAM DAKWAH

Oleh: dr. M Faiq Sulaifi

Dakwah Salafiyyah adalah Dakwah Al-Islam itu sendiri. Ia memiliki banyak keutamaan dan keindahan. Namun keindahan dan keutamaannya akan tercoreng jika para juru dakwahnya tidak memiliki hikmah dalam mendakwahkannya.

Ada seseorang yang dicitrakan negatif oleh masyarakatnya karena akhlaknya yang buruk kemudian memaksakan dirinya untuk berdakwah sehingga mereka mengesankan dakwah salafiyyah dengan kesan buruk, seburuk akhlaknya.

Ada orang yang belum memahami prioritas dakwah tetapi memaksakan diri untuk berdakwah. Ketika di tengah-tengah masyarakat yang awam ia mendakwahkan untuk meninggalkan upacara bendera, alat musik dan memerintahkan mereka untuk memakai cadar dan lain-lainnya. Sehingga ia mendapatkan kesan jelek dari masyarakatnya yang masih awam tentang masalah tauhid dan As-Sunnah.

Kedua contoh di atas adalah sedikit contoh dakwah dengan tanpa hikmah.

Allah Azza wa Jalla memerintahkan kita untuk memulai dakwah dengan cara hikmah. Allah berfirman:

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. An-Nahl: 125).

Dan seorang dai akan mendapatkan kebaikan yang banyak ketika ia diberikan hikmah oleh Allah Azza wa Jalla. Allah berfirman:

وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا

“Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak.” (QS. Al-Baqarah: 269).

Berikut ini adalah beberapa pengertian dakwah bil-hikmah menurut ulama As-Salaf.

  • Hikmah adalah Citra Positif dan Akhlak Mulia pada Sang Da’i

Maksudnya adalah bahwa seorang da’i haruslah membuktikan dalam amal perbuatan atau akhlaknya sebelum ia memerintah atau melarang orang lain. Al-Imam Mujahid rahimahullah berkata:

هي الإصابة في القول والفعل

“Al-Hikmah adalah ketepatan dalam ucapan dan perbuatan.” (Tafsir Al-Qurthubi: 3/330).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

وَأَمَّا الْحِكْمَةُ فِي الْقُرْآنِ : فَهِيَ مَعْرِفَةُ الْحَقِّ وَقَوْلُهُ وَالْعَمَلُ بِهِ

“Adapun pengertian ‘Al-Hikmah’ di dalam Al-Quran maka maksudnya adalah mengetahui Al-Haqq, berpendapat dengannya serta mengamalkannya.” (Majmu’ul Fatawa: 2/45).

Sehingga ketika seorang da’i ingin mendakwahi masyarakatnya maka hendaknya ia terlebih dahulu mengamalkan Al-Haqq tersebut serta berakhlak dengannya sehingga masyarakatnya mengenalnya sebagai orang yang bercitra positif. Seorang PNS yang bercitra negatif seperti sering membolos, tidak disiplin, sering absen rapat dll tidak dianjurkan mendakwahi rekan-rekan kerjanya sebelum memperbaiki citranya. Begitu pula seorang mantan ‘bromocorah’ yang bertaubat dan mengenal manhaj As-Salaf, tidak dianjurkan mendakwahi masyarakatnya sampai masyarakatnya mengenalnya sebagai orang berakhlak mulia dan bercitra positif. Jika kedua orang ini tetap ngotot berdakwah maka masyarakat akan menolak dakwah mereka dan akan mencitrakan Al-Islam dengan citra negatif.

Begitu pula para nabi alahimussalam, mereka sebelum berdakwah sudah dikenal oleh kaum mereka dengan kebaikan dan kemuliaan akhlak. Di antara mereka adalah Nabi Shaleh alaihissalam.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

قَالُوا يَا صَالِحُ قَدْ كُنْتَ فِينَا مَرْجُوًّا قَبْلَ هَذَا

“Kaum Tsamud berkata: “Hai Shaleh, sesungguhnya kamu sebelum ini adalah seorang di antara kami yang kami harapkan.” (QS. Hud: 62).

Al-Allamah Al-Qurthubi rahimahullah berkata:

أي كنا نرجو أن تكون فينا سيدا قبل هذا؛ أي قبل دعوتك النبوة.

“Maksudnya adalah bahwa kami (kaum Tsamud) telah berharap agar kamu (Shaleh) menjadi pemimpin kami sebelum ini; sebelum pengakuanmu sebagai nabi.” (Tafsir Al-Qurthubi: 9/59).

Allamah As-Sa’di rahimahullah berkata:

وهذا شهادة منهم، لنبيهم صالح، أنه ما زال معروفا بمكارم الأخلاق ومحاسن الشيم، وأنه من خيار قومه.

“Ini adalah persaksian dari mereka (kaum Tsamud) atas nabi mereka, yaitu Shaleh bahwa beliau selalu dikenal dengan kemuliaan akhlak dan kebaikan sifat. Dan bahwa beliau termasuk orang yang terbaik di kaumnya.” (Taisir Karimir Rahman: 384).

Begitu pula nabi-nabi lainnya alahimussalam, mereka adalah orang-orang yang berakhlak mulia dan memiliki citra positif di kalangan kaum mereka. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَزَكَرِيَّا وَيَحْيَى وَعِيسَى وَإِلْيَاسَ كُلٌّ مِنَ الصَّالِحِينَ

“Dan Zakaria, Yahya, Isa dan Ilyas. Semuanya termasuk orang-orang yang shaleh.” (QS. Al-An’am: 85).

Al-Allamah As-Sa’di rahimahullah berkata:

{مِنَ الصَّالِحِينَ} في أخلاقهم وأعمالهم وعلومهم، بل هم سادة الصالحين وقادتهم وأئمتهم.

“Mereka (para nabi) adalah termasuk orang-orang yang shaleh dalam akhlak, perbuatan dan ilmu mereka. Bahkan mereka adalah pemimpin dan penghulu orang-orang yang shaleh.” (Taisir Karimir Rahman: 263).

Dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pun menganjurkan umat beliau untuk ber-akhlak dengan akhlak para nabi alaihimus salam. Beliau bersabda:

السَّمْتُ الْحَسَنُ وَالتُّؤَدَةُ وَالِاقْتِصَادُ جُزْءٌ مِنْ أَرْبَعَةٍ وَعِشْرِينَ جُزْءًا مِنْ النُّبُوَّةِ

“Kelakuan yang bagus, tidak tergesa-gesa dan sikap tengah-tengah (tidak ifrath dan tafrith) adalah 1 bagian dari dari 24 bagian kenabian.” (HR. At-Tirmidzi: 1933 dan di-hasan-kan olehnya dari Abdullah bin Sarjis radliyallahu anhu dan di-shahih-kan oleh Al-Allamah Al-Albani dalam Shahihul Jami’: 3010).

Al-Allamah Abdur Rauf Al-Munawi rahimahullah berkata:

أي هذه الخصال من شمائل أهل النبوة وجزء من أجزاء فضائلهم فاقتدوا بهم فيها وتابعوهم عليها

“Maksudnya adalah perkara-perkara ini adalah termasuk kepribadian para nabi dan 1 bagian dari beberapa bagian keutamaan mereka maka teladanilah mereka dalam hal ini dan ikutilah mereka!” (Faidlul Qadir: 4/191).

 

Dan tidak ada seorang nabi pun didustakan dan dimusuhi oleh kaum mereka hanya semata-mata karena keburukan akhlak dan citra negatif mereka. Mereka dimusuhi karena keimanan dan dakwah mereka. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَمَا نَقَمُوا مِنْهُمْ إِلَّا أَنْ يُؤْمِنُوا بِاللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ

“Dan mereka (orang-orang kafir) tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.” (QS. Al-Buruj: 8).

  • Hikmah adalah Menempatkan Sesuatu pada Tempatnya

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata:

وأصح ما قيل في الحكمة انها وضع الشيء في محله

“Makna yang paling benar dari Al-Hikmah adalah bahwa Al-Hikmah adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya.” (Fathul Bari: 7/205).

Termasuk dalam makna ini adalah bahwa seorang da’i harus memperhatikan berikut ini:

Pertama: Prioritas dakwah

Hendaknya yang menjadikan prioritas pertama para da’i adalah berdakwah kepada tauhid dan aqidah yang benar. Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengutus Mu’adz bin Jabal radliyallahu anhu ke Yaman, beliau berpesan:

إِنَّكَ تَقْدَمُ عَلَى قَوْمٍ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَى أَنْ يُوَحِّدُوا اللَّهَ تَعَالَى

“Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari Ahlul Kitab. Maka jadikanlah awal dakwahmu adalah mengajak mereka untuk men-tauhid-kan Allah!…” (HR. Al-Bukhari: 6824, Muslim: 28 dari Abdullah bin Abbas radliyallahu anhuma).

Demikian pula prioritas dakwah para rasul alahimussalam. Mereka juga mengutamakan dakwah tauhid. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”.” (QS. Al-Anbiya’: 25).

Demikian pula dakwah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata:

أَخَذَ عَلَى هَذَا عَشْرَ سِنِينَ يَدْعُو إِلَى التَّوْحِيدِ، وَبَعْدَ الْعَشْرِ عُرِجَ بِهِ إِلَى السَّمَاءِ، وَفُرِضَتْ عَلَيْهِ الصَّلَواتُ الْخَمْسُ، وَصَلَّى فِي مَكَّةَ ثَلاثَ سِنِينَ، وَبَعْدَهَا أُمِرَ بالْهِجْرَةِ إِلَى الْمَدِينَةِ،

“(Rasulullah shallallahu alaihi wasallam) melakukan dakwah kepada tauhid selama 10 tahun (di Makkah). Setelah 10 tahun, beliau diangkat ke langit dan diwajibkan shalat 5 waktu atas beliau. Setelah itu beliau diperintahkan hijrah ke Madinah.” (Al-Utsuluts Tsalatsah: 11).

Al-Allamah Ahmad bin Yahya An-Najmi rahimahullah menjelaskan:

أي : اخذ على الدعوة إلى التوحيد عشر سنين ، لم يأمر أحدا بصلاة ، ولا صوم ، ولا زكاة ، ولا شيء إذًا أن هذه الأشياء إنما فرضت بعد الهجرة ، إلا الصلاة فإنها فرضت قبل الهجرة بثلاث سنوات .

“Maksudnya bahwa beliau berdakwah kepada tauhid selama 10 tahun. Beliau tidak memerintahkan seorang pun untuk shalat, puasa, zakat dan tidak pula perintah yang lainnya. Karena ini semua hanyalah diwajibkan setelah hijrah, kecuali shalat yang diwajibkan 3 tahun sebelum hijrah.” (At-Ta’liqat ala Al-Utsuluts Tsalatsah: 45).

Demikian pula perintah lainnya seperti hijab, memelihara jenggot serta larangan-larangan seperti larangan riba, khamer dan sebagainya. Perintah dan larangan tersebut disyariatkan setelah hijrah setelah kuatnya fondasi tauhid dan aqidah.

Jika kaum muslimin generasi pertama saja menerima perintah dan larangan syariat ini secara bertahap setelah kokohnya aqidah mereka, maka apalagi masyarakat sekarang, maka lebih pantas untuk didakwahi secara bertahap.

Sehingga kita tidak pantas mengingkari seorang muslim yang baru mengenal manhaj As-Salaf –apalagi orang awam- karena mencukur jenggot, memanjangkan celana melebihi mata kaki, mengikuti upacara bendera, bermain musik dan lain-lain. Karena cara ini tidak sesuai dengan dakwah bil-Hikmah.

Kedua: Tingkat pemahaman orang yang didakwahi

Seorang da’i hendaknya mempertimbangkan tingkat pemahaman masyarakatnya. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radliyallahu anhu berkata:

حَدِّثُوا النَّاسَ بِمَا يَعْرِفُونَ أَتُحِبُّونَ أَنْ يُكَذَّبَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ

“Ajarkan hadits kepada manusia sesuai dengan tingkat pemahaman mereka! Senangkah kalian jika Allah dan rasul-Nya didustakan?” (HR. Al-Bukhari: 124).

Abdullah bin Mas’ud radliyallahu anhu berkata:

مَا أَنْتَ بِمُحَدِّثٍ قَوْمًا حَدِيثًا لَا تَبْلُغُهُ عُقُولُهُمْ إِلَّا كَانَ لِبَعْضِهِمْ فِتْنَةً

“Kamu tidaklah menyampaikan hadits kepada suatu kaum dengan suatu hadits yang mana akal mereka belum menjangkaunya kecuali itu akan menjadi fitnah untuk sebagian mereka.” (HR. Muslim: 1/21).

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata:

وضابط ذلك أن يكون ظاهر الحديث يقوي البدعة وظاهره في الأصل غير مراد فالامساك عنه عند من يخشى عليه الأخذ بظاهره مطلوب

“Batasannya adalah jika zhahir hadits yang akan disampaikan itu akan memperkuat bid’ah (atau kesesatan, pen) sedangkan maksud sebenarnya adalah tidak demikian, maka sangat dianjurkan untuk tidak menyampaikan hadits kepada orang yang ditakutkan (baca: dicurigai) akan membawa hadits tersebut ke arah kesesatan.” (Fathul Bari: 1/45).

Sebagai contoh, kita tidak dianjurkan menyampaikan hadits tentang dosanya penguasa yang zhalim kepada para khawarij dan demonstran karena hadits itu akan digunakan oleh mereka untuk melegalkan aksi anarkis terhadap pemerintah.

Ketiga: Keadaan negara dan masyarakat dari kegiatan dakwah

Termasuk hikmah dalam dakwah jika seorang da’i memperhatikan kebiasaan dan seluk beluk yang terjadi di daerah dakwah. Anas bin Malik radliyallahu anhu berkata:

لَمَّا أَرَادَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَكْتُبَ إِلَى الرُّومِ قِيلَ لَهُ إِنَّهُمْ لَنْ يَقْرَءُوا كِتَابَكَ إِذَا لَمْ يَكُنْ مَخْتُومًا فَاتَّخَذَ خَاتَمًا مِنْ فِضَّةٍ وَنَقْشُهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ فَكَأَنَّمَا أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِهِ فِي يَدِهِ

“Ketika Nabi shallallahu alaihi wasallam ingin menulis surat ke Romawi (untuk mendakwahi pembesarnya, pen), maka dikatakan kepada beliau bahwa orang-orang Romawi tidak akan membaca surat beliau jika belum dibubuhi stempel (cap). Maka beliau menjadikan stempel (cincin) dari perak yang berukiran “Muhammad Rasul Allah”. Seolah-olah aku melihat pada putihnya cincin itu pada tangan beliau.” (HR. Al-Bukhari: 5426, Muslim: 3902, An-Nasa’i: 5106).

Sebenarnya memberi stempel dan tidak memberi stempel merupakan urusan mubah. Tetapi karena masyarakat Romawi menganggap stempel sebagai urusan penting, maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam membubuhkan stempel pada surat dakwah beliau.

Demikian pula membangun yayasan dan tidak membangun yayasan merupakan urusan mubah. Tetapi karena pemerintah Indonesia mengharuskan adanya yayasan bagi siapapun yang melakukan aktivitas dakwah di negeri ini, maka kita harus mengikuti aturan tersebut.

Al-Allamah Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata:

فالتنظيم أمر جاء به الشرع ولكنه مطلق، ومعنى: كلمة مطلق، أنه يخضع لما تقتضيه المصلحة في كل زمان ومكان، قد يكون تنظيمنا هنا في البلد مناسباً وصالحاً، ولكنه في بلد آخر لا يكون مناسباً ولا صالحاً، ولهم أنظمة خاصة بهم، فكل يراعي ما تحصل به المصلحة، وليس ذلك شيئاً محدثاً أو محرماً في الشرع، فإنه من الأمور التي جاءت السنة بمثله.

“Pengorganisasian (dalam dakwah) adalah perkara yang dibawa oleh syariat, tetapi bersifat mutlak. Makna “mutlak” adalah bahwa perkara tersebut harus disesuaikan dengan kemaslahatan di setiap masa dan tempat. Kadang-kadang pengorganisasian kita di negeri ini adalah sesuai dan cocok. Tetapi di negeri lain tidak sesuai dan tidak cocok, dan mereka memiliki undang-undang sendiri yang khusus (seperti UU tentang yayasan, pen). Masing-masing harus menjaga maslahat di negerinya. Maka ini bukanlah perkara bid’ah atau diharamkan dalam syara’, karena As-Sunnah telah datang dengannya.” (Liqa’ul Babil Maftuh: pertemuan ke-51 halaman 19).

Termasuk dalam bab ini adalah memperhatikan masalah pakaian dan makanan. Maka  hendaknya si da’i tidak mencolok dan tampil beda di kalangan masyarakat negeri itu. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

وَالدَّلِيلُ عَلَى ذَلِكَ أَنَّ الصَّحَابَةَ لَمَّا فَتَحُوا الْأَمْصَارَ كَانَ كُلٌّ مِنْهُمْ يَأْكُلُ مِنْ قُوتِ بَلَدِهِ، وَيَلْبَسُ مِنْ لِبَاسِ بَلَدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَقْصِدَ أَقْوَاتَ الْمَدِينَةِ وَلِبَاسَهَا،

“Dalil atas demikian adalah bahwa ketika para sahabat radliyallahu anhum menaklukkan berbagai negeri, maka masing-masing mereka memakan dengan makanan pokok negeri itu dan memakai pakaian negeri itu tanpa ada keinginan (dari mereka) untuk mendatangkan pakaian dan makanan pokok Madinah.” (Majmu’ul Fatawa: 2/157).

Suatu ketika Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah melihat seseorang menggunakan baju bergaris hitam dan putih. Maka beliau berkata kepada orang itu:

ضَعْ عَنْك هَذَا وَالْبَسْ لِبَاسَ أَهْلِ بَلَدِك. وَقَالَ لَيْسَ هُوَ بِحَرَامٍ وَلَوْ كُنْت بِمَكَّةَ أَوْ بِالْمَدِينَةِ لَمْ أَعِبْ عَلَيْك

“Lepaskan pakaianmu itu dan pakailah pakaian penduduk negerimu! Beliau juga berkata kepadanya: “Baju itu tidaklah haram, seandainya kamu di Makkah atau Madinah aku tidak akan mencelamu.” (Al-Adabusy Syar’iyyah: 232).

Dari sini Al-Allamah Ibnu Aqil Al-Hanbali rahimahullah berkata:

لَا يَنْبَغِي الْخُرُوجُ مِنْ عَادَاتِ النَّاس مُرَاعَاةً لَهُمْ وَتَأْلِيفًا لِقُلُوبِهِمْ ،  إلَّا فِي الْحَرَامِ إذَا  جَرَتْ عَادَتُهُمْ بِفِعْلِهِ

“Tidak dianjurkan keluar dari kebiasaan suatu masyarakat dalam rangka menjaga perasaan dan menyatukan hati mereka kecuali dalam perkara haram yang sudah dibiasakan dalam masyarakat tersebut.” (Mathalib Ulin Nuha: 2/367).

Keempat: Tidak menyinggung atau mencela tokoh yang diagungkan oleh masyarakat yang didakwahi.

Termasuk hikmah dalam dakwah adalah tidak menyinggung dan mencela tokoh yang diagungkan oleh masyarakat yang didakwahi. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَلاَ تَسُبُّواْ الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّواْ اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ

“Dan janganlah kalian mencaci maki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan mencaci maki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS. Al-An’am: 108).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

حَرَّمَ سَبَّ الْآلِهَةِ مَعَ أَنَّهُ عِبَادَةٌ لِكَوْنِهِ ذَرِيعَةً إلَى سَبِّهِمْ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى؛ لِأَنَّ مَصْلَحَةَ تَرْكِهِمْ سَبَّ اللَّهِ سُبْحَانَهُ رَاجِحَةٌ عَلَى مَصْلَحَةِ سَبِّنَا لِآلِهَتِهِمْ.

“Allah mengharamkan mencaci maki sesembahan kaum musyrikin padahal mencela sesembahan mereka adalah suatu ibadah. Ini karena mencela sesembahan mereka menjadi sebab mereka mencaci maki Allah Azza wa Jalla, karena kemaslahatan mereka tidak mencaci maki Allah itu lebih kuat daripada kemaslahatan kita mencaci maki sesembahan mereka.” (6/174).

Dan diceritakan oleh Asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alusy Syaikh bahwa Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah pernah mendatangi kubah Zaid bin Al-Khaththab yang dikeramatkan oleh kaum kuburiyyun. Beliau tidaklah menyatakan: “Ini adalah syirik.” Tetapi beliau berkata: “Allah itu lebih baik daripada Zaid (bin Al-Khaththab).” (Syarh Kasyfusy Syubhat: 457).

Demikian pula mencela dan meng-ghibah para ahlul bid’ah, dan tokoh kesesatan lainnya merupakan ibadah, karena di dalamnya terdapat nasehat untuk menjauhi kesesatan dan para tokohnya. Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah pernah ditanya:

الرجل يصوم ويعتكف أحب إليك ، أو يتكلم في أهل البدع ؟ فقال : إذا قام وصلى واعتكف فإنما هو لنفسه ، وإذا تكلم في أهل البدع فإنما هو للمسلمين هذا أفضل

“Mana yang lebih kamu cintai, seseorang berpuasa dan melakukan i’tikaf ataukah  membicarakan kesesatan ahlul bid’ah?” Beliau menjawab: “Jika ia melakukan shalat, puasa dan i’tikaf maka itu hanya bermanfaat untuk dirinya. Dan jika ia membicarakan kejelekan dan kesesatan ahlul bid’ah, maka itu bermanfaat bagi kaum muslimin. Dan ini lebih utama.” (Majmu’ul Fatawa: 28/231).

Akan tetapi ketika ahlul bid’ah atau tokoh kesesatan tersebut merupakan tokoh yang diagungkan dan diidolakan oleh masyarakat yang kita dakwahi, maka mencela tokoh tersebut di depan mereka bukanlah termasuk dakwah bil hikmah. Karena ini akan memunculkan kerusakan yang lebih besar, yaitu larinya mereka dari dakwah As-Salaf dan mereka akan membalas dengan mencaci maki ulama ahlussunnah.

Aisyah Ummul Mukminin radliyallahu anha berkata:

أَنَّهُ اسْتَأْذَنَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ فَقَالَ ائْذَنُوا لَهُ فَبِئْسَ ابْنُ الْعَشِيرَةِ أَوْ بِئْسَ أَخُو الْعَشِيرَةِ فَلَمَّا دَخَلَ أَلَانَ لَهُ الْكَلَامَ فَقُلْتُ لَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قُلْتَ مَا قُلْتَ ثُمَّ أَلَنْتَ لَهُ فِي الْقَوْلِ فَقَالَ أَيْ عَائِشَةُ إِنَّ شَرَّ النَّاسِ مَنْزِلَةً عِنْدَ اللَّهِ مَنْ تَرَكَهُ أَوْ وَدَعَهُ النَّاسُ اتِّقَاءَ فُحْشِهِ

“Ada seseorang meminta ijin untuk bertemu dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Beliau berkata: “Ijinkanlah dia masuk! Ia adalah sejelek-jelek sanak saudara.” Ketika orang itu masuk maka beliau melembutkan ucapan kepadanya. Ketika orang itu sudah pergi maka aku bertanya kepada beliau: “Wahai Rasulullah! Engkau berkata demikian (menjelek-jelekkan orang itu, pen) kemudian engkau melembutkan ucapan kepadanya?” Maka beliau menjawab: “Wahai Aisyah! Sesungguhnya sejelek-jelek kedudukan manusia di sisi Allah adalah seseorang yang dijauhi oleh manusia karena takut akan kejahatannya.” (HR. Al-Bukhari: 5666, Muslim: 4693, At-Tirmidzi: 1919).

Al-Allamah Al-Mubarakfuri rahimahullah mengutip ucapan Al-Qurthubi rahimahullah:

فيه جواز غيبة المعلن بالفسق أو الفحش ونحو ذلك مع جواز مداراتهم اتقاء شرهم ما لم يؤد ذلك إلى المداهنة

“Dalam hadits ini terdapat pelajaran tentang bolehnya meng-ghibah orang yang melakukan kefasikan secara terang-terangan dan sebagainya, dan bolehnya bersikap lemah lembut di depan orang itu untuk menolak bahayanya selagi tidak sampai kepada perbuatan basa-basi.” (Tuhfatul Ahwadzi: 6/113).

Ketika mendakwahi Abu Jahal, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memanggilnya dengan nama aslinya yaitu Abul Hakam. Al-Mughirah bin Syu’bah radliyallahu anhu berkata:

إنَّ أَوَّلَ يَوْمٍ عَرَفْتُ فِيهِ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَنِّي أَمْشِي مَعَ أَبِي جَهْلٍ بِمَكَّةَ ، فَلَقِينَا رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم ، فَقَالَ لَهُ : يَا أَبَا الْحَكَمِ ، هَلُمَّ إِلَى اللهِ وَإِلَى رَسُولِهِ وَإِلَى كِتَابِهِ أَدْعُوك إِلَى اللهِ ،

“Sesungguhnya awal hari aku mengenal Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah ketika aku berjalan bersama Abu Jahal di Makkah. Kemudian kami bertemu dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Beliau berkata kepada Abu Jahal: “Wahai Abul Hakam! Marilah kepada Allah, rasul-Nya dan kibab-Nya! Aku mengajakmu kepada Allah,” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya: 36979 (14/91) dan lihat pula Shahih As-Sirah An-Nabawiyah karya Al-Albani hal: 162).

Abul Hakam itu ditokohkan oleh masyarakat kafir Makkah. Mereka menamainya Abul Hakam (bapak kebijaksanaan). Tetapi karena menolak dakwah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, maka kaum muslimin menjulukinya dengan Abu Jahal (bapak kebodohan). Dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tetap memanggilnya Abul Hakam di depan orang kafir Makkah.

Kelima: Kondisi jiwa dan fisik orang yang didakwahi

Termasuk dakwah bil hikmah jika seorang da’i memperhatikan kondisi jiwa dan fisik kaum yang ia dakwahi. Malik bin Huwairits radliyallahu anhu berkata:

أَتَيْنَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ شَبَبَةٌ مُتَقَارِبُونَ فَأَقَمْنَا عِنْدَهُ عِشْرِينَ لَيْلَةً فَظَنَّ أَنَّا اشْتَقْنَا أَهْلَنَا وَسَأَلَنَا عَمَّنْ تَرَكْنَا فِي أَهْلِنَا فَأَخْبَرْنَاهُ وَكَانَ رَفِيقًا رَحِيمًا فَقَالَ ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ فَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي وَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ ثُمَّ لِيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ

“Kami mendatangi Nabi shallahu alaihi wasallam. Kami masih berusia pemuda yang sebaya. Kemudian kami bermukim di sisi beliau selama 20 malam. Maka beliau mengira bahwa kami sudah rindu terhadap keluarga kami dan beliau menanyakan keadaan mereka yang kami tinggalkan. Maka kami menceritakan keadaan mereka kepada beliau dan adalah beliau seorang yang lembut dan penyayang. Kemudian beliau berkata: “Pulanglah kalian ke keluarga kalian! Perintahkan dan ajarilah mereka! Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku melakukan shalat! Dan jika waktu shalat telah tiba maka hendaknya salah seorang kalian melakukan azan kemudian yang paling tua hendaknya menjadi imam untuk kalian!” (HR. Al-Bukhari: 5549, Muslim: 1080, An-Nasa’i: 631).

Al-Imam Abdullah bin Mas’ud radliyallahu anhu berkata:

إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَتَخَوَّلُنَا بِالْمَوْعِظَةِ فِي الْأَيَّامِ مَخَافَةَ السَّآمَةِ عَلَيْنَا

“Adalah Rasulullah shallahu alaihi wasallam men-jarang-kan pemberian nasehat karena takut menjadikan kami bosan.” (HR. Al-Bukhari: 5932, Muslim: 5048).

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata:

وفيه رفق النبي صلى الله عليه و سلم بأصحابه وحسن التوصل إلى تعليمهم وتفهيمهم ليأخذوا عنه بنشاط لا عن ضجر ولا ملل

“Dalam hadits ini terdapat pelajaran tentang sifat lemah lembut Nabi shallahu alaihi wasallam kepada para sahabat beliau serta bagusnya pencapaian beliau dalam mengajari dan memahamkan mereka agar mereka dapat mengambil ilmu dari beliau dengan rasa semangat bukan dengan rasa gelisah dan bosan.” (Fathul Bari: 11/228).

Keenam: Antara orang awam dan orang yang sudah berilmu

Seorang da’i hendaknya melihat apakah orang yang didakwahinya itu adalah orang awam ataukah seorang yang sudah berilmu. Orang awam harus didakwahi dengan lemah lembut. Anas bin Malik radliyallahu anhu berkata:

جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي طَائِفَةِ الْمَسْجِدِ فَزَجَرَهُ النَّاسُ فَنَهَاهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا قَضَى بَوْلَهُ أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَنُوبٍ مِنْ مَاءٍ فَأُهْرِيقَ عَلَيْهِ

“Seorang Arab baduwi datang dan kencing di pojok masjid. Maka orang-orang pun menghardiknya dan Rasulullah shallahu alaihi wasallam melarang mereka (dari menghardiknya, pen). Setelah ia menyelesaikan kencingnya, Rasulullah shallahu alaihi wasallam memerintahkan mereka untuk menyirami tempat tersebut dengan setimba besar air.” (HR. Al-Bukhari: 214, Muslim: 429).

Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Sulami radliyallahu anhu berkata:

بَيْنَا أَنَا أُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ عَطَسَ رَجُلٌ مِنْ الْقَوْمِ فَقُلْتُ يَرْحَمُكَ اللَّهُ فَرَمَانِي الْقَوْمُ بِأَبْصَارِهِمْ فَقُلْتُ وَا ثُكْلَ أُمِّيَاهْ مَا شَأْنُكُمْ تَنْظُرُونَ إِلَيَّ فَجَعَلُوا يَضْرِبُونَ بِأَيْدِيهِمْ عَلَى أَفْخَاذِهِمْ فَلَمَّا رَأَيْتُهُمْ يُصَمِّتُونَنِي لَكِنِّي سَكَتُّ فَلَمَّا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبِأَبِي هُوَ وَأُمِّي مَا رَأَيْتُ مُعَلِّمًا قَبْلَهُ وَلَا بَعْدَهُ أَحْسَنَ تَعْلِيمًا مِنْهُ فَوَاللَّهِ مَا كَهَرَنِي وَلَا ضَرَبَنِي وَلَا شَتَمَنِي قَالَ إِنَّ هَذِهِ الصَّلَاةَ لَا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ النَّاسِ إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ أَوْ كَمَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي حَدِيثُ عَهْدٍ بِجَاهِلِيَّةٍ وَقَدْ جَاءَ اللَّهُ بِالْإِسْلَامِ…الخ

“Suatu ketika aku melakukan shalat bersama Rasulullah shallahu alaihi wasallam. Tiba-tiba ada seseorang yang bersin. Maka aku berkata: “Semoga Allah merahmatimu.” Maka orang-orang memelototiku dengan pandangan mereka. Aku berkata: “Celaka ibuku, mengapa kalian memelototiku seperti ini?” Dan mereka mulai memukulkan tangan-tangan mereka pada paha-paha mereka. Ketika aku melihat mereka memerintahkan aku agar diam (dengan isyarat, pen) (dan aku pun murka, pen) tetapi aku diam (tidak berkata karena mereka lebih tahu dariku). Ketika Rasulullah shallahu alaihi wasallam selesai melakukan shalat, maka demi Allah! Bapak dan ibuku sebagai jaminannya, Aku tidaklah melihat sosok pengajar yang lebih bagus daripada beliau sebelum dan sesudah beliau. Demi Allah! Beliau tidak menghardikku, tidak memukulku dan tidak mencaci-maki kepadaku. Beliau berkata: “Sesungguhnya shalat ini tidak pantas diisi dengan pembicaraan manusia. Yang mengisinya hanyalah bacaan tasbih, takbir dan membaca Al-Quran.” Aku berkata: “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya kami ini masih dekat dengan masa jahiliyah dan Allah benar-benar datang dengan Al-Islam…dst.” (HR. Muslim: 836, An-Nasa’i: 1203).

Al-Allamah Ash-Shan’ani berkata:

ومنها: الرفق بالجاهل وعدم التعنيف،

“Termasuk dari faedah hadits ini bersikap lemah lembut dan tidak berlaku keras kepada orang bodoh (awam).” (Subulus Salam: 1/25).

Adapun kepada orang sudah berilmu maka Rasulullah shallahu alaihi wasallam kadang-kadang bersikap keras dan murka. Aisyah radliyallahu anha berkata:

دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي الْبَيْتِ قِرَامٌ فِيهِ صُوَرٌ فَتَلَوَّنَ وَجْهُهُ ثُمَّ تَنَاوَلَ السِّتْرَ فَهَتَكَهُ وَقَالَتْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِينَ يُصَوِّرُونَ هَذِهِ الصُّوَرَ

“Nabi shallahu alaihi wasallam memasuki rumah. Di rumah terdapat kain tabir tipis yang di dalamnya ada gambar makhluk bernyawa. Maka beliau berubah wajahnya (karena marah) kemudian mengambil tirai dan merobek-robeknya. Beliau bersabda: “Sesungguhnya termasuk orang yang paling keras siksanya pada hari kiamat adalah orang yang menggambar seperti ini.” (HR. Al-Bukhari: 5644, Muslim: 3936).

Abu Mas’ud Uqbah bim Amr Al-Anshari radliyallahu anhu berkata:

أَتَى رَجُلٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي لَأَتَأَخَّرُ عَنْ صَلَاةِ الْغَدَاةِ مِنْ أَجْلِ فُلَانٍ مِمَّا يُطِيلُ بِنَا قَالَ فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَطُّ أَشَدَّ غَضَبًا فِي مَوْعِظَةٍ مِنْهُ يَوْمَئِذٍ قَالَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ مِنْكُمْ مُنَفِّرِينَ فَأَيُّكُمْ مَا صَلَّى بِالنَّاسِ فَلْيَتَجَوَّزْ فَإِنَّ فِيهِمْ الْمَرِيضَ وَالْكَبِيرَ وَذَا الْحَاجَةِ

“Seseorang mendatangi Nabi shallahu alaihi wasallam dan berkata: “Sesungguhnya aku mengakhirkan shalat shubuh (tidak ikut berjamaah, pen) karena Si Fulan yang memanjangkan bacaannya (ketika mengimami) atas kami.” Abu Mas’ud berkata: “Maka aku belum pernah melihat Rasulullah shallahu alaihi wasallam dalam keadaan sangat murka dalam memberikan nasihat yang melebihi murka beliau pada hari itu.” Beliau bersabda: “Wahai manusia! Sesungguhnya di antara kalian ada yang suka membuat lari orang. Maka jika salah seorang  dari kalian mengimami shalat manusia, maka hendaknya dipercepat (jangan lama-lama, pen)! Karena di antara mereka ada orang sakit, orang tua dan orang yang mempunyai keperluan.” (HR. Al-Bukhari: 5645, Muslim: 713, Ibnu Majah: 974 dan Ad-Darimi: 1259).

Aisyah dan Si Fulan -sang imam- radliyallahu anhuma pantas mendapatkan murka dari Nabi shallahu alaihi wasallam karena keduanya adalah orang yang berilmu sehingga tidak pantas melakukan kesalahan tersebut.

Ketujuh: Antara pemerintah dan masyarakatnya

Seorang dai hendaknya bisa membedakan antara berdakwah kepada pemerintah dan kepada masyarakat biasa. Pemerintah memiliki hak yang tidak dimiliki oleh rakyat biasa, yaitu hak untuk didengar dan ditaati oleh rakyatnya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kalian.” (QS. An-Nisa’: 59).

Di antara hak pemerintah adalah ia berhak dinasehati dengan lemah lembut. Allah Azza wa Jalla berfirman:

فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى

“Maka berbicaralah kamu berdua (wahai Musa dan Harun) kepadanya (Firaun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS. Thaha: 44).

Di antara hak pemerintah adalah ia berhak dinasehati secara sembunyi-sembunyi. Rasulullah shallahu alaihi wasallam bersabda:

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ

“Barangsiapa yang ingin menasehati penguasa dengan suatu perkara maka janganlah ia tampakkan nasehatnya secara terang-terangan! Tetapi hendaknya ia mengambil tangannya dan bersendirian dengannya. Kalau penguasa tersebut menerima nasehatnya maka sudah sepantasnya dan kalau ia menolak maka si penasehat sudah menyampaikan tugasnya.” (HR. Ahmad: 14792, Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah: 909 (3/101) dari Iyadl bin Ghanm radliyallahu anhu dan di-shahih-kan oleh Al-Allamah Al-Albani dalam Zhilalul Jannah: 1096).

Maka orang mendakwahi pemerintahnya secara terang-terangan dan dengan kata-kata kasar seperti mampus, ganyang, sikat dsb berarti tidak berdakwah bil hikmah.

Kedelapan: menjinakkan (menta’lif) hati masyarakat jika mereka ingin yang ringan-ringan

Adakalanya seorang dai menempuh suatu cara untuk melunakkan hati masyarakat agar mudah menerima dakwah. Al-Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata:

وقد كان أحيانا يتآلف على الإسلام من يريد أن يسامح بترك بعض حقوق الإسلام ، فيقبل منهم الإسلام ، فإذا دخلوا فيه رغبوا في الإسلام فقاموا بحقوقه وواجباته كلها

“Dan kadang-kadang Rasulullah shallahu alaihi wasallam berusaha menta’lif (baca: melunakkan hati) orang yang ingin diberi keringanan untuk tidak melaksanakan sebagian kewajiban Al-Islam agar menerima Al-Islam dulu. Baru setelah ia menerimanya dan masuk ke dalamnya serta mencintai Al-Islam maka ia akan melaksanakan segala kewajiban dalam Al-Islam semuanya.” (Fathul Bari li Ibni Rajab: 3/32).

Dari Abdullah bin Fadlalah dari ayahnya radliyallahu anhuma, ia berkata:

عَلَّمَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ فِيمَا عَلَّمَنِي وَحَافِظْ عَلَى الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ قَالَ قُلْتُ إِنَّ هَذِهِ سَاعَاتٌ لِي فِيهَا أَشْغَالٌ فَمُرْنِي بِأَمْرٍ جَامِعٍ إِذَا أَنَا فَعَلْتُهُ أَجْزَأَ عَنِّي فَقَالَ حَافِظْ عَلَى الْعَصْرَيْنِ وَمَا كَانَتْ مِنْ لُغَتِنَا فَقُلْتُ وَمَا الْعَصْرَانِ فَقَالَ صَلَاةُ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَصَلَاةُ قَبْلَ غُرُوبِهَا

“Rasulullah shallahu alaihi wasallam telah mengajariku. Dan termasuk yang diajarkan oleh beliau adalah: “Jagalah shalat 5 waktu.” Fadlalah berkata: “Ini adalah waktu-waktu yang mana aku dalam kesibukan. Perintahkanlah aku dengan perkara yang ringkas dan menyeluruh, yang mana jika aku melakukannya maka itu sudah mencukupkanku (dari shalat 5 waktu)!” Beliau bersabda: “Jagalah 2 ashar –dan itu bukanlah dari bahasa kami-!” Aku bertanya: “Apakah 2 ashar itu?” Beliau menjawab: “Shalat sebelum terbitnya matahari (shubuh) dan shalat sebelum tenggelamnya (ashar).” (HR. Abu Dawud: 364 dan di-shahih-kan oleh Al-Allamah Al-Albani dalam  Shahih wa Dlaif Sunan Abi Dawud: 428).

Dalam sebuah riwayat Nashr bin Ashim:

أَنَّهُ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَسْلَمَ عَلَى أَنْ يُصَلِّيَ صَلَاتَيْنِ فَقَبِلَ مِنْهُ

“Ia akhirnya mendatangi Rasulullah shallahu alaihi wasallam dan masuk Islam dengan diberi beban shalat 2 waktu. Dan beliau menerima Islamnya.” (HR. Ahmad: 22001, dan Ibnu Abi Syaibah dalam Musnadnya: 997 (3/280)).

Al-Imam Ahmad berkata:

إذا أسلم على أن يصلي صلاتين يقبل منه، فإذا دخل يؤمر بالصلوات الخمس، وذكر حديث قتادة عن نصر بن عاصم الذي تقدم.

“Jika ia mau masuk Islam dengan syarat hanya melakukan shalat 2 waktu maka diterima Islamnya. Jika ia sudah masuk Islam maka ia diperintahkan melakukan shalat 5 waktu. Kemudian beliau membawakan hadits di atas…” (Fathul Bari li Ibni Rajab: 3/33).

Termasuk upaya ta’lif adalah kisah kaum Tsaqif. Mereka mau berbaiat masuk Islam dengan syarat tanpa kewajiban zakat dan jihad. Wahab bin Munabbih rahimahullah berkata:

سَأَلْتُ جَابِرًا عَنْ شَأْنِ ثَقِيفٍ إِذْ بَايَعَتْ قَالَ اشْتَرَطَتْ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا صَدَقَةَ عَلَيْهَا وَلَا جِهَادَ وَأَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ ذَلِكَ يَقُولُ سَيَتَصَدَّقُونَ وَيُجَاهِدُونَ إِذَا أَسْلَمُوا

“Aku bertanya kepada Jabir radliyallahu anhu tentang keadaan Tsaqif ketika berbaiat. Jabir berkata: “Mereka mempersyaratkan  kepada Nabi shallahu alaihi wasallam untuk masuk Al-Islam tanpa kewajiban zakat dan jihad.” Kemudian Jabir mendengar Nabi shallahu alaihi wasallam berkata setelahnya: “Mereka akan mau membayar zakat dan ikut berjihad jika telah masuk Islam.” (HR. Abu Dawud: 2630 dan Ahmad: 14146 dan di-shahih-kan oleh Al-Allamah Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah: 1888).

Termasuk upaya ta’lif adalah kisah Hakim bin Hizam radliyallahu anhu. Ia berkata:

بَايَعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا أَخِرَّ إِلَّا قَائِمًا

“Aku berbaiat  kepada Rasulullah shallahu alaihi wasallam (untuk masuk Islam) dengan syarat tidaklah bersujud kecuali dengan berdiri.” (HR. An-Nasa’i: 1074 dan Ahmad: 14773 dan di-shahih-kan oleh Al-Allamah Al-Albani dalam Shahih wa Dlaif Sunan An-Nasa’i: 1084).

Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata:

مَعْنَى حَدِيثِ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ: {بَايَعْت النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى أَنْ لَا أَخِرَّ إلَّا قَائِمًا}أَنَّهُ لَا يَرْكَعُ فِي الصَّلَاةِ ، بَلْ يَقْرَأُ ثُمَّ يَسْجُدُ مِنْ غَيْرِ رُكُوعٍ .

“Makna hadits Hakim bin Hizam di atas adalah bahwa ia tidak melakukan ruku’ dalam shalat, tetapi membaca Al-Quran kemudian bersujud tanpa melakukan ruku’.” (Al-Mughni: 21/282).

Al-Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata:

وأخذ الإمام أحمد بهذه الأحاديث وقال يصح الإسلام على الشرط الفاسد ثم يلزم بشرائع الإسلام كلها

“Al-Imam Ahmad menjadikan hadits-hadits ini sebagai sandaran dan berkata: “Al-Islam tetap sah di atas persyaratan yang rusak kemudian (setelah masuk Islam) ia diwajibkan melaksanakan segala syariat Islam.” (Jami’ul Ulum wal Hikam: 84).

Lalu bagaimanakah dengan orang yang mau menjadi seorang Salafi atau mengikuti kajian Ahlussunnah dengan syarat tetap diperbolehkan mencukur jenggot atau merokok? Maka lebih pantas untuk diterima dengan syarat diajari dengan manhaj yang benar setelah itu. Tetapi jika ia memilih manhaj As-Salaf dengan kemantapan hati dan semangat mencari Al-Haqq, maka tidak perlu dita’lif.

Kesembilan: Rela meninggalkan sesuatu yang lebih afdlal dalam rangka melunakkan hati masyarakat dan menjaga persatuan mereka.

Ini dilakukan dengan syarat bahwa perkara yang ia tinggalkan bukanlah perkara wajib tetapi anjuran biasa.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

وَلِذَلِكَ اسْتَحَبَّ الْأَئِمَّةُ أَحْمَدُ وَغَيْرُهُ أَنْ يَدَعَ الْإِمَامُ مَا هُوَ عِنْدَهُ أَفْضَلُ، إذَا كَانَ فِيهِ تَأْلِيفُ الْمَأْمُومِينَ، مِثْلَ أَنْ يَكُونَ عِنْدَهُ فَصْلُ الْوِتْرِ أَفْضَلَ، بِأَنْ يُسَلِّمَ فِي الشَّفْعِ، ثُمَّ يُصَلِّي رَكْعَةَ الْوِتْرِ، وَهُوَ يَؤُمُّ قَوْمًا لَا يَرَوْنَ إلَّا وَصْلَ الْوِتْرِ، فَإِذَا لَمْ يُمْكِنْهُ أَنْ يَتَقَدَّمَ إلَى الْأَفْضَلِ كَانَتْ الْمَصْلَحَةُ الْحَاصِلَةُ بِمُوَافَقَتِهِ لَهُمْ بِوَصْلِ الْوِتْرِ أَرْجَحَ مِنْ مَصْلَحَةِ فَصْلِهِ مَعَ كَرَاهَتِهِمْ لِلصَّلَاةِ خَلْفَهُ، وَكَذَلِكَ لَوْ كَانَ مِمَّنْ يَرَى الْمُخَافَتَةَ بِالْبَسْمَلَةِ أَفْضَلُ، أَوْ الْجَهْرُ بِهَا، وَكَانَ الْمَأْمُومُونَ عَلَى خِلَافِ رَأْيِهِ، فَفِعْلُ الْمَفْضُولِ عِنْدَهُ لِمَصْلَحَةِ الْمُوَافَقَةِ وَالتَّأْلِيفِ الَّتِي هِيَ رَاجِحَةٌ عَلَى مَصْلَحَةِ تِلْكَ الْفَضِيلَةِ كَانَ جَائِزًا حَسَنًا.

“Oleh karena itu para imam seperti Al-Imam Ahmad dan lainnya menganjurkan agar seorang imam tidak melakukan amalan yang itu lebih utama menurut dirinya (tetapi kurang utama menurut makmum), jika di dalamnya ada maslahat menyatukan hati makmum. Seperti jika menurutnya melakukan salam dalam 2 rakaat kemudian menambah 1 rakaat witir kemudian salam itu lebih utama, maka ia dapat menyambung witir 3 rakaat dengan sekali salam jika ia sedang meng-imami makmum yang tidak berpendapat kecuali menyambung witir dengan sekali salam. Kalau ia tidak mampu maju kepada hal yang lebih utama, maka mencocoki makmum dengan menyambung witir itu lebih utama daripada maslahat memisah witir tersebut dalam keadaan makmum tidak suka diimami oleh orang itu. Demikian pula jika sang imam berpendapat bahwa men-sirri-kan (memelankan) bacaan basmalah itu lebih utama, maka mengeraskan bacaan basmalah di depan makmum yang berpendapat lebih utamanya men-jahr-kan basmalah untuk maslahat mencocoki dan melunakkan hati makmum adalah diperbolehkan dan baik.” (Al-Fatawa Al-Kubra: 2/355).

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga menunda membangun Ka’bah sesuai dengan bangunan Nabi Ibrahim alaihissalam dan berkata kepada Aisyah radliyallahu anha:

لَوْلَا حَدَاثَةُ عَهْدِ قَوْمِكِ بِالْكُفْرِ لَنَقَضْتُ الْكَعْبَةَ وَلَجَعَلْتُهَا عَلَى أَسَاسِ إِبْرَاهِيمَ

“Seandainya kaummu tidak baru masuk Islam maka aku akan membongkar Ka’bah dan aku akan menjadikannya di atas fondasi Ibrahim.” (HR. Muslim: 2367, An-Nasa’i: 2852, Ad-Darimi: 1868 dari Aisyah  radliyallahu anha).

Itulah sekelumit penjabaran dari Al-Hikmah dalam dakwah. Kalau tidak takut menghabiskan waktu tentulah Penulis akan memperpanjang lagi Insya Allah.

Penutup

Ilmu yang dikuasai seorang dai tidak sebatas pada perkara yang ia dakwahkan, halal, wajib ataukah haram. Ia juga harus berilmu tentang dakwah itu sendiri agar Al-Islam semakin tampak indah di tengah masyarakat. Wallahu a’lam bish shawab.

  1. November 14, 2012 pukul 10:39 am

    Bismillah Artikel yang penuhmanfaat izin Share Ustadz Barakallohu Fiikum

  2. Mei 18, 2013 pukul 11:14 pm

    Aamiin

  3. September 20, 2013 pukul 4:13 pm

    sangat bermanfaat ustad.
    Seandainya ada ustad-ustad di lamongan seperti anda yg arif dan bijak maka islam akan maju.

  4. Imam Hanafi
    Agustus 18, 2014 pukul 1:34 pm

    Bismillah. Mohon ijin saya ambil artikelnya. Jazakalloh…..

  1. No trackbacks yet.

Tinggalkan komentar