Beranda > Al-Hadits > Puasa Rajab, Adakah?

Puasa Rajab, Adakah?


Puasa Rajab, Adakah?

Oleh: dr. M Faiq Sulaifi

عَنْ مُجِيبَةَ الْبَاهِلِيَّةِ عَنْ أَبِيهَا أَوْ عَمِّهَا أَنَّهُ أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ انْطَلَقَ فَأَتَاهُ بَعْدَ سَنَةٍ وَقَدْ تَغَيَّرَتْ حَالُهُ وَهَيْئَتُهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَمَا تَعْرِفُنِي قَالَ وَمَنْ أَنْتَ قَالَ أَنَا الْبَاهِلِيُّ الَّذِي جِئْتُكَ عَامَ الْأَوَّلِ قَالَ فَمَا غَيَّرَكَ وَقَدْ كُنْتَ حَسَنَ الْهَيْئَةِ قَالَ مَا أَكَلْتُ طَعَامًا إِلَّا بِلَيْلٍ مُنْذُ فَارَقْتُكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَ عَذَّبْتَ نَفْسَكَ ثُمَّ قَالَ صُمْ شَهْرَ الصَّبْرِ وَيَوْمًا مِنْ كُلِّ شَهْرٍ قَالَ زِدْنِي فَإِنَّ بِي قُوَّةً قَالَ صُمْ يَوْمَيْنِ قَالَ زِدْنِي قَالَ صُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ قَالَ زِدْنِي قَالَ صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ وَقَالَ بِأَصَابِعِهِ الثَّلَاثَةِ فَضَمَّهَا ثُمَّ أَرْسَلَهَا

Dari Mujibah Al-Bahiliyyah dari ayahnya atau pamannya bahwa ia pernah mendatangi Rasulullah r kemudian pergi lagi dan setelah setahun ia mendatangi beliau dengan keadaannya yang telah berubah dan berkata: “Wahai Rasulullah r apakah engkau masih mengenalku?” Beliau bertanya: “Siapakah kamu?” Ia menjawab: “Aku orang laki-laki Bahili yang pernah mendatangimu tahun lalu.” Beliau bertanya: “Lalu apa yang telah mengubahmu? Penampilanmu dulu kan sangat bagus?” Ia menjawab: “Tidaklah aku makan kecuali pada malam hari (sering berpuasa, pen) semenjak berpisah denganmu.” Maka Rasulullah r bersabda: “Mengapa kamu menyiksa dirimu?” Kemudian beliau bersabda: “Berpuasalah pada bulan sabar (yaitu Ramadlan, pen) dan sehari setiap bulan!” Ia berkata: “Tambahkanlah untukku karena aku kuat lebih dari itu!” Kemudian beliau bersabda: “Berpuasalah 2 hari setiap bulan!” Ia berkata: “Tambahkan lagi!” Beliau bersabda: “Berpuasalah 3 hari setiap bulan!” Ia berkata: “Tambahkan lagi!” Beliau berkata: “Berpuasalah dari bulan-bulan haram dan juga tinggalkan! Berpuasalah dari bulan-bulan haram dan juga tinggalkan! Berpuasalah dari bulan-bulan haram dan juga tinggalkan!” Ia berkata dengan jemarinya yang tiga kemudian mengumpulkan dan melepaskannya.” (HR. Abu Dawud: 2073, Ibnu Majah: 1731, Ahmad: 19435, 20323).

Sanad hadits

Sanad Abu Dawud adalah:

حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَعِيلَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ سَعِيدٍ الْجُرَيْرِيِّ عَنْ أَبِي السَّلِيلِ عَنْ مُجِيبَةَ الْبَاهِلِيَّةِ عَنْ أَبِيهَا أَوْ عَمِّهَا

“Telah menceritakan kepada kami Musa bin Ismail, telah menceritakan kepada kami Hammad dari Sa’id Al-Jurairi dari Abis Salil dari Mujibah Al-Bahiliyyah dari ayahnya atau pamannya.”

Sedangkan sanad Ibnu Majah adalah:

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ الْجُرَيْرِيِّ عَنْ أَبِي السَّلِيلِ عَنْ أَبِي مُجِيبَةَ الْبَاهِلِيِّ عَنْ أَبِيهِ أَوْ عَنْ عَمِّهِ

“Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah, telah menceritakan kepada kami Waki’ dari Sufyan dari Al-Jurairi dari Abis Salil dari Abi Mujibah Al-Bahiliy dari ayahnya atau pamannya.”

Sedangkan sanad Al-Imam Ahmad adalah:

حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ حَدَّثَنَا الْجُرَيْرِيُّ عَنْ أَبِي السَّلِيلِ قَالَ حَدَّثَتْنِي مُجِيبَةُ عَجُوزٌ مِنْ بِاهِلَةَ عَنْ أَبِيهَا أَوْ عَنْ عَمِّهَا

“Telah menceritakan kepada kami Ismail, telah menceritakan kepada kami Al-Jurairi dari Abis Salil, ia berkata: “Telah menceritakan kepadaku Mujibah seorang perempuan tua dari Bahilah dari ayahnya atau pamannya.”

Kritik Hadits

Di dalam hadits ini terdapat beberapa illat atau cacat:

Kegoncangan (idlthirab) dalam sanadnya. Dalam suatu sanad ada nama Mujibah Al-Bahiliyyah (seorang wanita) dalam sanad lain ada Abu Mujibah Al-Bahili (seorang laki-laki).

Adanya Mujibah Al-Bahiliyyah. Adz-Dzahabi berkata: “Ia asing tidak dikenal.” (Mizanul I’tidal: 3/440).

Sedangkan Sa’id bin Iyas Al-Jurairi Al-Bashri Abu Mas’ud di-tsiqat-kan oleh beberapa ulama dan di-dlaif-kan oleh Al-Imam Yahya Al-Qaththan. Sedangkan Abu Hatim menyatakan bahwa hafalannya bercampur aduk sebelum matinya.” (Mizanul I’tidal: 2/127). Tetapi tidak mengapa karena Sufyan Ats-Tsauri, Hammad dan Isma’il bin Ulayyah mendengar dari Al-Jurairi sebelum hafalannya berubah. (Al-Kawakibun Nayyirat: 183).

Derajat Hadits

Dengan adanya 2 illat di atas yaitu tidak dikenalnya Mujibah Al-Bahiliyyah dan mudltharib (goncangnya) sanad, maka sanad hadits tersebut adalah dlaif (lemah).

Al-Allamah Syamsul Haqq berkata:

وأشار بعض شيوخنا إلى تضعيفه لذلك وهو متوجه

“Dan sebagian guru kami mengisyaratkan pen-dlaif-an hadits ini karena alasan tersebut. Dan itu adalah pendapat kuat.” (Aunul Ma’bud: 7/59).

Demikian pula Al-Allamah Al-Albani juga berkata:

وهذا إسناد ضعيف، ورجاله ثقات رجال مسلم؛ غير مجيبة الباهلية وهي مجهولة. لم يرو عنها غير أبي السّلِيْل.

“Ini adalah isnad yang dlaif. Perawi lainnya adalah tsiqat, perawi Muslim, selain Mujibah Al-Bahiliyyah. Ia adalah majhul. Tidaklah meriwayatkan darinya kecuali Abus Salil.” (Dlaif Sunan Abi Dawud: 2/283).

Kandungan Hadits

Hadits di atas menjadi dalil bagi orang-orang yang menganjurkan puasa pada bulan Rajab. Ini karena dalam hadits di atas terdapat lafazh “Berpuasalah dari bulan-bulan haram dan juga tinggalkan! Dan bulan-bulan haram adalah Rajab, Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram.

Penulis menyatakan bahwa hadits di atas adalah lemah sehingga tidak dapat dijadikan dasar argumentasi.

Hadits Lain

Di antara hadits lain yang digunakan untuk menganjurkan puasa pada bulan Rajab adalah pertanyaan Usamah bin Zaid kepada Rasulullah r:

يَا رَسُولَ اللَّهِ لَمْ أَرَكَ تَصُومُ شَهْرًا مِنْ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ قَالَ ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ

“Wahai Rasulullah, aku belum pernah melihatmu berpuasa di bulan-bulan lain seperti puasa pada bulan Sya’ban.” Beliau menjawab: “Itu (Sya’ban) adalah bulan yang dilupakan oleh manusia di antara bulan Rajab dan bulan Ramadlan. Ia (Sya’ban) adalah bulan diangkatnya amalan-amalan hamba kepada Rabbul Alamien. Maka aku senang amalanku diangkat dalam keadaan aku berpuasa.” (HR. An-Nasa’i: 2317, Ahmad: 20758, 21753 dan isnadnya di-hasan-kan oleh Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth dalam tahqiq Musnad dan di-hasan-kan pula Al-Allamah Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah hadits: 1898).

Al-Allamah Asy-Syaukani berkata:

( فائدة ) ظاهر قوله في حديث أسامة ( إن شعبان شهر يغفل عنه الناس بين رجب ورمضان ) أنه يستحب صوم رجب لأن الظاهر أن المراد أنهم يغفلون عن تعظيم شعبان بالصوم كما يعظمون رمضان ورجبا به

ويحتمل أن المراد غفلتهم عن تعظيم شعبان بصومه كما يعظمون رجبا بنحر النحائر فيه فإنه كان يعظم بذلك عند الجاهلية وينحرون فيه العتيرة كما ثبت في الحديث والظاهر الأول لأن المراد بالناس الصحابة فإن الشارع قد كان إذ ذاك محا آثار الجاهلية ولكن غايته التقرير لهم على صومه وهو لا يفيد زيادة على الجواز…

“(Faedah): Zhahir dari sabda beliau dalam hadits Usamah: “Itu (Sya’ban) adalah bulan yang dilupakan oleh manusia di antara bulan Rajab dan bulan Ramadlan” memberikan pengertian bahwa dianjurkan berpuasa pada bulan Rajab. Karena yang tampak adalah bahwa yang maksud (oleh hadits ini, pen) yaitu mereka (manusia) lupa dari mengagungkan bulan Sya’ban dengan berpuasa sebagaimana mereka mengagungkan Ramadlan dan Rajab dengan puasa.

(Hadits di atas juga) bisa memberikan ihtimal (kemungkinan makna lain, pen) bahwa yang dimaksud adalah lupanya mereka dari mengagungkan Sya’ban dengan berpuasa sebagaimana mereka mengagungkan Rajab dengan menyembelih sembelihan di dalamnya sebagaimana mereka mengagungkannya di masa Jahiliyyah dan menyembelih Al-Athirah seperti yang telah shahih dalam hadits.

Pendapat yang zhahir (tampak atau lebih jelas) adalah pendapat pertama (yaitu dianjurkannya puasa Rajab, pen) karena yang di maksud dengan kata “manusia” dalam hadits di atas adalah para sahabat. Karena Asy-Syari’ telah menghapus jejak-jejak Jahiliyyah sejak itu. Akan tetapi puncaknya adalah sikap taqrir (persetujuan) Rasulullah r terhadap mereka atas puasa Rajab. Sehingga ia (hadits ini) tidaklah memberikan faidah yang lebih dari bolehnya (puasa Rajab, pen)…dst.” (Nailul Authar: 4/621).

Demikianlah ucapan Asy-Syaukani yang menguatkan anjuran berpuasa pada bulan Rajab.

Penulis katakan bahwa pendapat Asy-Syaukani tidak bisa diterima dengan 2 alasan:

Pertama: Pada hadits ini terdapat ihtimal (kemungkinan banyak makna) dan sesuatu yang ihtimal itu tidak boleh dijadikan dasar argumentasi.

Kedua: Pendapat yang dipilih oleh Asy-Syaukani bertentangan dengan sikap Salafush Shalih.

Sikap Rasulullah r dan Salafush Shalih terhadap Puasa Rajab

Utsman bin Hakim Al-Anshari berkata:

سَأَلْتُ سَعِيدَ بْنَ جُبَيْرٍ عَنْ صَوْمِ رَجَبٍ وَنَحْنُ يَوْمَئِذٍ فِي رَجَبٍ فَقَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لَا يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لَا يَصُومُ

“Aku bertanya kepada Sa’id bin Jubair tentang puasa Rajab –sedangkan kami ketika itu berada di bulan Rajab-. Maka Sa’id berkata: “Aku mendengar Ibnu Abbas t berkata: “Adalah Rasulullah r itu berpuasa sampai kami katakan bahwa beliau tidak pernah berbuka dan beliau juga berbuka sampai kami katakan bahwa beliau tidak pernah berpuasa.” (HR. Muslim: 1960, Abu Dawud: 2075, Ahmad: 1942, 2854).

Al-Imam An-Nawawi berkomentar terhadap hadits di atas:

الظاهر أن مراد سعيد بن جبير بهذا الاستدلال أنه لا نهى عنه ولا ندب فيه لعينه بل له حكم باقي الشهور ولم يثبت في صوم رجب نهى ولا ندب لعينه ولكن أصل الصوم مندوب إليه

“Yang jelas dari maksud Sa’id bin Jubair dengan pendalilan ini adalah bahwa tidak ada larangan dan juga tidak ada anjuran dalam puasa Rajab. Bahkan hukum Rajab dalam masalah puasa adalah seperti hukum puasa di bulan-bulan lainnya (seperti Jumadil Ula, Jumadil Akhir dan sebagainya, pen). Tidak ada keterangan yang shahih tentang larangan ataupun anjuran dalam puasa Rajab. Akan tetapi hukum asal puasa (yakni puasa muthlaq, pen) adalah dianjurkan.” (Syarh An-Nawawi ala Muslim: 8/38-39).

Jadi penjelasan An-Nawawi di atas memberikan faedah bahwa Rasulullah r memperlakukan bulan Rajab seperti bulan yang lainnya. Kadang-kadang beliau berpuasa baik di luar atau di dalam Rajab dan kadang-kadang beliau tidak berpuasa.

Ummul Mukminin Aisyah t berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لَا يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لَا يَصُومُ فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلَّا رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ

“Adalah Rasulullah r berpuasa sampai kami katakan bahwa beliau tidak pernah berbuka dan beliau juga berbuka sampai kami katakan bahwa beliau tidak pernah berpuasa. Dan aku belum pernah melihat Rasulullah r menyempurnakan puasa sebulan penuh selain bulan Ramadlan. Aku belum pernah melihat beliau banyak berpuasa setelah Ramadlan selain di bulan Sya’ban.” (HR. Al-Bukhari: 1833, Muslim: 1956, Abu Dawud: 2079, An-Nasa’i: 2306, Ibnu Majah: 1701).

Al-Allamah As-Sayyid Al-Amir Ash-Shan’ani menjelaskan hadits di atas:

فيه دليل على أن صومه صلى الله عليه وسلم لم يكن مختصا بشهر دون شهر

“Dalam hadits di atas terdapat dalil bahwa puasa Rasulullah r tidak dikhususkan pada bulan-bulan tertentu (termasuk Rajab, pen).” (Subulus Salam: 2/168).

Kharasyah bin Al-Hurr berkata:

رَأَيْتُ عُمَرَ يَضْرِبُ أَكُفَّ النَّاسِ فِي رَجَبٍ، حَتَّى يَضَعُوهَا فِي الْجِفَانِ وَيَقُولُ: كُلُوا فَإِنَّمَا هُوَ شَهْرٌ كَانَ يُعَظِّمُهُ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ.

“Aku melihat Umar memukul telapak tangan manusia pada bulan Rajab sampai mereka mau meletakkan tangan mereka pada hidangan makanan (dan membatalkan puasa Rajab, pen) dan berkata: “Makanlah karena Rajab adalah bulan yang diagungkan oleh orang-orang jahiliyyah.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya: 9851 (3/102) dan isnadnya di-shahih-kan oleh Al-Allamah Al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil; 4/113).

Al-Imam Atha’ berkata:

كان ابن عباس ينهى عن صيام رجب كله لأن لا يتخذ عيدا

“Adalah Ibnu Abbas melarang dari puasa Rajab seluruhnya agar bulan Rajab tidak dijadikan ied (hari raya).” (Atsar riwayat Abdur Razzaq dalam Mushannafnya: 7854 (4/292) dan isnadnya di-shahih-kan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Tabyinul Ajab bi Ma Warada fi Syahri Rajab: 25).

Muhammad bin Zaid bin Abdullah bin Umar (cucu Ibnu Umar) berkata:

كَانَ ابْنُ عُمَرَ إذَا رَأَى النَّاسَ، وَمَا يُعِدّونَ لِرَجَبٍ، كَرِهَ ذَلِكَ.

“Adalah Ibnu Umar jika melihat manusia dan apa yang mereka persiapkan untuk (puasa) Rajab maka beliau membenci perkara tersebut.” (Atsar riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya: 9854 (3/102)).

Dari Abu Bakrah Ats-Tsaqafi t (seorang sahabat Nabi r yang masuk islam pada peristiwa Thaif):

أَنَّهُ دَخَلَ عَلَى أَهْلِهِ، وَعِنْدَهُمْ سِلَالٌ جُدُدٌ وَكِيزَانُ، فَقَالَ: مَا هَذَا ؟ فَقَالُوا: رَجَبٌ نَصُومُهُ. قَالَ : أَجَعَلْتُمْ رَجَبًا رَمَضَانَ، فَأَكْفَأِ السِّلَالَ ، وَكَسَرَ الْكِيزَانَ

“Bahwa beliau memasuki keluarga beliau. Di sisi mereka ada keranjang-keranjang baru dan gelas-gelas. Maka beliau bertanya: “Apa ini?” Mereka menjawab: “Bulan Rajab, kami berpuasa padanya.” Maka beliau berkata: “Apakah kalian menjadikan Rajab seperti Ramadlan?” Maka beliau menumpahkan keranjang-keranjang tersebut dan memecahkan gelas-gelas tersebut.” (Al-Mughni li Ibni Qudamah: 6/181).

Oleh karena itu pendapat yang paling mendekati sikap Salafush Shalih dalam puasa Rajab adalah pendapat Al-Imam Ahmad bin Hanbal.

Al-Imam Ishaq bin Rahuyah pernah bertanya kepada Al-Imam Ahmad tentang puasa hari Arafah, puasa hari Asyura’ dan puasa Rajab. Maka beliau menjawab:

أما عاشوراء وعرفة، أعجب إلي أن أصومهما لفضيلتهما في حديث أبي قتادة، وأما رجب فأحب إليّ أن أفطر منه.

“Adapun hari Asyura’ dan hari Arafah maka aku sangat menyukai untuk berpuasa pada kedua hari tersebut karena adanya hadits Abi Qatadah. Adapun bulan Rajab maka aku lebih suka untuk tidak berpuasa pada bulan tersebut.” (Masa’il Al-Imam Ahmad lil Marwadzi masalah ke: 718 (3/1251-2)).

Hadits Lemah dan Palsu Seputar Puasa Rajab

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani Asy-Syafi’i berkata:

لم يرد في فضل شهر رجب، ولا في صيامه، ولا في صيام شيء منه، – معين، ولا في قيام ليلة مخصوصة فيه – حديث صحيح يصلح للحجة،

“Tidak ada satu hadits shahih pun yang dapat dijadikan hujjah tentang keutamaan bulan Rajab, tidak pula puasanya, tidak pula puasa pada sebagian harinya dan tidak pula tentang keutamaan shalat pada malam tertentu padanya.” (Tabyinul Ajab: 2).

Kemudian Al-Hafizh mengutipkan bahwa ada sebagian ulama yang bermudah-mudahan untuk menggunakan hadits lemah (dlaif) sebagai Fadla’ilul A’mal. Dan beliau kemudian memperingatkan pernyataan tersebut dengan ucapan beliau:

وينبغي مع ذلك اشتراط أن يعتقد العامل كون ذلك الحديث ضعيفا، وأن لا يشهر بذلك، لئلا يعمل المرء بحديث ضعيف، فيشرع ما ليس بشرع، أو يراه بعض الجهال فيظن أنه سنة صحيحة.

وقد صرح بمعنى ذلك الأستاذ أبو محمد بن عبد السلام وغيره. وليحذر المرء من دخوله تحت قوله صلى الله عليه وسلم: “من حدث عني بحديث يرى أنه كذب فهو أحد الكذابين”. فكيف بمن عمل به. ولا فرق في العمل بالحديث في الأحكام، أو في الفضائل، إذ الكل شرع.

“Dan hendaknya (adanya bermudah-mudahan dengan hadits lemah untuk fadlilah amal) dipersyaratkan:

  • Orang yang melakukan fadlilah amal meyakini kelemahan hadits tersebut
  • Hendaknya hadits tersebut tidak di-masyhur-kan agar seseorang tidak mengamalkan hadits dla’if sehingga ia men-syariat-kan sesuatu yang bukan syariat atau disangka oleh sebagian orang-orang yang bodoh sebagai hadits shahih.

Dan hal ini sudah dijelaskan oleh Al-Ustadz (Al-Izz) Abu Muhammad bin Abdus Salam dan ulama lainnya. Dan hendaknya seseorang berhati-hati agar tidak terjerat dalam sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: “Barangsiapa yang meriwayatkan dariku hadits yang sudah dikenal kedustaannya maka ia adalah salah satu pendusta.” (HR. Muslim dalam Muqaddimah Shahihnya). Maka (kalau orang yang meriwayatkannya saja mendapatkan ancaman demikian, pen), bagaimana dengan orang yang mengamalkannya? Dan dalam perkara ini tidak dibedakan antara orang yang mengamalkan hadits dla’if dalam masalah hukum ataukah dalam masalah fadlilah amal. Karena semuanya adalah syariat.” (Tabyinul Ajab: 2).

Bahkan Al-Allamah Asy-Syaukani berkata:

ومنها أحاديث فضل صوم رجب والصلاة فيه قال ابن تيمية كلها كذب باتفاق أهل العلم

“Dan di antara contoh hadits palsu adalah hadits-hadits tentang keutamaan puasa Rajab dan shalat malam pada bulan Rajab. Ibnu Taimiyyah berkata: “Semuanya adalah dusta dengan kesepakatan ulama.” (Al-Fawaidul Majmu’ah fil Ahaditsil Maudlu’ah: 76).

Di antara contoh hadits lemah dan hadits palsu tersebut adalah:

Hadits pertama:

إن في الجنة نهرا يقال له رجب ماؤه أشد بياضا من اللبن وأحلى من العسل من صام يوما من رجب سقاه الله من ذلك النهر

“Sesungguhnya di surga ada sungai yang bernama Rajab. Airnya lebih putih dari susu dan lebih manis daripada madu. Barangsiapa yang berpuasa pada salah satu hari dari bulan Rajab maka Allah akan memberinya minum dari sungai tersebut.”

Al-Allamah Muhammad Darwisy Hut berkata:

قال ابن الجوزي لا يصح وقال الذهبي باطل

“Ibnul Jauzi berkata: “Tidak shahih.” Adz-Dzahabi berkata: “Hadits batil.” (Asnal Mathalib: 86).

Hadits kedua:

من صام ثلاثة أيام من رجب كتب الله له صيام شهر، ومن صام سبعة أيام أغلق عنه سبعة أبواب النار، ومن صام ثمانية أيام فتح الله له ثمانية أبواب الجنة، ومن صام نصف رجب كتب الله له رضوانه، ومن كتب الله له رضوانه لم يعذبه، ومن صام رجبا كله حاسبه الله حسابا يسيرا”

“Barangsiapa berpuasa 3 hari dalam bulan Rajab maka Allah tuliskan untuknya puasa sebulan. Barangsiapa berpuasa 7 hari maka ditutup atasnya 7 pintu neraka. Barangsiapa berpuasa 8 hari maka Allah bukakan untuknya 8 pintu surga. Barangsiapa berpuasa separuh bulan Rajab maka Allah tuliskan untuknya Ridla-Nya. Barangsiapa ditulis Ridla-Nya atasnya maka ia tidak akan disiksa. Dan barangsiapa berpuasa Rajab sebulan penuh maka Allah akan meng-hisabnya dengan hisab yang mudah.”

Al-Hafizh As-Suyuthi berkata:

لا يصح أبان متروك وعمرو بن الأزهر يضع

“(Hadits) tidak shahih. Aban (salah seorang perawinya) adalah matrukul hadits. Sedangkan Amr bin Al-Azhar adalah memalsu hadits.” (Al-Lali’ul Mashnu’ah: 2/97).

Hadits ketiga:

أن النبي صلى الله عليه و سلم كان إذا دخل رجب قال:  اللهم بارك لنا في رجب وشعبان وبلغنا رمضان

“Bahwa Nabi r jika masuk bulan Rajab, beliau berdo’a: “Ya Allah, berkatilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban. Dan sampaikanlah kami pada bulan Ramadlan.”

Al-Hafizh Al-Haitsami berkata:

رواه البزار وفيه زائدة بن أبي الرقاد قال البخاري : منكر الحديث وجهله جماعة

“Diriwayatkan oleh Al-Bazzar. Di dalamnya ada Zaidah bin Abir Raqqad. Al-Bukhari berkata: “Ia munkarul hadits dan di-majhul-kan oleh segolongan ulama.” (Majma’uz Zawa’id: 3006 (2/375)).

Hadits keempat:

رجب شهر الله، وشعبان شهري، ورمضان شهر أمتي

“Rajab adalah bulan milik Allah, Sya’ban adalah bulanku dan Ramadlan adalah bulan umatku.”

Al-Allamah Asy-Syaukani berkata:

وهو حديث موضوع وفي إسناده أبو بكر بن الحسن النقاش وهو متهم والكسائي مجهول

“Ini adalah hadits maudlu’ (palsu). Di dalam isnadnya terdapat Abu Bakar bin Al-Hasan An-Naqqasy, ia tertuduh (memalsu). Dan Al-Kisa’I adalah majhul.” (Al-Fawaidul Majmu’ah: 38 (100)).

Hadits kelima:

من صام يوما من رجب، وصلى فيه أربع ركعات، يقرأ في أول ركعة مائة مرة آية الكرسي، وفي الركعة الثانية قل هو الله أحد مائة مرة، لم يمت حتى يرى مقعده من الجنة، أو يرى له

“Barangsiapa berpuasa sehari dari bulan Rajab dan shalat di dalamnya 4 rakaat. Ia membaca ayat kursi 100 kali dalam rakaat pertama kemudian membaca surat Al-Ikhlash 100 kali pada rakaat kedua maka ia tidak akan mati sebelum diperlihatkan tempat duduknya di surga.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata:

هذا حديث موضوع على رسول الله صلى الله عليه وسلم وأكثر رواته مجاهيل. وعثمان متروك عند المحدثين.

“Ini adalah hadits yang dipalsu atas Rasulullah r. Kebanyakan para perawinya adalah majhul. Dan Utsman adalah matruk menurut ahlul hadits.” (Tabyinul Ajab: 14).

Hadits keenam:

أيها الناس، إنه قد أظلكم شهر عظيم، شهر رجب، شهر الله، الأصم، تضاعف فيه الحسنات، وتستجاب فيه الدعوات، ويفرج عن الكربات، لا يرد فيه للمؤمنين دعوة، فمن اكتسب فيه خيراً ضوعف له فيه أضعافاً مضاعفة، والله يضاعف لمن يشاء. فعليكم بقيام ليله، وصيام نهاره،..الخ

“Wahai manusia. Sesungguhnya kalian dinaungi oleh bulan yang agung, bulan Rajab, bulan Allah, Al-Asham, kebaikan dilipatgandakan di dalamnya, do’a dikabulkan di dalamnya, kesulitan akan dimudahkan, tidak ada do’a kaum mukminin pun yang ditolak. Barangsiapa mengerjakan kebaikan di dalamnya maka akan dilipatgandakan berlipat-lipat dan Allah melipatgandakan pahala siapapun yang Ia kehendaki. Maka wajib atas kalian untuk melaksanakan shalat pada malamnya dan berpuasa pada siangnya…dst.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata:

وهذا حديث موضوع وإسناده مجهول.

“Ini adalah hadits palsu dan isnadnya adalah majhul.” (Tabyinul Ajab: 20).

Dan masih banyak lagi contoh hadits palsu atau lemah tentang keutamaan puasa bulan Rajab. Anehnya hadits-hadits tersebut dibacakan di masjid-masjid oleh orang-orang yang dianggap kiyai. Sehingga mereka berperan besar di dalam menyebarkan kedustaan atas nama Rasulullah r.

Al-Allamah Isma’il Al-Ajluni Asy-Syafi’i berkata:

وباب صيام رجب وفضله لم يثبت فيه شئ بل قد ورد كراهة ذلك .

“Dan bab puasa bulan Rajab dan keutamaannya tidak ada satu hadits pun yang shahih yang menjelaskannya. Bahkan riwayat yang shahih (dari Salafush Shalih) adalah dibencinya puasa Rajab.” (Kasyful Khafa’ wa Muzilul Ilbas: 2/421).

Demikian keterangan para ulama tentang puasa Rajab. Wallahu a’lam.

  1. Belum ada komentar.
  1. No trackbacks yet.

Tinggalkan komentar