Beranda > Manhaj > Majelis Dzikir Bersama ala Arifin Ilham, Bid’ahkah?

Majelis Dzikir Bersama ala Arifin Ilham, Bid’ahkah?


Majelis Dzikir Bersama ala Arifin Ilham, Bid’ahkah?

Oleh: dr. M Faiq Sulaifi

Sebagian kaum muslimin yang tercelup dengan bid’ah sufiyah memperbolehkan bahkan menganjurkan adanya acara dzikir berjamaah –seperti model dzikirnya Arifin Ilham- dengan berdalil pada sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:

إِنَّ لِلَّهِ مَلَائِكَةً سَيَّاحِينَ فِي الْأَرْضِ فُضُلًا عَنْ كُتَّابِ النَّاسِ فَإِذَا وَجَدُوا أَقْوَامًا يَذْكُرُونَ اللَّهَ تَنَادَوْا هَلُمُّوا إِلَى بُغْيَتِكُمْ فَيَجِيئُونَ فَيَحُفُّونَ بِهِمْ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقُولُ اللَّهُ عَلَى أَيِّ شَيْءٍ تَرَكْتُمْ عِبَادِي يَصْنَعُونَ فَيَقُولُونَ تَرَكْنَاهُمْ يَحْمَدُونَكَ وَيُمَجِّدُونَكَ وَيَذْكُرُونَكَ قَالَ فَيَقُولُ فَهَلْ رَأَوْنِي فَيَقُولُونَ لَا قَالَ فَيَقُولُ فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْنِي قَالَ فَيَقُولُونَ لَوْ رَأَوْكَ لَكَانُوا أَشَدَّ تَحْمِيدًا وَأَشَدَّ تَمْجِيدًا وَأَشَدَّ لَكَ ذِكْرًا قَالَ فَيَقُولُ وَأَيُّ شَيْءٍ يَطْلُبُونَ قَالَ فَيَقُولُونَ يَطْلُبُونَ الْجَنَّةَ قَالَ فَيَقُولُ وَهَلْ رَأَوْهَا قَالَ فَيَقُولُونَ لَا قَالَ فَيَقُولُ فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْهَا قَالَ فَيَقُولُونَ لَوْ رَأَوْهَا لَكَانُوا أَشَدَّ لَهَا طَلَبًا وَأَشَدَّ عَلَيْهَا حِرْصًا قَالَ فَيَقُولُ فَمِنْ أَيِّ شَيْءٍ يَتَعَوَّذُونَ قَالُوا يَتَعَوَّذُونَ مِنْ النَّارِ قَالَ فَيَقُولُ هَلْ رَأَوْهَا فَيَقُولُونَ لَا فَيَقُولُ فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْهَا فَيَقُولُونَ لَوْ رَأَوْهَا لَكَانُوا أَشَدَّ مِنْهَا هَرَبًا وَأَشَدَّ مِنْهَا خَوْفًا وَأَشَدَّ مِنْهَا تَعَوُّذًا قَالَ فَيَقُولُ فَإِنِّي أُشْهِدُكُمْ أَنِّي قَدْ غَفَرْتُ لَهُمْ فَيَقُولُونَ إِنَّ فِيهِمْ فُلَانًا الْخَطَّاءَ لَمْ يُرِدْهُمْ إِنَّمَا جَاءَهُمْ لِحَاجَةٍ فَيَقُولُ هُمْ الْقَوْمُ لَا يَشْقَى لَهُمْ جَلِيسٌ

“Sesungguhnya Allah memiliki para malaikat yang berjalan di bumi selain sebagai pencatat amal manusia. Jika mereka (para malaikat) mendapati kaum yang sedang berdzikir (mengingat) Allah, maka mereka saling memanggil: “Ayo ke tujuan kalian (yaitu halaqah dzikir)!” Kemudian mereka mendatangi kaum tersebut dan meliputi mereka sampai ke langit dunia. Maka berkata: “Hamba-hamba-Ku kalian tinggalkan sedang melalukan apa?” Maka para malaikat menjawab: “Kami tinggalkan mereka dalam keadaan memuji-Mu, membesarkan-Mu dan mengingat-Mu.” Maka Allah bertanya: “Apakah mereka pernah melihat-Ku?” Para malaikat menjawab: “Belum pernah.” Maka Allah bertanya: “Bagaimana seandainya mereka melihat-Ku.” Para malaikat menjawab: “Seandainya mereka melihat-Mu maka mereka akan bertambah pujiannya, bertambah pengagungannya, dan bertambah mengingat-Mu.” Allah bertanya: “Apa yang mereka cari (dengan halaqah dzikir itu)?” Para malaikat menjawab: “Mencari surga.”  …….dst. (HR. At-Tirmidzi: 3524, beliau berkata: “Hadits hasan shahih.” Ahmad: 7418 (2/252) dari Abu Sa’id Al-Khudri t)

Sedangkan dalam Shahih Muslim dengan lafazh:

إِنَّ لِلَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى مَلَائِكَةً سَيَّارَةً فُضُلًا يَتَتَبَّعُونَ مَجَالِسَ الذِّكْرِ..

“Sesungguhnya Allah tabaraka wa ta’ala memiliki malaikat yang berjalan –selain tugas utama- mencari majelis-majelis dzikir….dst”. (HR. Muslim: 4854 dari Abu Hurairah t).

Jawaban:

Ini adalah suatu tahrif (penyelewengan) makna hadits yang dilakukan oleh kaum sufi terhadap makna yang dikehendaki oleh Rasulullah r dan salafush shalih dari kalangan sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in.

Pengertian Majelis Dzikir

Al-Imam Atha’ Al-Khurasani (seorang ulama tabi’in) berkata:

مجالس الذكر هي مجالس الحلال والحرام كيف تشتري وتبيع وتصلي وتصوم وتنكح وتطلق وتحج وأشباه هذا

“Majelis dzikir adalah adalah majelis halal dan haram. Bagaimana kamu membeli, menjual. Bagaimana kamu shalat, berpuasa, berhaji dan semisalnya.” (Tarikh Damsyiq: 40/431-2, Mir’atul Mafatih Syarh Misykatul Mashabih: 7/377, Kifayatul Akhyar: 1/8).

Dan telah benar  Al-Imam Atha’ yang menjelaskan bahwa majelis dzikir adalah majelis ilmu Al-Kitab was Sunnah (bukan majelis dzikir berjamaah ala kaum sufi) karena hadits-hadits Nabi adalah saling menafsirkan dan saling melengkapi.

Dalam riwayat lain Rasulullah r bersabda:

إِنَّ لِلَّهِ مَلَائِكَةً يَطُوفُونَ فِي الطُّرُقِ يَلْتَمِسُونَ أَهْلَ الذِّكْرِ فَإِذَا وَجَدُوا قَوْمًا يَذْكُرُونَ اللَّهَ تَنَادَوْا

“Sesungguhnya Allah memiliki malaikat yang berkeliling di jalan-jalan untuk mencari Ahli Dzikir. Maka jika mereka menemukan kaum yang sedang berdzikir kepada Allah maka mereka saling memanggil…dst.” (HR. Al-Bukhari: 5929).

Makna “Ahli Dzikir” dalam hadits di atas adalah bukan ahli dzikir berjamaah atau ahli tahlilan atau ahli istighostahan –sebagaimana penyelewengan makna yang dilakukan oleh kaum sufi- tetapi maknanya adalah Ulama atau Ahlul Ilmi sebagaimana firman Allah U:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Maka bertanyalah kepada ahli dzikir (para ulama) kalau kalian tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43).

Dan antara ayat Al-Quran dan hadits adalah saling menafsirkan.

Makna “berdzikir kepada Allah” adalah bukan berdzikir bersama dalam satu suara atau tahlilan atau istighotsahan –sebagaimana penyelewengan makna oleh kaum sufi- akan tetapi maknanya adalah mengambil pelajaran, peringatan dan nasehat dari ayat Allah dan sunnah Rasul-Nya seperti siksa Allah, halal-haram, akhlaq jahiliyah yang harus dijauhi dan sebagainya sebagaimana firman Allah U:

وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ

“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Adz-Dzariyat: 55).

Al-Kalbi berkata: “Maknanya adalah nasehatilah dengan Al-Quran orang-orang yang beriman dari kaummu karena peringatan akan bermanfaat bagi mereka.” (Fathul Qadir: 7/50).

Juga sebagaimana ucapan Umar bin Al-Khaththab t kepada Abu Musa Al-Asy’ari t:

ذكرنا ربنا فيقرأ وهم يستمعون

“Peringatkan kami tentang Rabb kami!” Kemudian Abu Musa membaca ayat Al-Quran sedangkan para sahabat mendengarkannya.” (Riwayat Al-Khallal dalam Al-Amru bil Ma’ruf wa Nahyu anil Munkar: 211 (251), Auliya’ur Rahman wa Auliya’usy Syaithan: 105).

Juga seperti ucapan Umar bin Al-Khaththab t kepada para sahabat:

هلموا نزداد إيماناً” فيذكرون الله تعالى عز وجل

“Mari ke sini kita menambah iman kita.” Kemudian mereka mengingat  Allah U. (Haqiqatul Iman: 19, Tadzkiratul Mu’tasi: 304).

Demikian juga ucapan Mu’adz bin Jabal t:

إجلس بِنَا نؤمن سَاعَة

“Duduklah bersama kami! Kita beriman sejenak.” (HR. Ahmad dan isnadnya di-hasan-kan oleh Al-Ajluni dalam Kasyful Khafa’: 1/50).

Al-Imam An-Nawawi –dalam menjelaskan ucapan Umar- berkata:

معناه نتذاكر الخير وأحكام الآخرة وأمور الدين فإن ذلك إيمان

“Maknanya (mengingat  Allah) adalah kita saling mengingatkan dan mempelajari kebaikan, hukum-hukum akhirat dan perkara agama. Karena itu semua adalah keimanan.” (Umdatul Qari: 1/307).

Di antara yang mendukung Al-Imam An-Nawawi adalah ucapan Hanzhalah t ketika bertemu Abu Bakar t:

نَافَقَ حَنْظَلَةُ قَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ مَا تَقُولُ قَالَ قُلْتُ نَكُونُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُذَكِّرُنَا بِالنَّارِ وَالْجَنَّةِ حَتَّى كَأَنَّا رَأْيُ عَيْنٍ فَإِذَا خَرَجْنَا مِنْ عِنْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَافَسْنَا الْأَزْوَاجَ وَالْأَوْلَادَ وَالضَّيْعَاتِ فَنَسِينَا كَثِيرًا

“Hanzhalah munafiq.” Abu Bakar berkata: “Subhanallah. Apa yang kamu ucapkan?” Hanzhalah berkata: “Kita di sisi Rasulullah r dalam keadaan beliau mengingatkan kita dengan surga dan neraka seolah-olah kita melihatnya langsung. Tetapi ketika kita keluar dari sisi Rasulullah r dan bergaul dengan istri, anak dan barang-barang duniawi maka kita banyak lupa (tentang akhirat, pen).” (HR. Muslim: 4937, At-Tirmidzi: 2438, Ahmad: 19045).

Makna “memuji-Mu, membesarkan-Mu dan mengingat-Mu.” Adalah bukan bertasbih berjamaah, bertahlil berjamaah seperti pada acara tahlilan atau dzikir bersama –sebagaimana penyelewengan makna oleh kaum sufi- tetapi maknanya adalah mengingat nikmat-Nya, mengagungkan syariat-Nya sebagaimana sabda Nabi r kepada orang-orang yang mengadakan halaqah:

مَا أَجْلَسَكُمْ ؟ فَقَالُوا : جَلَسْنَا نَذْكُرُ اللَّهَ وَنَحْمَدُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى مَا هَدَانَا لِلإِسْلامِ ، وَمَنَّ عَلَيْنَا بِهِ ، فَقَالَ : آللَّهِ مَا أَجْلَسَكُمْ إِلا ذَلِكَ ؟ قَالُوا : وَاللَّهِ مَا أَجْلَسَنَا إِلا ذَلِكَ قَالَ : أَمَا إِنِّي أَسْتَحْلِفُكُمْ تُهْمَةً لَكُمْ ، وَلَكِنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلامُ أَتَانِي ، فَأَخْبَرَنِي أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُبَاهِي بِكُمُ الْمَلائِكَةَ

“Kalian duduk-duduk dalam rangka apa?” Mereka menjawab: “Kami duduk untuk mengingat Allah dan memujinya atas petunjuk Allah kepada kami untuk memeluk islam dan Allah telah menganugerahkan islam kepada kami.” Maka beliau bertanya: “Demi Allah, kalian duduk hanya karena itu?” Mereka berkata: “Demi Allah kami tidaklah duduk kecuali untuk itu.” Maka beliau berkata: “Demi Allah. Aku tidak meminta kalian bersumpah karena curiga atas kalian tetapi Jibril u mendatangiku dan memberitahu bahwa Allah U berbangga-bangga dengan kalian atas para malaikat.” (HR. Muslim: 4869, At-Tirmidzi: 3301, Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf: 10/305).

Dari Jabir bin Samurah t, ia berkata:

جَالَسْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَكْثَرَ مِنْ مِائَةِ مَرَّةٍ فَكَانَ أَصْحَابُهُ يَتَنَاشَدُونَ الشِّعْرَ وَيَتَذَاكَرُونَ أَشْيَاءَ مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ وَهُوَ سَاكِتٌ فَرُبَّمَا تَبَسَّمَ مَعَهُمْ

“Aku duduk bermajelis dengan Nabi r lebih dari 100 kali. Maka para sahabat beliau saling melantunkan syair dan saling menceritakan banyak perkara jahiliyah. Sedangkan beliau hanya diam dan kadang-kadang tersenyum.” (HR. At-Tirmidzi: 2777, Muslim: 1074, Ahmad: 19937).

Al-Allamah Ali Al-Qari berkata: “Makna “saling melantunkan syair” adalah syair yang berisi tauhid, targhib (mendorong ketaatan) dan tarhib (mencela kemaksiatan) seperti syair Ibnu Rawahah.” (Mirqatul Mafatih: 14/17).

Beliau juga berkata: “Di antara “perkara jahiliyah” yang diceritakan adalah bahwa di antara mereka ada yang berkata: “Tidak ada berhala yang memberi manfaat selain berhalaku.” Yang lainnya bertanya: “Mengapa?” Ia berkata: “Aku membikin berhala dari roti. Ketika paceklik datang maka aku makan berhala itu sedikit demi sedikit.” Yang lain menimpali: “Ada 2 musang yang naik ke atas kepala berhalaku lalu mengencinginya. Maka aku berkata: “Masa ada berhala yang kepalanya dikencingi oleh binatang. Maka aku datang kepadamu wahai Nabi! Dan aku masuk islam.” Maka mereka semua tertawa dan Nabi r tersenyum.” (Mirqatul Mafatih: 14/17).

Di antara hadits yang menerangkan bahwa mejelis dzikir adalah majelis ilmu adalah hadits Abu Hurairah t bahwa Rasulullah r bersabda:

وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ وَذَكَرَهُمْ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ

“Dan tidaklah sebuah kaum berkumpul dalam sebuah rumah dari rumah-rumah Allah (yaitu masjid). Mereka  membaca Kitabullah dan saling mempelajarinya di antara mereka kecuali ketenangan akan turun kepada mereka, rahmat meliputi mereka, malaikat melingkupi mereka dan Allah akan menyebutkan mereka ke dalam orang-orang yang bersama-Nya.” (HR. Muslim: 4867, Abu Dawud: 1243, Ibnu Majah: 221).

Makna “membaca Kitabullah” adalah bukan membaca bersama-sama dalam satu suara seperti Yasinan atau Khataman dan lain-lain -sebagaimana penyelewengan makna oleh kaum sufi- akan tetapi maknanya adalah membaca untuk memahami, mentadabburi kemudian mengambil pelajaran sebagaimana firman Allah U:

قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ

“Katakanlah: “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu…” (QS. Al-An’am: 151).

Juga firman Allah U:

نَتْلُو عَلَيْكَ مِنْ نَبَإِ مُوسَى وَفِرْعَوْنَ بِالْحَقِّ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

Kami membacakan kepadamu sebagian dari kisah Musa dan Fir’aun dengan benar untuk orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Qashash: 3).

Makna “membaca” dalam ayat di atas adalah membaca untuk memahami, mentadabburi kemudian mengambil pelajaran.

Dan di antara hadits yang menunjukkan bahwa majelis dzikir di masjid Nabawi adalah majelis ilmu (bukan majelis dzikir bersama ala sufi) adalah sabda Nabi r:

مَنْ دَخَلَ مَسْجِدَنَا هَذَا لِيَتَعَلَّمَ خَيْرًا أَوْ لِيُعَلِّمَهُ كَانَ كَالْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَنْ دَخَلَهُ لِغَيْرِ ذَلِكَ كَانَ كَالنَّاظِرِ إِلَى مَا لَيْسَ لَهُ

“Barangsiapa memasuki masjidku ini (masjid Nabawi) untuk mempelajari kebaikan atau mengajarkannya maka ia seperti orang yang berjihad di jalan Allah. Dan barangsiapa yang memasukinya untuk selain itu maka ia seperti orang yang melihat pada sesuatu yang bukan miliknya.” (HR. Ahmad: 8248, Ibnu Hibban dalam Shahihnya: 87 (1/288), Al-Hakim dalam Al-Mustadrak: 310 (1/169) dari Abu Hurairah dan di-shahih-kan olehnya menurut syarat Al-Bukhari dan Muslim dan disepakati oleh Adz-Dzahabi)

Dalam riwayat lain:

مَنْ جَاءَ مَسْجِدِي هَذَا

“Barangsiapa mendatangi masjidku ini….” (HR. Ibnu Majah: 223, Al-Baihaqi dalam Asy-Syu’ab: 1698 (2/263) dan isnadnya di-shahih-kan oleh Al-Bushairi dalam Mishbahuz Zujajah: 1/31 dan di-shahih-kan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah: 186).

Al-Allamah Abul Hasan As-Sindi berkata: “Maknanya adalah “Dan barangsiapa yang memasukinya untuk selain itu adalah untuk selain orang yang hendak mengerjakan shalat.” (Hasyiyah As-Sindi ala Ibni Majah: 1/211). Sehingga orang yang mendatangi masjid Nabawi bukan untuk shalat atau menghadiri majelis ilmu adalah seperti orang yang melihat sesuatu yang bukan miliknya.

Dengan demikian tidak ada celah bagi kaum sufi untuk menyelewengkan makna majelis dzikir kepada majelis dzikir jamaah ala Arifin Ilham.

Tidak Setiap Kata Kerja Berbentuk Jamak Berarti Dilakukan Secara Berjamaah

Mereka (kaum sufi) membolehkan acara dzikir secara berjamaah hanya karena teks-teks hadits menggunakan bentuk jamak. Seperti sabda beliau e:

لَأَنْ أَقْعُدَ مَعَ قَوْمٍ يَذْكُرُونَ اللَّهَ تَعَالَى مِنْ صَلَاةِ الْغَدَاةِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتِقَ أَرْبَعَةً مِنْ وَلَدِ إِسْمَعِيلَ وَلَأَنْ أَقْعُدَ مَعَ قَوْمٍ يَذْكُرُونَ اللَّهَ مِنْ صَلَاةِ الْعَصْرِ إِلَى أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ أَحَبُّ إِلَيَّ مَنْ أَنْ أَعْتِقَ أَرْبَعَةً

“Sungguh, seandainya aku duduk bersama kaum yang berdzikir kepada Allah U dari shalat shubuh sampai terbitnya matahari, maka itu lebih aku sukai daripada memerdekakan 4 anak turun Ismail. Dan seandainya aku duduk bersama kaum yang berdzikir kepada Allah U dari shalat ashar sampai tenggelamnya matahari, maka itu lebih aku sukai daripada memerdekakan 4 anak turun Ismail.” (HR. Abu Dawud: 3182, Al-Baihaqi dalam Syuabul Iman: 561 (1/409) dan di-shahih-kan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah: 2916).

Dan juga dengan firman Allah:

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (QS. Al-Kahfi: 28).

Dan juga teks-teks lain yang terdapat kata: “kaum yang bertasbih”, “orang-orang yang berdzikir”, “orang-orang yang berdo’a” dan sebagainya. Maka mereka mengartikannya dengan “bertasbih secara berjamaah”, “berdzikir secara berjamaah” dan “berdo’a secara berjamaah”.

Jawaban:

Pertama: Kalau mereka konsisten dengan pendirian itu maka mereka harus bersikap sama terhadap hadits Muawiyah bin Hakam t:

يَارَسُولَ اللَّهِ إِنَّا قَوْمٌ حَدِيثُ عَهْدٍ بِجَاهِلِيَّةٍ وَقَدْ جَاءَنَا اللَّهُ بِالْإِسْلَامِ وَمِنَّا رِجَالٌ يَأْتُونَ الْكُهَّانَ قَالَ فَلَا تَأْتِهِمْ قَالَ قُلْتُ وَمِنَّا رِجَالٌ يَتَطَيَّرُونَ قَالَ ذَاكَ شَيْءٌ يَجِدُونَهُ فِي صُدُورِهِمْ فَلَا يَصُدُّهُمْ

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami adalah kaum yang dekat dengan masa jahiliyah. Allah datang kepada kami dengan membawa Islam. Di antara kami ada orang-orang yang mendatangi dukun-dukun.” Maka beliau bersabda: “Jangan datangi mereka!” Aku berkata: “Di antara kami ada orang-orang yang bertathayyur.” Maka beliau bersabda: “Itu adalah sesuatu yang mereka dapatkan dalan hati mereka, maka jangan sampai perkara itu menghalangi mereka.” (HR. Muslim: 836, Abu Dawud: 795, An-Nasa’i: 1203).

Maka –dengan pemahaman rusak di atas- mereka juga harus mengartikan hadits di atas sebagai ancaman dan larangan mendatangi dukun secara berjamaah dan bertathayyur secara berjamaah. Adapun jika mendatangi dukun dan bertathayyur sendiri-sendiri maka tidak dilarang. Itu jika mereka konsisten dengan pemahaman rusak mereka.

Mereka juga harus bersikap sama terhadap hadits Nabi e:

لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ

“Akan ada dari kalangan umatku, sebuah kaum yang menghalalkan kemaluan (berzina), sutera, khamer dan alat-alat musik.” (HR. Al-Bukhari: 17/298, Abu Dawud: 3521 dan Al-Baihaqi dalam Syuabul Iman: 5115 (4/282)).

Maka larangan di atas –menurut pemahaman rusak mereka- hanya terbatas pada perbuatan zina dan minum khamer secara berjamaah. Adapun jika berzina dan minum khamer sendiri-sendiri maka tidak dilarang. Wal iyadzu billah.

Kedua: Sesuatu amal dengan pelaksanaan tertentu akan membutuhkan keterangan tambahan dari Rasulullah e. Sebagai contoh adalah ibadah shalat. Maka perintah shalat akan dijabarkan dalam sunnah-sunnah Rasulullah e. Dalam sunnah beliau terdapat penjelasan shalat secara berjamaah, kriteria imam, mu’adzin, makmum masbuq dan lain sebagainya. Sedangkan dalam penjelasan dzikir tidak didapati satu pun dalil tentang penjelasan dzikir berjamaah, kriteria imam dzikir berjamaah, makmum dzikir berjamaah yang masbuq, hitungannya menggunakan biji kerikil ataukah tasbih dan sebagainya kecuali hanya dalil-dalil umum seperti di atas.

Al-Imam Asy-Syathibi berkata:

أنهم اتفقوا على امتناع تأخير البيان عن وقت الحاجة

“Para ulama telah bersepakat atas tidak bolehnya menunda penjelasan syariat dari waktu yang dibutuhkan.” (Al-Muwafaqat: 4/140). Seandainya berdzikir secara berjamaah –ala Arifin Ilham- itu disyariatkan maka Rasulullah e tidak akan menunda penjelasan pelaksanaannya kepada para sahabat beliau yang sangat bersemangat atas kebaikan (daripada Arifin Ilham).

Ketiga: Penafsiran hadits di atas dengan dzikir secara berjamaah –ala Arifin Ilham- menyelisihi penafsiran Rasulullah e dan para sahabat beliau. Maka lafazh “Sungguh, seandainya aku duduk bersama kaum yang berdzikir kepada Allah U dari shalat shubuh sampai terbitnya matahari,.. ditafsiri oleh hadits lain. Abu Umamah t berkata:

خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم على قاص يقص، فأمسك، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “قُص، فلأن أقعد غدوة إلى أن تشرق الشمس، أحب إليَّ من أن أعتق أربع رقاب

“Rasulullah e keluar menuju (majelis) orang yang membacakan kisah (orang-orang shalih). Maka orang tersebut menahan diri dari kegiatannya. Maka Rasulullah e berkata: “(Teruslah) membacakan kisah! Sungguh, seandainya aku duduk (di sini) di pagi hari sampai terbitnya matahari, maka itu lebih aku sukai daripada memerdekakan 4 budak.” (HR. Ahmad: 21224. Al-Haitsami berkata: “Perawinya adalah orang-orang yang ditsiqatkan hanya saja di dalamnya terdapat Abul Ja’di. Jika ia adalah Al-Ghathfani maka ia termasuk perawi Ash-Shahih. Jika selain itu maka aku tidak tahu.” Majma’uz Zawaid: 911 (1/452)).

Maka lafazh “majelis yang membacakan kisah orang-orang shalih” dalam riwayat Abu Umamah t menafsirkan lafazh “majelis kaum yang berdzikir kepada Allah” dalam hadits pertama di atas.

Untuk lebih jelasnya, gambaran “majelis kaum yang berdzikir kepada Allah” yang dihadiri oleh Rasulullah e telah diterangkan secara panjang lebar oleh Al-Allamah As-Samhudi dalam Khulashatul Wafa bi Akhbari Daril Mushthafa dari Umar bin Abdullah bin Muhajir dari Muhammad bin Ka’ab Al-Qurazhi. Ia berkata:

أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يصلي نوافله إلى أسطوانة التوبة قال عمر بن عبد الله وكان النبي صلى الله عليه وسلم إذا صلى الصبح أنصرف إليها وقد سبق إليها الضعفاء والمساكين وأهل الضرّ وضيفان النبي صلى الله عليه وسلم والمؤلفة قلوبهم ومن لا بيت له إلا المسجد وقد تحلقوا حولها حلقا بعضها دون بعض فينصرف إليهم من مصلاه من الصبح فيتلوا عليهم ما أنزل الله تعالى عليه من ليلته ويحدثهم ويحدثونه حتى إذا طلعت الشمس جاء أهل الطول والشرف والغنى ولم يجدوا إليه مجلسا فتاقت أنفسهم إليه وتاقت نفسه إليهم فأنزل الله تعالى وأصبر نفسك مع الذين يدعون ربهم بالغداة والعشيّ يريدون وجهه إلى منتهى الآيتين

“Adalah Nabi e melakukan shalat sunnah dengan bersutrah pada salah satu tiang masjid nabawi yang bernama tiang “At-Taubah”. Umar bin Abdullah berkata: “Adalah Rasulullah e ketika selesai melakukan shalat shubuh, langsung menuju tiang ini. Maka orang-orang miskin, kaum dhuafa, para tamu Nabi e, para muallaf dan orang yang tidak memiliki tempat tinggal (ahlush shuffah) telah mendahului bergegas menuju tiang itu.” Mereka membuat halaqah (duduk melingkar) di sekeliling tiang itu. Setelah selesai shalat shubuh, Rasulullah e meninggalkan tempat shalatnya menuju halaqah tersebut. Kemudian beliau membacakan kepada mereka ayat-ayat yang diturunkan oleh Allah kepada beliau tadi malamnya, beliau juga menyampaikan hadits kepada mereka dan mereka pun berbincang-bincang (berdiskusi) dengan beliau sampai ketika matahari terbit, orang-orang kaya mendatangi beliau dan tidak mendapatkan tempat duduk dekat beliau. Maka orang-orang kaya tersebut merasa berat dan beliau pun merasa berat juga. Kemudian Allah turunkan ayat: “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya;…” (QS. Al-Kahfi: 28-29).” (Khulashatul Wafa: 116).

Dari riwayat-riwayat di atas dapat diambil gambaran bahwa “majelis dzikir” yang dihadiri oleh Rasulullah e adalah majelis yang membaca kisah orang-orang shalih, majelis yang membacakan wahyu-wahyu Allah baik Al-Kitab maupun As-Sunnah.

Warisan Rasulullah r

Majelis tersebut merupakan warisan Rasulullah r sebagaimana kisah Abu Hurairah t dengan warga pasar dan berkata kepada mereka:

ذاك ميراث رسول الله صلى الله عليه و سلم يقسم وأنتم ههنا ألا تذهبون فتأخذون نصيبكم منه ؟ قالوا : وأين هو ؟ قال : في المسجد فخرجوا سراعا ووقف أبو هريرة لهم حتى رجعوا فقال لهم : ما لكم ؟ قالوا : يا أبا هريرة فقد أتينا المسجد فدخلنا فلم نر فيه شيئا يقسم فقال لهم أبو هريرة : وما رأيتم في المسجد أحدا ؟ قالوا : بلى رأينا قوما يصلون وقوما يقرؤون القرآن وقوما يتذاكرون الحلال والحرام فقال لهم أبو هريرة : ويحكم فذاك ميراث محمد صلى الله عليه و سلم

“Itu warisan Rasulullah r sedang dibagikan. Sedangkan kalian masih tetap di sini (pasar). Tidakkah kalian berangkat dan mengambil bagian kalian?” Mereka bertanya: “Di mana?” Maka Abu Hurairah menjawab: “Di masjid?” Maka mereka berangkat cepat ke masjid sedangkan Abu Hurairah t tetap menunggu. Ketika mereka kembali Abu Hurairah berkata kepada mereka: “Ada apa kalian ini?” Mereka berkata: “Kami telah mendatangi masjid kemudian memasukinya dan tidak mendapati sesuatu dibagi di dalamnya.” Beliau bertanya: “Kalian tidak melihat seseorang di sana?” Mereka berkata: “Benar, kami telah melihat beberapa orang sedang sholat, beberapa lainnya sedang membaca Al-Quran dan beberapa yang lainnya saling mempelajari perkara halal dan haram.” Maka beliau berkata: “Celaka kalian. Itulah (majelis halal dan haram) adalah warisan Rasulullah r.” (HR. Ath-Thabrani dan sanadnya di-hasan-kan oleh Al-Haitsami dalam Majma’uz Zawa’id: 1/331).

Contoh-contoh Majelis Dzikir Rasulullah r

Berikut ini adalah majelis dzikir Rasulullah r yang diwariskan kepada umat beliau. Semua majelis beliau penuh dengan faidah ilmu dan hikmah dan tidak dikotori sedikit pun dengan tindakan permainan terhadap agama ini seperti dzikir secara berjamaah sambil menggelengkan kepala ataupun dzikir yang disertai musik dan sebagainya.

Majelis khutbah dan shalat Jumat

Di antara majelis dzikir Rasulullah r yang dihadiri oleh para malaikat adalah khutbah Jumat dan sholatnya. Allah U berfirman:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِذَا كَانُوا مَعَهُ عَلَى أَمْرٍ جَامِعٍ لَمْ يَذْهَبُوا حَتَّى يَسْتَأْذِنُوهُ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَأْذِنُونَكَ أُولَئِكَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ فَإِذَا اسْتَأْذَنُوكَ لِبَعْضِ شَأْنِهِمْ فَأْذَنْ لِمَنْ شِئْتَ مِنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمُ اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Sesungguhnya yang sebenar-benar orang mukmin ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan apabila mereka berada bersama-sama Rasulullah dalam sesuatu urusan yang memerlukan pertemuan, mereka tidak meninggalkan (Rasulullah) sebelum meminta izin kepadanya. Sesungguhnya orang-orang yang meminta izin kepadamu (Muhammad) mereka itulah orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya, maka apabila mereka meminta izin kepadamu karena sesuatu keperluan, berilah izin kepada siapa yang kamu kehendaki di antara mereka, dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nur: 62).

Al-Imam Az-Zuhri berkata: “Makna sesuatu urusan yang memerlukan pertemuan” adalah acara (khutbah) Jumat. Kaum mukminin tidak boleh meninggalkan majelis khutbah sebelum meminta ijin kepada beliau.” (HR. Ath-Thabari dan sanadnya di-shahih-kan oleh Dr. Hikmat Basyir dalam Ash-Shahihul Masbur: 3/484).

Termasuk semisal khutbah Jumat adalah khutbah 2 hari raya serta acara jihad. Demikian tambahan dari Al-Imam Sa’id bin Jubair. (HR. Abd bin Humaid dan Ibnu Abi Hatim. Lihat Ad-Durrul Mantsur: 7/138).

Majelis ta’lim dan mauizhah rutin

Dari Syaqiq Abi Wail t, ia berkata:

كَانَ عَبْدُ اللَّهِ يُذَكِّرُنَا كُلَّ يَوْمِ خَمِيسٍ فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِنَّا نُحِبُّ حَدِيثَكَ وَنَشْتَهِيهِ وَلَوَدِدْنَا أَنَّكَ حَدَّثْتَنَا كُلَّ يَوْمٍ فَقَالَ مَا يَمْنَعُنِي أَنْ أُحَدِّثَكُمْ إِلَّا كَرَاهِيَةُ أَنْ أُمِلَّكُمْ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَتَخَوَّلُنَا بِالْمَوْعِظَةِ فِي الْأَيَّامِ كَرَاهِيَةَ السَّآمَةِ عَلَيْنَا

“Adalah Abdullah bin Mas’ud memberikan wejangan kepada kami tiap hari Kamis. Maka seseorang berkata: “Wahai Abu Abdirrahman, sesungguhnya kami menyukai haditsmu dan merindukannya dan kami ingin agar engkau membacakan hadits kepada kami tiap hari.” Maka ia berkata: “Tidak ada yang menghalangiku untuk menyampaikan hadits kepada kalian kecuali aku membenci untuk membuat kalian bosan. Sesungguhnya Rasulullah r menjarangkan wejangan kepada kami dalam beberapa hari karena beliau tidak suka membuat kami bosan (terhadap nasehat).” (HR. Al-Bukhari: 5932, Muslim: 5048, Ahmad: 3854).

Al-Imam Badruddin Al-Aini berkata: “Maknanya adalah bahwa Rasulullah r menjadikan waktu-waktu tertentu untuk memberikan wejangan kepada para sahabat beliau dan tidak seluruh waktu (tiap hari) karena takut membuat bosan dan keberatan atas mereka.” (Umdatul Qari: 2/493).

Majelis mau’izhah perpisahan

Rasulullah r juga pernah memberikan wejangan perpisahan. Dari Al-Irbadl bin Sariyah t ia berkata:

وَعَظَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا بَعْدَ صَلَاةِ الْغَدَاةِ مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ فَقَالَ رَجُلٌ إِنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّهَا ضَلَالَةٌ فَمَنْ أَدْرَكَ ذَلِكَ مِنْكُمْ فَعَلَيْهِ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

“Rasulullah r pernah memberikan wejangan kepada kami pada suatu hari setelah shalat Subuh dengan sebuah nasehat yang mengena sehingga air mata kami bercucuran dan hati-hati kami tergetar. Maka seseorang berkata: “Sesungguhnya ini adalah wejangan perpisahan maka berikan kami wejangan, wahai Rasulullah!” Maka beliau berkata: “Aku wasiatkan kalian untuk bertaqwa kepada Allah dan mendengar serta menaati (penguasa) walaupun kalian diperintah oleh seorang budak Habasyi. Sesungguhnya barangsiapa yang hidup di antara kalian maka ia akan menjumpai perselisihan yang banyak. Dan berhati-hatilah kalian dari perkara (agama) yang diada-adakan karena itu adalah sesat. Maka barangsiapa di antara kalian yang menjumpai perkara itu (perselisihan)  maka wajib baginya memegangi sunnahku dan sunnah khulafa’ur rasyidin yang mendapatkan petunjuk setelahku. Gigitlah ia dengan gigi geraham.” (HR. At-Tirmidzi: 2600, ia berkata: “Hadits hasan shahih.” Ibnu Majah: 43, Ahmad: 16519 (35/7), dan di-shahih-kan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah hadits: 937).

Majelis yang didatangi oleh orang asing

Dari Umar bin Al-Khaththab t ia berkata:

بينما نحن جلوس عند رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم ذات يوم إذ طلع علينا رجل شديد بياض الثياب شديد سواد الشعر لا يرى عليه أثر السفر ولا يعرفه منا أحد حتى جلس إلى النبي صلى الله عليه وآله وسلم فأسند ركبتيه إلى ركبتيه ووضع كفيه على فخذيه وقال : يا محمد أخبرني عن الإسلام فقال رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم : الإسلام أن تشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله وتقيم الصلاة وتؤتي الزكاة وتصوم رمضان وتحج البيت إن استطعت إليه سبيلا قال : صدقت فعجبنا له يسأله ويصدقه قال : فأخبرني عن الإيمان قال أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر وتؤمن بالقدر خيره وشره قال : صدقت قال : فأخبرني عن الإحسان قال أن تعبد الله كأنك تراه فإن لم تكن تراه فإنه يراك

“Suatu ketika kami duduk-duduk di sisi Rasulullah r suatu hari. Tiba-tiba muncul atas kami seorang laki-laki yang sangat putih bajunya, sangat hitam rambutnya. Tidak tampak padanya bekas bepergian. Dan di antara kami tidak ada yang mengenalnya sama sekali. Kemudian ia duduk kepada Rasulullah r dan ia menyandarkan kedua lututnya pada kedua lutut beliau serta meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua paha beliau. Kemudian ia berkata: “Wahai Muhammad, beritahu diriku tentang Islam?” Kemudian beliau menjelaskan tentang Islam… kemudian orang itu bertanya tentang Iman……kemudian tentang Ihsan……dst.” (HR. Muslim: 9, Abu Dawud: 4075, Ad-Daraquthni: 207 (2/282), Al-Baihaqi dalam Al-Kubra: 8393 (4/324)).

Dari Anas bin Malik t, ia berkata:

نُهِينَا أَنْ نَسْأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ شَيْءٍ فَكَانَ يُعْجِبُنَا أَنْ يَجِيءَ الرَّجُلُ مِنْ أَهْلِ الْبَادِيَةِ الْعَاقِلُ فَيَسْأَلَهُ وَنَحْنُ نَسْمَعُ فَجَاءَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْبَادِيَةِ فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ أَتَانَا رَسُولُكَ فَزَعَمَ لَنَا أَنَّكَ تَزْعُمُ أَنَّ اللَّهَ أَرْسَلَكَ قَالَ صَدَقَ

“Kami dilarang untuk banyak bertanya kepada Rasulullah r tentang sesuatu. Dan kami suka kalau ada seseorang yang berakal dari pedesaan yang datang untuk bertanya kepada beliau dan kami ikut mendengar (jawaban beliau). Maka suatu ketika seseorang badui datang dan berkata: “Wahai Muhammad, telah datang utusanmu kepada kami dan menyatakan bahwa Allah telah mengutusmu?” Beliau menjawab: “Benar.”…. (HR. Muslim: 13, Ahmad: 12002, Ibnu Hibban dalam Shahihnya: 155 (1/368)).

Para sahabat Nabi r berdiskusi dalam majelis sebelum kedatangan beliau

Dari Hudzaifah bin Asid Al-Ghifari t berkata:

اطَّلَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْنَا وَنَحْنُ نَتَذَاكَرُ فَقَالَ مَا تَذَاكَرُونَ قَالُوا نَذْكُرُ السَّاعَةَ قَالَ إِنَّهَا لَنْ تَقُومَ حَتَّى تَرَوْنَ قَبْلَهَا عَشْرَ آيَاتٍ فَذَكَرَ الدُّخَانَ وَالدَّجَّالَ وَالدَّابَّةَ وَطُلُوعَ الشَّمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا وَنُزُولَ عِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَأَجُوجَ وَمَأْجُوجَ وَثَلَاثَةَ خُسُوفٍ خَسْفٌ بِالْمَشْرِقِ وَخَسْفٌ بِالْمَغْرِبِ وَخَسْفٌ بِجَزِيرَةِ الْعَرَبِ وَآخِرُ ذَلِكَ نَارٌ تَخْرُجُ مِنْ الْيَمَنِ تَطْرُدُ النَّاسَ إِلَى مَحْشَرِهِمْ

“Rasulullah r datang kepada kami dalam keadaan kami sedang belajar bersama. Beliau bertanya: “Apa yang kalian diskusikan?” Maka kami jawab: “Kami berdiskusi tentang hari kiamat.” Maka beliau bersabda: “Sesungguhnya tidak akan terjadi hari kiamat sampai kalian melihat 10 tanda.” Kemudian beliau menyebutkan dukhan (asap), Dajjal, binatang melata, terbitnya matahari dari barat, turunnya Isa bin Maryam r, Ya’juj dan Ma’juj, tiga longsoran bumi: 1 longsoran di timur, 1 longsoran di barat, 1 longsoran di jazirah Arab dan yang terakhir adalah munculnya api dari Yaman yang menggiring manusia menuju mahsyar mereka. (HR. Muslim: 5162, At-Tirmidzi: 2109, Ibnu Majah: 4031).

Majelis tafsir Al-Quran

Abu Abdirrahman As-Sulami berkata:

حَدَّثَنَا الَّذِينَ كَانُوا يُقْرِئُونَنَا الْقُرْآنَ : كَعُثْمَانِ بْنِ عفان وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ وَغَيْرِهِمَا أَنَّهُمْ كَانُوا إذَا تَعَلَّمُوا مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَ آيَاتٍ لَمْ يُجَاوِزُوهَا حَتَّى يَتَعَلَّمُوا مَا فِيهَا مِنْ الْعِلْمِ وَالْعَمَلِ قَالُوا : فَتَعَلَّمْنَا الْقُرْآنَ وَالْعِلْمَ وَالْعَمَلَ جَمِيعًا

“Telah menceritakan kepada kami orang-orang yang mengajari kami Al-Quran seperti Utsman bin Affan, Ibnu Mas’ud dan lainnya bahwa mereka jika belajar dari Nabi r 10 ayat maka kami tidak meneruskannya sampai kami mengetahui kandungan ayat tersebut yang berupa ilmu dan amal. Mereka berkata: “Maka kami belajar Al-Quran dan ilmu semuanya.” (HR. Ath-Thabari: 82 (1/80) dan isnadnya di-shahih-kan oleh Ahmad Syakir dalam tahqiqnya).

Majelis tanya jawab

Dari Abdullah bin Amr bin Ash t, ia berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَفَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ بِمِنًى لِلنَّاسِ يَسْأَلُونَهُ فَجَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ لَمْ أَشْعُرْ فَحَلَقْتُ قَبْلَ أَنْ أَذْبَحَ فَقَالَ اذْبَحْ وَلَا حَرَجَ فَجَاءَ آخَرُ فَقَالَ لَمْ أَشْعُرْ فَنَحَرْتُ قَبْلَ أَنْ أَرْمِيَ قَالَ ارْمِ وَلَا حَرَجَ فَمَا سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ شَيْءٍ قُدِّمَ وَلَا أُخِّرَ إِلَّا قَالَ افْعَلْ وَلَا حَرَجَ

“Bahwa Rasulullah r berhenti di Mina pada haji wada’ untuk melayani manusia yang mau bertanya kepada beliau. Maka seseorang datang kepada beliau dan berkata: “Aku tidak mengetahui maka aku cukur rambutku sebelum menyembelih Al-Hadyu (dam).” Maka beliau menjawab: “Silakan menyembelih dam dan tidak ada dosa.” Kemudian orang lain datang dan bertanya: “Aku tidak mengetahui maka aku menyembelih dam sebelum melempar jumrah.” Maka beliau menjawab: “Silakan melempar jumrah dan tidak ada dosa.” Tidaklah Nabi r ditanya tentang sesuatu yang diajukan dan diakhirkan kepada beliau kecuali beliau menjawab: “Silakan dikerjakan dan tidak ada dosa.” (HR. Al-Bukhari: 81, Muslim: 2301, Abu Dawud: 1722, Ibnu Hibban dalam Shahihnya: 3877 (9/189), Al-Baihaqi dalam Al-Kubra: 9402 (5/140)).

Al-Allamah Ash-Shan’ani berkata: “Ini terjadi ketika Rasulullah r khutbah di jamarat pada hari Nahr (tanggal 10) setelah tergelincirnya matahari. Beliau berkhutbah di atas unta beliau.” (Subulus Salam: 2/211).

Majelis ta’lim wanita

Dari Abu Sa’id Al-Khudri t, ia berkata:

قَالَتْ النِّسَاءُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَلَبَنَا عَلَيْكَ الرِّجَالُ فَاجْعَلْ لَنَا يَوْمًا مِنْ نَفْسِكَ فَوَعَدَهُنَّ يَوْمًا لَقِيَهُنَّ فِيهِ فَوَعَظَهُنَّ وَأَمَرَهُنَّ فَكَانَ فِيمَا قَالَ لَهُنَّ مَا مِنْكُنَّ امْرَأَةٌ تُقَدِّمُ ثَلَاثَةً مِنْ وَلَدِهَا إِلَّا كَانَ لَهَا حِجَابًا مِنْ النَّارِ فَقَالَتْ امْرَأَةٌ وَاثْنَتَيْنِ فَقَالَ وَاثْنَتَيْنِ

“Para wanita berkata kepada Nabi r: “Kami dikalahkan oleh para lelaki (dalam masalah ilmu) maka jadikan untuk kami suatu hari dari dirimu!” Maka beliau menjanjikan hari tertentu kepada mereka untuk mengadakan pertemuan (ta’lim).  Maka beliau memberikan wejangan dan perintah-perintah kepada mereka. Di antara wejangan beliau kepada mereka adalah: “Tidaklah salah seorang wanita di antara kalian yang ditinggal mati oleh 3 anaknya kecuali mereka menjadi penghalang baginya dari api neraka.” Seseorang wanita bertanya: “Kalau 2 anak?” Maka beliau menjawab: “Juga 2 anak.” (HR. Al-Bukhari: 99, An-Nasa’I dalam Al-Kubra: 3/451, Ibnu Hibban dalam Shahihnya: 2944 (7/206)).

Al-Allamah Ubaidullah Al-Mubarakfuri berkata: “Maksud “maka jadikan untuk kami suatu hari dari dirimu!” adalah yang memilih hari ta’lim adalah engkau (Rasulullah r) bukan kami (para wanita).” (Mir’atul Mafatih Syarh Misykatul Mashabih: 5/503).

Majelis ta’lim pemuda dan anak-anak

Dari Jundub bin Abdullah t ia berkata:

كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ فِتْيَانٌ حَزَاوِرَةٌ فَتَعَلَّمْنَا الْإِيمَانَ قَبْلَ أَنْ نَتَعَلَّمَ الْقُرْآنَ ثُمَّ تَعَلَّمْنَا الْقُرْآنَ فَازْدَدْنَا بِهِ إِيمَانًا

“Adalah kami bersama Rasulullah r dalam keadaan masih anak muda yang mendekati usia baligh. Maka kami belajar iman sebelum kami belajar Al-Quran. Kemudian kami belajar Al-Quran sehingga bertambahlah iman kami.” (HR. Ibnu Majah: 60, Al-Baihaqi dalam Al-Kubra: 5498 (3/120), Ath-Thabrani dalam Al-Kabir: 1679 (2/165). Isnadnya di-shahih-kan oleh Al-Bushairi dalam Mishbhuz Zujajah: 1/12 dan di-shahih-kan pula oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibni Majah hadits: 52)

Demikian contoh-contoh majelis dzikir Rasulullah r yang sarat faedah ilmiah dan amaliah dan masih banyak contoh yang lainnya. Dan kita belum pernah mendapati keterangan bahwa Rasulullah r memimpin majelis dzikir model Arifin Ilham dan orang-orang sufi dimana komandannya berkata:

سُبْحَانَ اللهِ ؛ وَالحَمْدُ للهِ ؛ وَلاَ إلهَ إِلاَّ اللهُ ، وَاللهُ أكْبَرُ

Yang kemudian diikuti oleh jamaah secara bersama-sama:

سُبْحَانَ اللهِ ؛ وَالحَمْدُ للهِ ؛ وَلاَ إلهَ إِلاَّ اللهُ ، وَاللهُ أكْبَرُ

Maha suci Allah dari perbuatan-perbuatan bid’ah kaum sufi yang mengatasnamakan Rasulullah r.

Majelis Dzikir Salafush Shalih

Sepeninggal Rasulullah r, para sahabat membentuk majelis dan halaqah ilmu.  Majelis mereka sarat dengan ilmu Al-Quran dan As-Sunnah dan bukan majelis dzikir bersama ala sufi. Berikut ini adalah sedikit contoh dari halaqah As-Salafush Shalih.

Majelis Abu Hurairah t

Beliau memiliki halaqah ilmu di Masjid Nabawi. Beliau hidup selama 47 tahun setelah wafatnya Rasulullah r. Di sana ia menyampaikan hadits-hadits Nabi r dan memiliki banyak murid. (Adalatush Shahabah: 108).

Muhammad bin Imarah bin Amr bin Hazm pernah bercerita:

انه قعد في مجلس فيه أبو هريرة وفيه مشيخة من اصحاب النبي صلى الله عليه وسلم بضعة عشر رجلا فجعل أبو هريرة يحدثهم عن النبي صلى الله عليه وسلم

Bahwa ia pernah berada di sebuah majelis yang disitu ada Abu Hurairah dan orang-orang yang tua dari sahabat Nabi r berjumlah belasan. Dan mulailah Abu Hurairah membacakan kepada mereka hadits-hadits Nabi r. (Riwayat Al-Bukahri dalam At-Tarikhul Kabir: 1/186-7).

Al-Imam Al-Bukhari berkata: “Telah meriwayatkan dari Abu Hurairah t sekitar 800 orang. Kebanyakan mereka adalah ulama para sahabat dan tabi’in dan lainnya.” (Tahdzibut Tahdzib: 12/239).

Majelis Abdullah bin Mas’ud t

Beliau memiliki halaqah ilmu di Kufah. Ma’bad Al-Juhani berkata:

كان رجل يقال له : يزيد بن عميرة السكسكي ، وكان تلميذًا لمعاذ بن جبل … فذكر الحديث قال : فقبض معاذ ، ولحق يزيد بالكوفة ، فأتى مجلس عَبد الله بن مسعود وليس ثم ، فجعلوا يتذاكرون الإيمان..

“Adalah seseorang yang bernama Yazid bin Umairah As-Saksaki. Ia adalah murid Mu’adz bin Jabal t ..kemudian disebutkan kisahnya… setelah Mu’adz wafat ia berangkat ke Kufah mendatangi majelis Abdullah bin Mas’ud. Ketika di sana ia dapati  beliau (Ibnu Mas’ud) masih belum datang. Maka mereka (peserta ta’lim) mulai berdiskusi tentang masalah iman (sambil menunggu kedatangan beliau, pen)…” (HR. Ishaq bin Rahawaih. Lihat Ithaful Khiyarah Al-Maharah: 1/136).

Majelis Abdullah bin Abbas t

Ibnu Abbas memiliki banyak halaqah. Ada halaqah fiqih, halaqah tafsir, halaqah hadits dan halaqah bahasa Arab. Majelis beliau terletak di Makkah di dekat sumur Zamzam. (Akhbaru Makkah: 3/246).

Al-Imam Amr bin Dinar (ulama tabiin) berkata:

ما رأيت مجلساً قط أجمع لكل خير من مجلس ابن عباس للحلال والحرام وتفسير القرآن والعربية والشعر والطعام

“Aku tidak melihat ada majelis ilmu yang lebih mengumpulkan kebaikan daripada majelis Ibnu Abbas. Ada majelis halal dan haram, majelis tafsir Al-Quran, majelis bahasa Arab, majelis ilmu sya’ir dan majelis makan-makan.” (Ghayatun Nihayah fi Thabaqatil Qurra’: 189).

Al-Imam Atha’ berkata: “Adalah beberapa orang datang ke majelis Ibnu Abbas belajar syair dan nasab, yang lainnya datang dan belajar tentang sejarah perang Arab dan yang lainnya ingin belajar fiqih dan ilmu. Maka tidaklah masing-masing kelompok (belajar) tersebut kecuali diterima oleh Ibnu Abbas menurut kehendak mereka.” (Al-I’lam liz Zirikli: 4/95).

Majelis Zaid bin Aslam

Beliau adalah seorang imam ahli fiqih dari kalangan tabiin. Beliau memiliki halaqah ilmu di Masjid Nabawi.

Abu Hazim Al-A’raj berkata:

لقد رأيتنا في مجلس زيد بن أسلم أربعين فقيها أدنى خصلة فينا التواسي بما في أيدينا، وما رأيت في مجلسه متماريين ولا متنازعين في حديث لا ينفعنا

“Sungguh aku melihat diri kami di majelis Zaid bin Aslam  40 ahli fiqih yang mana kami saling membantu. Dan aku tidak melihat di dalam majelis beliau ada orang yang saling berdebat dan berselisih dengan pembicaraan yang tidak berguna.” (Siyar A’lamin Nubala’: 5/316).

Dan contoh-contoh majelis dan halaqah dzikir As-Salafush Shalih masih banyak. Dan halaqah mereka bersih dari dzikir-dzikir berjamaah dengan satu suara ala kaum sufi.

Awal Mula Munculnya Bid’ah Majelis Dzikir Bersama

Acara bid’ah ini muncul di akhir-akhir masa sahabat Nabi r. Munculnya pertama kali di Kufah dan diingkari oleh Abdullah bin Mas’ud t sebagai salah seorang ulama para sahabat Nabi yang masih hidup.

Berkata Salamah Al-Kindi (kakek Amr bin Yahya bin Salamah):

كُنَّا نَجْلِسُ عَلَى بَابِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَبْلَ صَلَاةِ الْغَدَاةِ فَإِذَا خَرَجَ مَشَيْنَا مَعَهُ إِلَى الْمَسْجِدِ فَجَاءَنَا أَبُو مُوسَى الْأَشْعَرِيُّ فَقَالَ أَخَرَجَ إِلَيْكُمْ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ بَعْدُ قُلْنَا لَا فَجَلَسَ مَعَنَا حَتَّى خَرَجَ فَلَمَّا خَرَجَ قُمْنَا إِلَيْهِ جَمِيعًا فَقَالَ لَهُ أَبُو مُوسَى يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِنِّي رَأَيْتُ فِي الْمَسْجِدِ آنِفًا أَمْرًا أَنْكَرْتُهُ وَلَمْ أَرَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ إِلَّا خَيْرًا قَالَ فَمَا هُوَ فَقَالَ إِنْ عِشْتَ فَسَتَرَاهُ قَالَ رَأَيْتُ فِي الْمَسْجِدِ قَوْمًا حِلَقًا جُلُوسًا يَنْتَظِرُونَ الصَّلَاةَ فِي كُلِّ حَلْقَةٍ رَجُلٌ وَفِي أَيْدِيهِمْ حَصًى فَيَقُولُ كَبِّرُوا مِائَةً فَيُكَبِّرُونَ مِائَةً فَيَقُولُ هَلِّلُوا مِائَةً فَيُهَلِّلُونَ مِائَةً وَيَقُولُ سَبِّحُوا مِائَةً فَيُسَبِّحُونَ مِائَةً قَالَ فَمَاذَا قُلْتَ لَهُمْ قَالَ مَا قُلْتُ لَهُمْ شَيْئًا انْتِظَارَ رَأْيِكَ وَانْتِظَارَ أَمْرِكَ قَالَ أَفَلَا أَمَرْتَهُمْ أَنْ يَعُدُّوا سَيِّئَاتِهِمْ وَضَمِنْتَ لَهُمْ أَنْ لَا يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِهِمْ ثُمَّ مَضَى وَمَضَيْنَا مَعَهُ حَتَّى أَتَى حَلْقَةً مِنْ تِلْكَ الْحِلَقِ فَوَقَفَ عَلَيْهِمْ فَقَالَ مَا هَذَا الَّذِي أَرَاكُمْ تَصْنَعُونَ قَالُوا يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ حَصًى نَعُدُّ بِهِ التَّكْبِيرَ وَالتَّهْلِيلَ وَالتَّسْبِيحَ قَالَ فَعُدُّوا سَيِّئَاتِكُمْ فَأَنَا ضَامِنٌ أَنْ لَا يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَيْءٌ وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَسْرَعَ هَلَكَتَكُمْ هَؤُلَاءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَوَافِرُونَ وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِيَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ أَوْ مُفْتَتِحُو بَابِ ضَلَالَةٍ قَالُوا وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلَّا الْخَيْرَ قَالَ وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حدثنا أَنَّ قَوْمًا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ وَايْمُ اللَّهِ مَا أَدْرِي لَعَلَّ أَكْثَرَهُمْ مِنْكُمْ ثُمَّ تَوَلَّى عَنْهُمْ فَقَالَ عَمْرُو بْنُ سَلَمَةَ رَأَيْنَا عَامَّةَ أُولَئِكَ الْحِلَقِ يُطَاعِنُونَا يَوْمَ النَّهْرَوَانِ مَعَ الْخَوَارِجِ

“Adalah kami duduk di depan pintu Abdullah bin Mas’ud t sebelum shalat Shubuh. Kalau beliau sudah keluar maka kami berangkat bersamanya menuju masjid. Kemudian datanglah Abu Musa Al-Asy’ari t dan bertanya: “Abu Abdirrahman (Ibnu Mas’ud) sudah berangkat?”  Kami jawab: “Belum.” Kemudian ia ikut duduk bersama kami. Setelah beliau keluar kami berangkat bersama beliau. Kemudian Abu Musa  berkata pada Ibnu Mas’ud: “Wahai Abu Abdirrahman! Tadi aku melihat perkara yang aku ingkari dan menurutku –alhamdulillah- adalah kebaikan.” Ibnu Mas’ud berkata: “Apa itu?” Abu Musa menjawab: “Kalau engkau masih hidup maka engkau akan melihatnya sendiri. Aku melihat di masjid ada beberapa halaqah (kumpulan orang yang duduk melingkar) sedang menunggu shalat. Masing-masing halaqah ada seorang yang mengkomando dan di tangan mereka ada kerikil: “Bertakbirlah 100  kali!” Maka mereka bertakbir 100 kali. Pemimpinnya berkata: “Bertahlillah 100 kali!” Maka mereka bertahlil 100 kali. Pemimpinnya berkata: “Bertasbihlah 100 kali!” Maka mereka ikut bertasbih 100 kali.” Ibnu Mas’ud bertanya kepada Abu Musa: “Apa yang kamu katakan kepada mereka?” Abu Musa berkata: “Aku tidak berkata apa-apa karena menunggu pendapatmu dan perintahmu.” Ibnu Mas’ud bertanya: “Apa kamu tidak memerintahkan mereka agar menghitung kesalahan-kesalahan mereka dan menjamin mereka bahwa kebaikan mereka tidak akan sia-sia?” Kemudian kami dan beliau sampai pada satu halaqah dari halaqah-halaqah mereka. Maka beliau berdiri di depan mereka dan berkata: “Kalian ini sedang berbuat apa?” Mereka berkata: “Wahai Abu Abdirrahman (Ibnu Mas’ud), ini adalah kerikil untuk menghitung takbir, tahlil dan tasbih.” Beliau berkata: “Hitunglah kesalahan-kesalahan kalian aku jamin kebaikan kalian tidak akan sia-sia. Celaka kalian wahai umat Muhammad! Alangkah cepat kalian menuju kebinasaan. Ini sahabat Nabi kalian r masih banyak, pakaian mereka masih basah, wadah mereka belum pecah. Demi Allah, apakah kalian (merasa) di atas agama yang lebih baik dari agama Muhammad ataukah kalian membuka pintu kesesatan?” Mereka berkata: “Wallahi, kami hanyalah meninginkan kebaikan, wahai Abu Abdirrahman.” Ibnu Mas’ud berkata: “Banyak orang yang menginginkan kebaikan tetapi tidak sampai padanya. Sesungguhnya Rasulullah r memberitahuku bahwa akan muncul suatu kaum yang membaca Al-Quran akan tetapi Al-Quran tidak sampai masuk ke tenggorokan mereka. Dan demi Allah aku tidak tahu mungkin kebanyakan mereka adalah kalian.” Amr bin Salamah (perawi hadits) berkata: “Dan ternyata para anggota halaqah tersebut menjadi orang yang memerangi kami (sahabat Nabi) ketika perang Nahrawan dan mereka bergabung dengan sekte Khawarij.” (HR. Ad-Darimi: 204 (1/79) dan di-shahih-kan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah nomer: 2005).

Dalam riwayat lain Ibnu Mas’ud berkata:

لقد جئتم ببدعة ظلماء أو لقد فضلتم أصحاب محمد صلى الله عليه و سلم علما

“Sungguh kalian telah datang dengan membawa bid’ah yang gelap ataukah ilmu kalian melebihi ilmu sahabat Muhammad r?” (HR. Abdur Razzaq dalam Mushannafnya: 5409 (3/221) dan Ath-Thabrani dalam Al-Kabir: 8649 (9/125))

Sikap Abu Musa Al-Asy’ari menunggu sikap Abdullah bin Mas’ud adalah berdasar hadits Nabi r:

رَضِيت لأُمَّتِي مَا رَضِيَ لَهَا ابْنُ أُمِّ عَبْدٍ

“Aku ridloi untuk ummatku apa-apa yang diridloi oleh Ibnu Ummi Abd (yaitu Ibnu Mas’ud).” (HR. Ibnu Abi Syaibah: 32896 (12/114), Al-Bazzar: 1/314, dan di-shahih-kan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah nomer: 1225).

Kemudian muncul bid’ah baru yaitu kaum yang berkumpul dan berdoa bersama sambil mengangkat tangan mereka yang kemudian diingkari oleh Abdullah bin Umar t.

Al-Imam Qatadah (seorang ulama tabiin) berkata:

وذكر لنا أن ابن عمر أتى على قوم يرفعون أيديهم فقال : ما يتناول هؤلاء القوم؟ فوالله لو كانوا على أطول جبل في الأرض ما ازدادوا من الله قرباً

“Dan diceritakan kepada kami bahwa Ibnu Umar t mendatangi sebuah kaum yang mengangkat tangan-tangan mereka (dalam majelis doa bersama, pen). Maka beliau berkata: “Apa yang akan diperoleh oleh kaum ini?” Maka demi Allah seandainya mereka berada di atas gunung yang tertinggi di dunia maka mereka tidak akan bertambah dekat kepada Allah. “ (Atsar riwayat Abd bin Humaid dan Abusy Syaikh. Lihat Ad-Durrul Manstur: 4/249).

Tahun demi tahun bid’ah ini semakin berkembang terlebih-lebih setelah banyak ulama sahabat dan tabiin yang mati.

Kemudian bid’ah baru muncul di Syam pada masa Al-Imam Malik (Imam kota Madinah dan guru dari Al-Imam Asy-Syafi’i). Orang-orang di Syam membaca Al-Quran secara bersama-sama setelah sholat fardlu dengan suara tinggi.

Al-Imam Malik mengingkari mereka dan berkata:

الاجتماع بكرة بعد صلاة الصبح لقراءة القرآن بدعة ما كان أصحاب رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم ولا العلماء بعدهم علي هذا كانوا إذا صلوا يخلو كل بنفسه ويقرأ ويذكر الله تعالى ثم ينصرفون من غير أن يكلم بعضهم بعضا اشتغالا بذكر الله فهذه كلها محدثة

“Berkumpul pada waktu pagi setelah shalat Shubuh untuk membaca Al-Quran (secara bersama-sama) adalah bid’ah. Para sahabat Rasulullah r dan ulama setelah mereka tidak ada yang mengamalkannya. Jika mereka selesai shalat maka masing-masing mereka menyendiri kemudian membaca Al-Quran dan berdzikir sendiri-sendiri kemudian mereka pulang tanpa saling berbicara antara yang satu dengan yang lain karena sibuk berdzikir kepada Allah. Ini semua adalah bid’ah yang diada-adakan.” (Jami’ul Ulum wal Hikam: 344-345).

Kemudian pada masa Al-Imam Asy-Syafi’i muncul bid’ah baru di Iraq yaitu bid’ah “at-taghbir”. At-Taghbir adalah acara dzikir bersama yang disertai lagu-lagu. Mungkin di jaman ini disebut barzanjen, diba’an atau nasyid islami dan sebagainya. Dan ini menjadi salah satu sebab Al-Imam Asy-Syafi’i meninggalkan Baghdad menuju Mesir.

Al-Imam Asy-Syafi’i berkata:

تركت في العراق شيئا يقال له التغبير أحدثه الزنادقة ، يصدون به الناس عن القرآن

“Aku tinggalkan di Iraq sesuatu yang disebut at-taghbir yang diada-adakan oleh orang-orang zindiq dengan tujuan untuk menghalangi manusia dari Al-Quran.” (Riwayat Al-Khallal dalam Al-Amru bil Ma’ruf wa Nahyu anil Munkar: 194 (233))

Al-Imam Ahmad bin Hanbal (murid Al-Imam Asy-Syafi’i) berkata:

التغبير هو محدثة

“At-Taghbir adalah perkara yang diada-adakan (bid’ah).” (Riwayat Al-Khallal dalam Al-Amru bil Ma’ruf wa Nahyu anil Munkar: 187 (226))

Dan semakin jauh dari masa kenabian, kebodohan semakin menyebar dan kebid’ahan pun juga menyebar. Akan tetapi Allah tetap akan memunculkan ulama-ulama yang mengingkari dan membantah kebid’ahan tersebut sebagai bentuk penjagaan terhadap agama ini.

Bid’ah Idlofiyah

Al-Imam Asy-Syathibi membagi bid’ah ada 2 macam yaitu bid’ah haqiqiyah dan bid’ah idlofiyah.

Beliau berkata:

إن البدعة الحقيقية : هي التي لم يدل عليها دليل شرعي لا من كتاب ولا سنة ولا إجماع ولا استدلال معتبر عند أهل العلم لا في الجملة ولا في التفصيل

“Sesungguhnya bid’ah haqiqiyah adalah sesuatu (amal ibadah) yang tidak memiliki dalil syar’i, tidak dari Al-Qur’an, tidak pula dari As-Sunnah, ijma, dan juga dari istinbath yang mu’tabar dari kalangan ulama baik itu secara global atau secara terperinci.” (Kitabul I’tisham: 1/226).

Beliau juga berkata:

وأما البدعة الإضافية فهي التي لها شائبتان : إحداهما لها من الأدلة متعلق ، فلا تكون من تلك الجهة بدعة . والأخرى ليس لها متعلق إلا مثل ما للبدعة الحقيقية

“Adapun bid’ah idlofiyah maka ia memiliki 2 campuran. Salah satunya memiliki sandaran dalil sehingga tidak disebut bid’ah. Sedangkan campuran lainnya tidak memiliki sandaran kecuali seperti ciri bid’ah haqiqiyah.” (Kitabul I’tisham: 1/226).

Termasuk contoh bid’ah idlofiyah adalah dzikir berjamaah dengan satu suara ala Arifin Ilham. Dari hukum asal berdzikir ia memiliki dalil yaitu firman Allah U:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا

“Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dengan dzikir yang sebanyak-banyaknya.” (QS.Al-Ahzab: 41).

Akan tetapi dari segi cara pelaksanaannya (dengan cara bersama-sama dengan satu suara) dzikir bersama tersebut termasuk bid’ah.

Ini karena acara tersebut menyalahi cara asal berdzikir yang disyariatkan. Cara asal berdzikir yang disyari’atkan adalah  dibaca sendiri-sendiri, hanya pelakunya sendiri yang mendengar. Allah U berfirman:

وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ وَلَا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ

“Dan sebutlah (nama) Tuhannmu dalam dirimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raf: 205).

Dari Abu Musa Al-Asy’ari t bahwa Rasulullah r bersabda:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ فَإِنَّكُمْ لَا تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا إِنَّهُ مَعَكُمْ إِنَّهُ سَمِيعٌ قَرِيبٌ تَبَارَكَ اسْمُهُ وَتَعَالَى جَدُّهُ

Wahai manusia rendahkan (pelankan) suara kalian (dalam berdzikir). Karena kalian tidaklah menyeru Tuhan yang buta dan yang tidak hadir. Sesungguhnya Dia bersama kalian. Sesungguhnya Dia maha mendengar lagi dekat. Bertambah baik nama-Nya dan bertambah tinggi pangkat-Nya.” (HR. Al-Bukhari: 2770, 3883, 5905, 6120, 6838, Muslim: 4873, Abu Dawud: 1305).

Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri (ulama tabiin) berkata:

ولقد كان المسلمون يجتهدون في الدعاء وما يسمع لهم صوت إن كان إلا همسا بينهم وبين ربهم عز و جل..

“Dan sungguh kaum muslimin (para sahabat) bersungguh-sungguh dalam berdo’a. Dan tidak pernah terdengar suara mereka (ketika berdoa dan berdzikir, pen) kecuali suara bisik-bisik  antara mereka dan Rabb mereka…” (Atsar riwayat Ibnul Mubarak dalam Kitabuz Zuhd: 140 (45), Ibnu Jarir dan Abusy Syaikh. Lihat Ad-Durrul Ma’tsur: 4/249).

Sehingga semua dzikir yang diajarkan oleh Rasulullah r seperti dzikir pagi dan petang, dzikir setelah shalat 5 waktu adalah dibaca pelan dan sendiri-sendiri tidak dikumpulkan pada satu suara -seperti pada majelis dzikir bersama ala sufi- kecuali jika ada dalil yang mengecualikan.

Yang perlu kita perhatikan di atas adalah sikap Ibnu Mas’ud t yang tidak memasukkan dzikir berjamaah ke dalam dalil umum tentang dzikir. Juga sikap Al-Imam Malik yang tidak memasukkan membaca Al-Quran secara bersama satu suara ke dalam dalil membaca Al-Quran secara umum. Serta sikap Al-Imam Asy-Syafi’i yang tidak memasukkan At-Taghbir ke dalam keumuman dalil dzikir.

Antara Ibnu Hajar dan Al-Aini

Ada 2 ulama besar muta’akhirun (periode belakangan sekitar abad 8 H) yang sama-sama menulis syarah (penjelasan) kitab Shahih Bukhari. Mereka adalah Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani Asy-Syafi’i yang menulis Fathul Bari Syarh Shahih Al-Bukhari dan Al-Imam Badruddin Al-Aini Al-Hanafi yang menulis Umdatul Qari Syarh Shahih Al-Bukhari. Kedua beliau adalah sejaman dan saling membantah dan memberikan tanggapan dalam tulisan-tulisan mereka. Al-Bushairi menulisnya dalam kitab “Al-Laali’ wad Durar fil Muhakamah bainal Aini wa Ibni Hajar (Intan dan Permata dalam Menimbang antara Al-Aini dan Ibnu Hajar).” (Al-I’lam liz Zirikli: 3/334).

Kedua beliau –semoga Allah merahmati keduanya- memberikan keterangan terhadap hadits yang sedang kita bahas yaitu hadits majelis dzikir. Cuplikan hadits di atas adalah:

إِنَّ لِلَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى مَلَائِكَةً سَيَّارَةً فُضُلًا يَتَتَبَّعُونَ مَجَالِسَ الذِّكْرِ..

“Sesungguhnya Allah tabaraka wa ta’ala memiliki malaikat yang berjalan –selain tugas utama- mencari majelis-majelis dzikir….dst”. (HR. Muslim: 4854 dari Abu Hurairah t).

Al-Imam Al-Aini membatasi pengertian majelis dzikir hanya pada majelis ta’lim. Beliau menyatakan:

قوله أهل الذكر يتناول الصلاة وقراءة القرآن وتلاوة الحديث وتدريس العلوم ومناظرة العلماء ونحوها

“Sabda beliau “ahli dzikir” meliputi shalat, membaca Al-Quran, membaca hadits, mengajar ilmu-ilmu (syariat), berdiskusi dengan ulama dan sebagainya.” (Umdatul Qari: 33/165).

Sedangkan Al-Hafizh Ibnu Hajar membantahnya dan berkata:

ويؤخذ من مجموع هذه الطرق المراد بمجالس الذكر وانها التي تشتمل على ذكر الله بأنواع الذكر الواردة من تسبيح وتكبير وغيرهما وعلى تلاوة كتاب الله سبحانه وتعالى وعلى الدعاء بخيري الدنيا والآخرة وفي دخول قراءة الحديث النبوي ومدارسة العلم الشرعي ومذاكرته والاجتماع على صلاة النافلة في هذه المجالس نظر والأشبه اختصاص ذلك بمجالس التسبيح والتكبير ونحوهما والتلاوة حسب وان كانت قراءة الحديث ومدارسه العلم والمناظرة فيه من جملة ما يدخل تحت مسمى ذكر الله تعالى

“Dan dapat diambil kesimpulan dari pengumpulan jalan hadits bahwa yang dimaksud majelis dzikir  meliputi (perkumpulan) atas dzikrullah dengan berbagai macam dzikir yang ma’tsur (ada dalilnya, pen) yang berupa tasbih, takbir dan lainnya dan juga atas membaca Al-Quran dan atas berdo’a untuk kebaikan dunia dan akhirat. Dan memasukkan “pelajaran hadits Nabi, pelajaran ilmu syar’i, diskusi atasnya, dan berkumpul untuk shalat sunnah” ke dalam pengertian majelis dzikir perlu ditinjau lagi. Yang lebih mendekati kebenaran adalah pengkhususan majelis dzikir dengan majelis tasbih, takbir dan lainnya serta membaca Al-Quran saja. Meskipun membaca hadits, mempelajari ilmu syar’i dan mendiskusikannya adalah termasuk dalam pengertian dzikrullah.” (Fathul Bari: 11/212).

Tahqiq:

Pendapat yang lebih dekat kepada kebenaran adalah pendapat Al-Imam Al-Aini dengan alasan:

  • Al-Hafizh Ibnu Hajar tidak bisa membawakan bukti hadits yang merupakan contoh konkret majelis dzikir di jaman Nabi r yang menerangkan bahwa beliau dan sahabatnya bertasbih sekian kali, bertakbir sekian kali, apa saja yang dibaca. Seandainya contoh tersebut masyru’ maka tentulah mereka akan melaksanakannya. Dan dalam kaidah fiqih yang disepakati oleh ulama -sebagaimana nukilan Al-Imam As-Sam’ani-: “Menunda penjelasan syariat dari pemiliknya dari waktu yang dibutuhkan (penjelasan konkretnya, pen) adalah tidak boleh.” (Ushulul Fiqh allati La Yasa’ul faqih Jahluhu: 279).
  • Hukum asal berdzikir seperti bertasbih, bertahmid dan lainnya adalah sendiri-sendiri dan tidak membentuk satu suara dalam suatu majelis sampai ada dalil yang mengecualikan. Di antara buktinya adalah penjelasan Ka’ab Al-Ahbar ketika ditanya oleh Ibnu Abbas tentang sifat Nabi Muhammad r dan sahabatnya dalam Taurat, Ka’ab menyatakan:

يصفون في صلاتهم كما يصفون في قتالهم دويهم في مساجدهم كدوي النحل

“Mereka (para sahabat) mementuk shaf (barisan) dalam shalat mereka seperi shaf mereka dalam pertempuran, mereka memiliki suara gemuruh dalam masjid-masjid mereka seperti suara gemuruh lebah.” (Atsar riwayat Ad-Darimi: 8 (1/17), Tarikh Damsyiq: 1/185-6). Dan suara gemuruh itu menunjukkan bahwa mereka berdzikir sendiri-sendiri

  • Al-Hafizh Ibnu Hajar tidak memilki salaf dalam penjelasannya bahkan bertentangan dengan penjelasan As-Salafush Shalih seperti Al-Imam Atha’ Al-Khurasani.
  • Contoh-contoh hadits yang didapat justru menunjukkan bahwa pelaksanaan majelis dzikir pada masa Rasulullah r adalah berupa majelis ilmu syar’i yang meliputi majelis Al-Quran dan As-Sunnah dalam berbagai bidang seperti aqidah, akhlaq, fiqih, suluk dan sebagainya.

Penutup

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa:

  • Hukum asal berdzikir adalah disyari’atkan
  • Hukum asal berdzikir adalah sendiri-sendiri
  • Majelis dzikir bersama seperti majelis Arifin Ilham dan kaum sufi adalah bid’ah idlofiyah
  • Hadits-hadits yang digunakan untuk mendukung aktifitas dzikir bersama adalah penyelewengan makna dari yang dikehendaki oleh Rasulullah r dan As-Salafush Shalih
  • Majelis dzikir yang dihadiri malaikat adalah majelis ilmu bukan majelis dzikir bersama

Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam

Babat, 27 Rabi’ul Awwal 1431 H

  1. abu zahra
    Maret 22, 2010 pukul 8:42 am

    jazakallah khair,
    artikel yg bermanfaat.

  2. Januari 14, 2011 pukul 7:21 am

    Jazakallah Khoir….

  3. Februari 28, 2012 pukul 6:05 pm

    sekarang memang sulit untuk membedakan mana yang aswaja mana yg bukan.
    tapi gampangnya kita bisa lihat penerapat kata kata bid’ahnya dan upaya upayanya dalam menghancurkan kebesaran aswaja

  4. April 20, 2012 pukul 1:11 am

    PAMER NAMA !!! AQIDAH 0….. NIH ORANG WAHABOY BOY !!!

  5. LBM
    Mei 2, 2012 pukul 8:40 am

    Dr Terjemah yang mulia , mana hadis secara KHUSUS yang melarang zikir jahr dan berjamaah.Adapun hadits yang membolehkan bisa anda baca teks arabnya di http://jundumuhammad.net/2011/07/17/dalil-dalil-diperbolehkannya-berdzikir-secara-jahr-dan-secara-berjamaah/

    • Mei 4, 2012 pukul 6:08 am

      Dalil tentang dzikir secara jahr tidak menunjukkan bolehnya dzikir secara berjamaah, sebagai contoh: dzikir ketika masuk pasar, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengajarkan dzikir tsb dibaca dengan suara keras. Adakah pr sahabat membaca dzikir tsb secara berjamaah?
      Dzikir adalah urusan ta’abbudiyah. Dalam ushul fiqh terdapat kaidah: Asal dari urusan ta’abbud adalah haram dikerjakan sampai ada dalil yang membolehkannya. Anda dan kelompok Anda jangan menjadi kelompok yang mengada-ada! Amal ta’abbud memiliki sisi kaifiyah (cara pelaksanaan), kamiyyah (jumlah dzikirnya), waktunya, tempatnya dsb. Meskipun dzikirnya benar, tetapi kaifiyatnya salah, atau waktunya salah (semisal ayat kursi yang dianjurkan dibaca setelah shalat 5 waktu, kemudian Anda baca ketika 7 hari kematian dsb) atau jumlahnya salah (semisal surat Al-Ikhlas yang dianjurkan dibaca 3 kali ba’da shubuh dan ashar kemudian Anda baca 7 kali) dsb maka hukumnya tetap bid’ah.
      Allah berfirman:
      فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَمَا عَلَّمَكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ
      “Maka berdzikirlah kepada Allah seperti Allah mengajarkan kepada kalian apa-apa yang kalian tidak mengetahuinya.” (QS. Al-Baqarah: 239). Jadi janganlah pandai mengarang (baca: inovasi) dalam urusan ta’abbud. Tapi berinovasilah dalam bidang duniawi spt: kedokteran, teknologi dsb. karena ada kaidah: Asal dari urusan dunia adalah mubah sampai ada dalil yang melarang…

  6. Agustus 18, 2012 pukul 8:09 am

    Assalamu’alaikum…

    Apakah mereka semua yang melakukan dzikrullah secara berjama’ah akan masuk neraka semuanya ustadz?

    • Agustus 20, 2012 pukul 6:25 am

      Seseorang tidaklah masuk neraka karena sebab berdzikir kepada Allah. Tetapi ia masuk neraka sebab menyelesihi petunjuk Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, dengan cara melakukan praktik dzikir yang tidak sesuai dengan petunjuk beliau. Allah berfirman:
      “Dan barangsiapa yang menyelisihi Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa’: 115).
      Suatu ketika Ibnu Umar radliyallahu anhuma melihat seseorang yang melakukan shalat setelah terbitnya fajar dengan rakaat yang banyak. beliau langsung melempari orang itu dengan kerikil dan melarangnya. orang itu bertanya;
      أترى الله يعذبني على كثرة الصلاة فقال لا ولكن يعذبك على خلاف السنة
      “Apakah menurutmu Allah akan menyiksaku karena banyak melakukan shalat?” Beliau menjawab:”Tidak, tetapi Allah akan meng-azabmu karena kamu telah menyelisihi As-Sunnah.” (Atsar riwayat Abdurrazzaq yang dinukil dalam Kitab Ahadits fi Dzammil Kalam: 3/73-74).

  7. Agustus 27, 2012 pukul 5:13 pm

    Assalamu ‘alaikum…

    Terima kasih ustadz atas penjelasannya, berarti kesimpulannya mereka semua yang dzikrullah secara berjamaah dapat ustadz pastikan masuk ke dalam neraka atau ahlunnaar.

  8. bule aja
    Oktober 2, 2012 pukul 1:19 pm

    bid’ah jg biarin.. ntar qt buktiin siapa yg d neraka……

  9. November 14, 2012 pukul 10:58 am

    Bismillah Izin Copas Ustadz Artikel yang sangat Bermanfaat Jazaakallohu Khoiro

  10. Eril
    November 29, 2012 pukul 12:10 am

    Assalamu’alaikum
    Terimakasih atas keterangan mengenai hadis2 diatas. Sampai dengan saat ini saya masih mempelajari perkara ini. Tp alangkah bijaknya jika kita membicarakan hal2 sensitif seperti mem bid’ah kan suatu amaliyah dengan para ahli dari kelompok yg bersangkutan. Pemahaman ustadz jelas berbeda dengan pemahaman yg lain. Tp mereka pun sama dengan anda, dalam meyimpulkan.suatu perkara pastinya buah dr sebuah proses dan metode yg panjnag (ijtima).
    Seperti halnya kata “majlis dzikir” bagi mereka bermakna kelompok org2 yg sedang mengingat dan menyebut asma Allah SWT. Dan itu bagi mereka sudah sesuai dengan arti dr kata itu sendiri. Lantas apakah mereka(para alim ulama) menyimpulkan hal tersebut tanpa suatu perdebatan???
    Jadi mudah2 siapapun diantara kita yg tidak sependapat dengan yg lainnya, bisa lebih arif lg

    • Januari 11, 2013 pukul 7:43 am

      Hukum asal berdzikir adalah tauqifiyyah (tdk boleh ngarang) karena Allah Azza wa Jalla berfirman:
      فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَمَا عَلَّمَكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ
      “Ketika kalian sudah merasa aman, maka berdzikirlah kepada Allah sebagaimana Allah telah mengajarkan kalian apa-apa yang kalian tidak mengetahuinya (dari perkara berdzikir, pen).” (QS. Al-Baqarah: 239).
      Tidak pernah ada satu contoh pun dzikir berjamaah, bahkan yang dikisahkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk kita teladani adalah kisah 3 orang terdahulu yang berteduh di dalam gua. kemudian sebuah batu menutupi mulut gua tersebut. Kemudian masing-masing orang tersebut berdoa sendiri-sendiri dengan menyebutkan amal soleh masing-masing. ada yang berbakti kepada orang tua. ada yang menghindari perbuatan zina dan ada yang mengembangkan upah buruhnya. akhirnya dengan doa masing-masing tersebut, mereka keluar dari pintu gua. (HR. Bukhari: 2111 dari Abdullah bin Umar RA). Kisah di atas menunjukkan bahwa kebiasaan orang-orang shaleh jaman dahulu adalah berdoa dan berdzikir sendiri-sendiri. Seandainya dzikir berjamaah itu disyariatkan, tentu diantara mereka akan menyatakan: “Ayo salah satu kalian memimpin do’a kami yang mengikutinya!!! Tetapi ketiga orang tsb berdoa sendiri-sendiri. Kisah di atas jg menunjukkan disyariatkannya istighatsah dengan cara sendiri-sendiri. istighatsah sndiri berarti doa untuk perkara mendesak.
      Kisah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berdoa kmdian diamini kaum muslimin hanya pada keadaan tertentu spt ketika khutbah, qunut nazilah.
      Kisah istighatsah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam terjadi ketika perang badar. Ktka itu beliau melihat kpd para sahabat yg brjmlah 300 an org dn melihat kpd org kafir yang brjumlh sktr 1000 an orang dan berdo’a: Ya Allah jika kelompok kecil ini (kaum muslimin) binasa, maka Engkau tidak akan disembah lagi di muka bumi.” Kemudian Allah brikan bantuan 1000 malaikat (HR. Ahmad dr Umar bin Khaththab. Lihat Tafsir ibnu Katsir:4/18). Lihatlah yng mendengar doa beliau hny bbrp orng sj spt abu bakar dan umar. Dan kaum muslimin tidak menyatakan: Amin, amin!! spt istighatsah jmn sekarang!!
      Kemudian perkara ibadah spt brdzikir hukum asalnya adalah haram smapai ada dalil yang membolehkannya. jika tdk, mk jatuhlah kpd bidah. Bid’ah sendiri ada bid’ah haqiqiyah yaitu secara asal prkara tersebut adalah ngarang spt bid’ah wihdatul wujud, hakekat nur muhammad, rafidlah, mu’tazi;ah dsb. ada juga yang disebut bid’ah idlafiyyah, yiatu suatu amal yang memiliki landasan dalil tetapi tata pelaksanaannya tidak sesuai dengan contoh salaf. ini meliputi tatacara, bilangan, waktu, tempat, siapa tentang amal tersbut.(Lihat Kitab Al-I’tisham: 1/226 karya Asy-Syathibi wafat 790 H).
      sbg contoh adalah dzikir “Subhanallah wabihamdihi subhanallahil azhim”. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
      كَلِمَتَانِ خَفِيفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ ثَقِيلَتَانِ فِي الْمِيزَانِ حَبِيبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ
      “Ada 2 kalimat yg ringan di lisan, berat di timbangan dan dicintai oleh Ar-Rahman; “Subhanallah wabihamdihi subhanallahil azhim”.” (HR. Bukhari: 6188). hkm asal dzikir ini adalah disyariatkan. oleh krn itu para salaf mmperbanyak dzikir tsb dibrbagai waktu dan tempat. sampe dtnglah generasi blkangan yg ‘mrasa lbh pandai’ dr Salaf. mrka ngarang dzikir tsb. dibaca 100 kali tiap malam ini atau itu, bahkan dibaca 3 kali stiap malam s/d mlm ke-7 hr kmatian (tahlilan). ini adalah contoh bid’ah idlafiyah.
      Metode kami br-ijtihad jls sgt brbeda dgn kaum nahdiyyin. Dasar kami adalah Al-Quran dan As-Sunnah dgn pemahaman generasi awal atau Salaf yg mliputi sahabat, tabiin dan tabiut tabiin. krn hadits: “Sebaik-baik generasi adlah generasiku (shabat), kmd generasi stlahnya (tabiin) dan setelahnya (tabiut tabiin).” (HR. Bukhari: 2457)
      adapun kaum nahdiyyin, maka ayat dan hadits dipahami mnurt opini kiyai2 mrka. shingga ktika ada hdits yang brbunyi: Mereka berdzikir…, mereka bertasbih… dlll” selalu diopinikan bhwa mereka berdzikir bersama-sama. pdhl tdk ada satu keterangan pun dari generasi awal yang mlakukan dzikir model nahdiyyin tsb.
      adapun kami, ktika ada ayat dan hadits ttang suatu amalan, mk kami cari dulu konfirmasi bgaimana generasi awal mengamalkannya.
      Al-Imam Al-Auzai berkata:
      عليك بآثار من سلف ، وإن رفضك الناس
      “Pegangilah jejak salafus shalih, meskipun kamu ditinggalkan manusia!” (Asy-Syariah lil Ajurri: 124).
      Dalam memilih hadits pun, kami brbeda dgn nahdiyyin. Kami memastikan bhawa hadits yang kami gunakan sbg dasar argumen adalah shahih atau hasan. adapun nahdiyyin, mreka tdk membedakan, hadits dhaif bhkan palsu pun dijadikan argumen, kt mereka “yang pnting hadits”.
      Al-Imam Asy-Syafii berkata:
      إذا صح الحديث فهو مذهبي
      “Jika hadits telah shahih, maka itu menjadi pendapatku.” (Thabaqatusy Syafiiyyah Al-Kubra: 6/139).
      Dan kalo dilanjutkan, akan makan bnayk waktu…..

  11. Eril
    November 29, 2012 pukul 12:00 pm

    Sedikit tambahan, http://mrizal074.blogspot.com/2012/11/doa-berjamaah-menurut-nu-dan.html?m=1
    Di blog bersangkutan diatas sungguh arif dalam memaparkan 2 kelompok yg berbeda pemahaman mengenai perkara dzikir berjamaah.
    Assalamualaikum

  1. April 4, 2013 pukul 2:19 pm

Tinggalkan komentar